“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Mengabaikan
RUANG KERJA EDWARD
Cahaya mentari senja menembus jendela besar, menyinari ruangan kerja yang terasa dingin dan maskulin. Wangi kulit dari kursi dan rak buku kayu tua menambah aura kekuasaan yang membekap. Laras berdiri tegak, tubuhnya kaku di hadapan Edward yang duduk bersandar santai, memutar cincin kawinnya seperti sedang mempermainkan nasib seseorang.
"Ada apa memanggilku?" tanya Laras datar, matanya enggan berlama-lama bertemu pandang dengan pria itu.
Edward mendongak perlahan. Tatapannya menusuk, dingin, namun di balik ketenangan itu mengintai bara amarah yang siap meledak kapan saja.
“Semalam kita belum selesai.”
“Nggak ada yang perlu dilanjutkan,” jawab Laras, berbalik hendak pergi.
Tapi suara Edward menahan langkahnya—datar, pelan, tapi tajam seperti pisau yang menembus tengkuk.
“Temui dia lagi... dan aku pastikan dia takkan pernah bisa berjalan pulang dengan utuh. Jangan anggap aku hanya menggertak, Laras. Kau tahu persis aku bisa lebih dari itu.”
Laras tak gentar. Ia menatap balik pria itu dengan pandangan tenang tapi tajam. Dingin.
“Tentu kau bisa. Kau bisa melakukan hal keji apa pun demi egomu. Ego yang tak akan pernah membuatmu bahagia seumur hidup.”
Ia mendekat, berdiri lebih tegak.
“Dan aku akan menjadi saksi hidup atas semua penderitaan yang kau ciptakan untuk dirimu sendiri.”
Wajah Edward menegang. Emosinya naik. Tapi ia tersenyum sinis, licik.
“Kalau begitu... kau juga harus berhati-hati, Laras.”
Ia berdiri, menghampiri Laras. Napasnya berat menahan emosi.
“Ingat, aku masih punya semua foto-foto itu. Foto yang bisa membuat orang berpikir kau wanita murahan. Ditambah rekayasa bukti yang bisa membuatmu dipecat dari pekerjaanmu.”
Laras masih diam.
“Itu alasan kenapa kau menikah denganku, bukan?”
Ia membisik, nyaris kejam.
“Dan satu hal lagi...”
Edward mundur satu langkah, menatap Laras dengan tatapan menusuk.
“Ayahmu. Kasusnya. Aku yang menjebaknya. Aku yang merencanakan semuanya... hanya agar aku bisa menjeratmu, memilikimu.”
Suasana hening sesaat. Laras membeku, seperti ditampar kenyataan. Tapi ia menahan air matanya. Tidak kali ini.
Ia menatap Edward lama. Matanya dingin.
“Aku tidak terkejut.”
Suara Laras rendah, nyaris berbisik—tapi setiap katanya mengandung luka dan keteguhan.
“Kau memang brengsek. Bajingan. Pria yang menghalalkan segala cara demi memuaskan egonya yang rapuh.”
Ia menyunggingkan senyum kecil. Bukan senyum manis—tapi senyum sinis, getir, dan menyakitkan.
“Kau pikir kau menang, Edward? Kau hanya seorang pengecut... yang takut ditolak.”
Laras membalik badan dan pergi meninggalkan ruangan, membiarkan Edward terpaku dengan emosi yang mendidih dan harga diri yang kembali robek.
Edward menghempaskan dokumen-dokumen ke lantai, lalu meremas rambutnya. Napasnya tak teratur. Tapi bukan karena marah saja—melainkan rasa takut. Takut kehilangan kendali. Takut... mencintai.
Di Luar Ruangan
Langkah Laras terdengar mantap di koridor yang sepi. Setiap denting hak sepatunya menggema, seperti palu yang menghantam keheningan bangunan megah itu. Tapi hanya dia yang tahu, betapa gemetarnya tubuhnya. Betapa sesaknya napasnya.
Begitu jauh dari ruangan Edward, Laras berhenti sejenak di dekat dinding marmer yang dingin. Ia bersandar. Bahunya turun pelan, seperti menahan dunia yang tiba-tiba terlalu berat. Namun air matanya tetap tak jatuh. Ia menolak menangis untuk pria sekeji itu.
"Aku baik-baik saja," bisiknya pada dirinya sendiri, meski nadanya lebih terdengar seperti permohonan daripada keyakinan.
Tangan kirinya menyentuh perutnya secara refleks. Tak ada kehidupan di sana. Tak ada masa depan. Tapi ia masih bernapas. Itu cukup.
Laras kembali berjalan. Pandangannya menatap lurus ke depan. Ia tahu, keluar dari ruangan itu bukan berarti bebas dari Edward. Tapi setidaknya, ia masih bisa memilih untuk tetap berdiri... bahkan di tengah reruntuhan.
Dan ia bersumpah dalam diamnya—suatu hari nanti, entah bagaimana caranya, ia akan membuat Edward membayar semua yang telah ia lakukan.
Dengan cara yang tak akan pernah ia duga.
***
MALAM HARI – KAMAR EDWARD
Ruangan sunyi. Hanya cahaya remang dari lampu meja yang menyala. Edward duduk di lantai, punggungnya bersandar di sisi ranjang. Kemejanya terbuka sebagian, dasinya terlepas, dan rambutnya berantakan seperti pikirannya.
Gelas di tangannya kosong. Botol anggur tergeletak miring di lantai. Matanya memerah, bukan karena minuman saja—tapi karena perang batin yang tak ia mengerti sendiri.
Ia tertawa lirih, getir. Lalu membenamkan wajahnya ke telapak tangan.
“Apa yang kau lakukan padaku, Laras...”
Desisnya rendah, nyaris seperti keluhan.
Ia mengayunkan tinjunya ke dinding—bukan keras, tapi cukup untuk membuat kulit tangannya perih. Napasnya berat. Matanya tertuju pada bayangan dirinya di cermin besar di seberang ruangan.
“Wanita kompromi...” gumamnya pelan, nyaris seperti kutukan.
“Kau hanya wanita yang kuikat dengan cara kotor. Wanita yang seharusnya tunduk... tapi malah mempermalukanku. Di depan semua orang.” Suaranya mulai bergetar.
“Kau menamparku, membuka aibku—seolah aku bukan siapa-siapa.” Ia menatap bayangan dirinya sendiri lebih dalam, seolah ingin meremukkan sosok yang ada di sana.
“Harusnya aku membencimu… HARUSNYA!”
Teriakannya meledak, membelah keheningan malam. Tangannya meraih gelas kristal di meja, lalu melemparkannya keras ke dinding.
PYARR
Pecahannya berhamburan. Namun yang lebih hancur dari gelas itu... adalah harga dirinya sendiri.
Edward berdiri dan menghampiri cermin. Menatap wajahnya sendiri—wajah yang tak ia kenali lagi.
“Kenapa aku seperti ini... kenapa aku peduli kalau kau mencintai pria lain?”
Ia menyentuh cermin, seperti mencoba menggenggam bayangan dirinya yang retak.
“Kenapa... kenapa aku takut kehilanganmu...”
Tangannya turun. Ia memejamkan mata dan menjambak rambutnya kasar.
“Bangsat...”
Desahannya terputus oleh tawa sumbang. Ia membalikkan badan dan membanting tubuhnya ke ranjang. Memandang langit-langit kosong.
“Aku tidak mencintaimu… aku tidak… tidak…”
Namun hatinya menolak. Karena setiap kali mengucap kata itu, bayangan Laras justru makin nyata. Tatapan dingin Laras. Senyum sinisnya. Keteguhan yang membuatnya merasa... kecil.
Ia menutup mata.
“Sial…”
Lalu ruangan kembali sunyi. Hanya suara napas berat yang memenuhi udara. Edward mulai kehilangan kendali. Dan dalam diam, ia sadar: wanita yang paling ingin ia taklukkan... justru sedang menguasai seluruh dirinya.
PAGI HARI – RUANG MAKAN RUMAH EDWARD
Suasana rumah pagi itu seperti biasa—sunyi. Pelayan menata sarapan di meja panjang. Tapi yang tak biasa adalah: Laras duduk di sana duluan, sudah rapi dan tenang, dengan senyum tipis di wajahnya. Bukan senyum bahagia. Bukan juga senyum ramah. Tapi senyum yang seolah berkata: “Aku sudah selesai peduli.”
Edward yang baru turun dari lantai atas langsung menegang. Matanya mencari Laras. Dan saat ia melihat istrinya duduk di sana, tanpa menoleh, tanpa menyapanya—hatinya entah kenapa mencelos.
Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Laras. Diam.
Laras tetap menyendok bubur ayamnya tanpa sekalipun menatap Edward.
“Kau tidak tidur nyenyak,” gumam Edward akhirnya.
Laras hanya tersenyum samar. “Memangnya penting untukmu?”
Edward terdiam. Biasanya Laras akan menanggapi dengan defensif, dengan kemarahan atau pembelaan. Tapi kali ini tidak. Dan itu lebih menyakitkan.
“Kau mengabaikanku sekarang?” tanya Edward pelan.
Laras meletakkan sendoknya. Menatap Edward. Tatapan kosong tapi dalam. Dingin, tapi tidak membenci.
“Aku hanya sedang sibuk… menikmati peranku sebagai istri kompromi. Bukankah itu yang kau inginkan?”
Edward terdiam. Matanya menelusuri wajah Laras, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa menunjukkan rasa bersalah, air mata, kemarahan. Tapi yang ia temukan hanyalah… ketenangan yang membuatnya frustasi.
Laras bangkit. Mengambil tasnya. Sebelum pergi, ia berbalik sejenak.
“Tenang saja, aku tak akan bertemu Bayu lagi. Tapi bukan karena aku takut padamu.”
Laras menatap tajam.
“Aku hanya ingin harga dirinya tetap utuh, dan nyawanya tetap hidup. Sesederhana itu.”
Dan ia melangkah pergi.
Edward menatap punggung Laras yang menjauh. Rahangnya mengeras. Dadanya sesak. Bukan karena marah, tapi karena rasa kehilangan yang pelan-pelan merayap… dan membuatnya gila.
Ia berbisik sendiri.
“Kenapa rasanya seperti... aku yang ditinggalkan?”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
semangat kak sehat selalu 🤲
kamu sudah lama menderita dan kamu pantas untuk bahagia Laras...
Semangatt kak lanjut... sehat selalu 🤲