Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 : Sang Pemburu Tunggal
Pertarungan semifinal melawan "Oblivion" terasa seperti neraka. Setelah Ren berhasil menjatuhkan sniper legendaris mereka, 'Oblivion Alpha', tekanan justru berlipat ganda. Tim "Oblivion" yang tersisa – seorang Tank tangguh dan Fighter yang sangat agresif – membalas dengan amukan. Mereka tahu Ren adalah ancaman utama, dan fokus mereka kini beralih sepenuhnya kepadanya.
Aisha, yang masih bersembunyi di balik bongkahan es, mencoba menarik perhatian musuh. Ia menembak, bergerak cepat, berusaha menciptakan celah bagi Ren. Namun, keunggulan jumlah lawan terlalu besar.
"Ren! Mereka terlalu banyak!" teriak Aisha, suaranya dipenuhi rasa frustrasi. Ia mencoba melarikan diri, namun tembakan bertubi-tubi menghantamnya.
"TEAMMATE DOWN! AISHA HAS BEEN ELIMINATED!" Notifikasi merah menyala di langit, bersamaan dengan suara ding terakhir yang memilukan.
Dunia Ren terasa runtuh. Aisha, mentornya, kapten timnya, kini tumbang. Ia sendirian. Di medan pertempuran yang luas dan dingin ini, ia adalah satu-satunya anggota "Phantom Strikers" yang tersisa.
"PLAYERS REMAINING: 3" – angka itu berkedip di sudut pandangnya. Dua lawan satu. Dua lawan satu. Tekanan mencekik tenggorokannya. Semua mata penonton turnamen, seluruh komunitas Zero Point Survival, kini tertuju padanya.
Fokusnya berubah drastis. Ia tidak bisa lagi bersembunyi di posisi sniper yang terbuka. Setiap tembakan yang meleset akan mengungkap posisinya. Setiap suara yang ia buat bisa berarti akhir. Ini bukan lagi tentang tembakan beruntun yang spektakuler, ini tentang bertahan hidup. Ren harus menjadi sang pemburu tunggal, bergerak dalam senyap, menyerang dengan presisi absolut.
Rangga menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin virtual menusuk paru-parunya. Ia melepas senapan snipernya yang berat dan bising. Ia hanya memegang pistol berperedam suaranya yang kecil dan pisau. Ini adalah pertempuran naluri.
Pergerakan dalam Senyap
Ren mulai merangkak. Salju virtual terasa dingin dan basah di bawah kostumnya. Ia bergerak sangat perlahan, memanfaatkan setiap gundukan salju, setiap retakan es, setiap celah kecil sebagai penyamaran. Matanya yang tajam menyapu sekeliling, mencari pergerakan sekecil apa pun dari musuh. Ia bisa mendengar langkah kaki samar dari dua lawan di kejauhan, suara embusan napas mereka, dan dentingan senjata mereka yang sesekali beradu.
Ia merayap melalui reruntuhan bangunan beku. Pecahan es berderit di bawah lututnya, namun ia mengendalikannya agar tidak menimbulkan suara. Bau metalik dari darah virtual yang menguap di udara dingin memenuhi indra penciumannya.
"Mereka ada di mana?!" suara Tank musuh terdengar melalui komunikasi tim musuh yang bocor. "Aku tidak melihat sniper itu lagi!"
"Pasti dia sembunyi! Dia akan berusaha menyelinap!" balas Fighter musuh. "Jangan sampai lengah!"
Ren menahan napas. Ia hanya berjarak beberapa meter dari mereka, bersembunyi di balik tumpukan puing. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Ia bisa merasakan getaran lembut di tanah setiap kali musuh melangkah.
Musuh bergerak memisah, mencoba mencari dirinya. Ini kesempatannya. Ia melihat Fighter musuh masuk ke dalam reruntuhan yang sama dengannya, tetapi di sisi lain.
Ren dengan hati-hati mengeluarkan pistolnya yang berperedam suara. Ia membidik ke kepala Fighter itu, yang membelakanginya, mencari-cari. Setiap otot di tubuhnya menegang. Ini harus tepat. Tidak boleh meleset.
PRRT! Suara tembakan pistol berperedam suara itu nyaris tak terdengar.
"PLAYER DOWN! REN HAS ELIMINATED 'OBLIVION_BERSERKER'!" Notifikasi merah kecil muncul di sudut pandang, tidak lagi menggelegar di langit, menjaga kerahasiaan. "PLAYERS REMAINING: 2".
Lawan kini hanya satu. Tank musuh.
Satu Lawan Satu: Akhir yang Menentukan
Tank musuh, 'Oblivion Guardian', menyadari rekannya tumbang. "SIAL! Dia ada di sini! Di suatu tempat! Aku mendengarnya!"
Ren terus bergerak, merangkak, menyatu dengan lingkungan. Ia melihat 'Oblivion Guardian' panik, berputar-putar, menembaki setiap sudut yang mencurigakan. Ini bukan lagi pertarungan senjata, ini adalah pertarungan mental.
Ren menemukan celah di bawah sebuah mobil yang hancur. Ia merangkak masuk. Dari sana, ia bisa melihat kaki 'Oblivion Guardian' bergerak. Tank itu semakin dekat.
Seketika, 'Oblivion Guardian' berbalik, seolah merasakan keberadaan Ren. Matanya langsung bertemu dengan mata Ren melalui celah kecil di bawah mobil.
"KAU DI SANA, BAJINGAN!" teriak 'Oblivion Guardian', menembakkan senapan mesinnya ke arah mobil.
Peluru-peluru virtual menghantam mobil, mengguncangkan seluruh tubuh Ren di dalam kostumnya. Ia merasakan getaran kuat dan suara bising yang memekakkan telinga. Ia tahu ia tidak punya waktu.
Dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ren menerjang keluar dari bawah mobil, pisau virtualnya terhunus. 'Oblivion Guardian' terkejut, tidak menyangka Ren akan menyerang jarak dekat.
Ren menusukkan pisaunya ke titik vital di armor virtual 'Oblivion Guardian'. Rasanya seperti menembus sesuatu yang alot dan keras, dan ada sensasi tarikan saat pisau itu masuk.
"PLAYER DOWN! REN HAS ELIMINATED 'OBLIVION_GUARDIAN'!"
"WINNER WINNER CHICKEN DINNER!"
Pesan besar berwarna emas yang familiar itu muncul di langit virtual, diikuti sorakan penonton yang menggelegar. Ren terengah-engah. Tubuhnya gemetar. Ia telah melakukannya. Ia memenangkan semifinal, sendirian.