MANTAN KEKASIH GELAPKU

Kesal sama Jihan yang suka sekali sok drama. Jadi wanita saja manja amat. Padahal baru saja sakit begitu, masak minta dijemput segala.

"Dasar istri tak guna. Kata seorang guru tapi otaknya tidak dipakai, apa! 'Kan bisa makai ojek kalau tidak bisa mengendarai motor sendiri," keluh dalam hati masih dongkol.

"Kenapa sih bisa apes nikah sama wanita kuper, kumel, tidak berguna seperti dia. Ini semua gara-gara hutang dan orangtua yang suka pilih-pilih dijadikan menantu," Kekesalan hati masih saja tidak terima.

Dert ... dert, gawai tiba-tiba bergetar, tanda ada sebuah pesan yang masuk.

[Mana janji kamu, sayang?]

[Sabar dulu kenapa. Nanti setelah pulang kerja kita ketemuan saja, gimana?]

Kling ... dzzt, gawai lagi-lagi menerima pesan dari Hesti selingkuhanku.

[Oklah. Nanti jemput ke rumah, yah!]

[Emm, sipplah]

Akhirnya percakapan dengan wanita yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga telah berakhir. Dialah wanita yang selalu kupuja sampai kapanpun itu. Jihan dengan bod*hnya selalu mengharapkan cinta dariku, yang padahal seujung kukupun tidak ada rasa sama sekali padanya, seperti tidak tertarik saja sama Jihan itu.

Tangan sedang sibuk mengerjakan beberapa kerjaan kantor. Tinggal tiga jam lagi akan ketemu wanita yang berharga dalam hidupku.

*******

Waktu terus saja bergulir, untukku segera menyudahi pekerjaan. Waktu masih menujukkan diangka empat, jadi sebelum hari mulai gelap aku bisa bermain-main sepuasnya dengan kekasih.

Tin ... tin, bunyi klakson mobil telah kutekan, saat sekarang sudah sampai ke depan perkarangan rumah kos milik pacar.

"Kok, lama banget sih yank jemputnya," keluh Hesti sudah masuk mobilku.

"Maaf ya, sayang. Kamu tahu sendiri kalau ini jam-jam orang lagi pulang kerja, jadi macet sekali dijalanan tadi," terangku.

"Hemm, iya ... iya, dah."

Kunci mobil sudah kuputar, untuk segera menjalankan kendaraan yang sedang kami tumpangi.

"Uangnya sudah ada 'kan?" tanyanya sambil memeluk mesra lengan tanganku.

"Tentu saja ada, sayang. Apa sih yang enggak buat kamu," balasku berbicara manja.

"Kamu memang yang terbaik, cuup!" Dengan mudahnya Hesti sudah mencium pipi.

"Yah, haruslah. Kita 'kan sudah sehati melebihi suami istri gitu 'loh."

"Suka dech sama pria seperti kamu yang tidak pelit begini."

"Hmm."

Setelah berapa jam terjebak sama jalanan yang macet, akhirnya sampai juga di tempat tujuan yaitu mall. Wajah Hesti tidak berhenti terus saja tersenyum manis dan aku suka melihatnya seperti itu. Tangannya tak lepas juga, untuk terus bergelayutan manja di lengan.

"Nanti belikan yang aku pilih ya, sayang."

"Memang mau beli apa, sih? Kayak penting amat," tanyaku heran.

"Biasalah, kayak tidak tahu aku saja. Yang jelas mau beli pakaian, higheels, dan kosmetik," jelasnya.

"Hadeh. Bukankah selama ini selalu beli itu, kenapa tidak yang lain saja."

"Kamu gimana sih, yank! Aku 'kan harus jaga penampilan juga. Kalau aku cantik siapa juga yang untung. 'kan kamu juga. Seandainya jalan sama wanita kumel kamu pasti malu 'kan ... 'kan? Ya, contohnya kayak istrimu itu," sindirnya.

"Benar juga apa yang kamu katakan itu. Jihan memang tidak bisa diandalkan, dia cantik sih tapi tidak bisa berdadan mempesona seperti yang kuinginkan," Apa yang dikatakan Hesti ada benarnya.

"Maka dari itu, aku butuh uang untuk perawatan diri. Kalau tidak dijaga bakalan tidak menarik. Betul tidak?" imbuhnya.

"Iya ... iya. Kamu memang wanita yang selalu bisa diandalkan dan bikin aku tambah klepek-klepek saja."

"Okelah, nanti pilih semua barang yang kamu inginkan. Apapun itu, aku yang akan traktir."

"Terima kasih ya, sayang."

"Iya, sama-sama."

Akhirnya semua apa yang dipilih Hesti akulah yang membayarnya. Tangan kanan kiri sudah penuh dan sibuk, sebab kerepotan membawa semua belanjaan miliknya.

Tidak bisa pelit pada Hesti, sebab dia selalu saja membuat bahagia dan memenuhi keinginanku, termasuk kebutuhan didalam kamar.

Tidak peduli sama Jihan, yang penting sekarang semua h*srat yang aku butuhkan bisa dipenuhi oleh Hesti. Dia selalu saja memuaskan apa yang menjadi gejolak didalam jiwa.

Lama sekali kami berkeliling memasukki satu persatu toko, sampai-sampai kaki terasa mulai pegal.

"Ayo pulang. Sudah lama kita jalan-jalannya," Tangan sudah melihat jam tangan yang sekarang menunjukkan pukul tujuh.

"Ok 'lah, sayang. Lagian aku sudah puas sama belanja dan kelihatannya sudah terbeli semua, tidak ada satupun yang kurang," balasnya sudah tersenyum menggoda, sambil mengedipkan mata penuh hasr*t ingin terus memilikinya.

"Iya, beb."

Tanpa persiapan, lagi-lagi Hesti sudah memberikan kecupan pipi didepan khalayak ramai. Perlakuannya itu membuatku terkejut sekaligus malu-malu tapi ingin menambah.

"Jangan disinilah, sayang. 'Kan malu dilihat orang," keluhku.

"Kenapa harus malu. Bukankah kita melakukannya lebih dari itu."

"Iya, tapi 'kan kita sembunyi-sembunyi melakukanya bukan seperti ini," terangku sambil mengajaknya berjalan menuju tempat parkir.

"Emm, kalau terbongkarpun kita masih bisa melakukan semua itu secara sembunyi-sembunyi, benar 'kan?" tanyanya yang terasa ada keraguan.

"Tentu saja, sayang. Apapun yang terjadi nanti, aku akan tetap mempertahankan kamu."

"Baguslah kalau begitu, jadi tambah sayang saja sama kamu."

"Hmm, kita harus tetap bersama apapun yang terjadi nanti. Kamu harus janji juga."

"Sipp, sayang."

Tugasku sudah selesai dan langsung mengantar Hasti pulang, tapi sebelun itu dia harus memberikan pelayanan terbaik untukku. Uang sudah habis lima juta dalam sehari saja, masak tidak dikasih jatah untuk memberikan pertahanan yang selama ini kujaga untuk Jihan.