NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjemput harapan!

Dengan langkah yang terasa berat bagai mengangkut seluruh gunung di pundaknya, Shanmu berbalik meninggalkan kuburan massal itu. Setiap jejak kakinya seolah meninggalkan bekas luka di tanah yang telah menyerap begitu banyak darah. Tatapannya kosong, bagai cermin retak yang memantulkan bayangan hampa. Pikirannya berputar liar, menyusuri setiap sudut kenangan yang tersisa.

Ia teringat pada hari-hari pertama setelah ditinggalkan orang tuanya, ketika perut keroncongannya hanya bisa diisi dengan belas kasihan para tetangga. Ibu Li yang baik hati selalu menyisihkan semangkuk bubur untuknya. Pak Tua Chen yang mengajarinya cara mengasah pacul. Anak-anak sebayanya yang dulu mau menerimanya dalam permainan mereka, meski ia selalu menjadi yang termiskin. Mereka semua telah memberikannya lebih dari sekadar sesuap nasi; mereka memberikannya alasan untuk terus hidup.

Dan Kepala Desa... sosok itu muncul begitu jelas dalam ingatannya. Lelaki tua itu tidak pernah mengusirnya, tidak pernah memandangnya dengan sebelah mata. Dialah yang menjadi jembatan antara Shanmu yang sebatang kara dengan kehidupan desa. Dialah yang mempercayakannya pekerjaan, yang mengajarinya arti tanggung jawab, yang kadang memanggilnya untuk sekadar berbagi cerita di bawah beringin tua. Dalam hati Shanmu yang terluka, Kepala Desa telah menempati ruang yang seharusnya milik seorang ayah.

Saat ia kembali ke pusat desa, pemandangan mengerikan itu kembali menyambutnya dengan bengis. Bau besi darah masih menyengat di udara, bercampur dengan aroma hangus kayu yang terbakar. Setiap rumah telah berubah menjadi onggokan puing. Bahkan gubuk bambu reotnya sendiri, tempat ia melewatkan malam-malam sunyi dengan kerinduan dan kebencian, telah luluh lantak menjadi abu. Tidak ada lagi yang tersisa. Dunia yang ia kenal telah dihapus tanpa sisa.

Kakinya tak lagi mampu menahan beban. Dengan suara lemah, ia terjatuh berlutut di tanah yang penuh coretan darah kering. Matanya yang kosong itu semakin hampa, bagai sumur kering yang kehilangan mata air.

Harus kemana?

Pertanyaan itu bergema dalam hampa. Selama enam belas tahun hidupnya, batas dunianya hanya sejauh puncak gunung yang mengurung lembah ini. Ia bahkan tidak tahu apakah ada kota di balik barisan pegunungan itu, atau apakah desa-desa lain memiliki nasib yang sama.

Air mata tak kunjung datang. Rasa sakit itu terlalu dalam, terlalu membekukan, hingga melebihi kemampuan manusia untuk menangis. Ia hanya duduk terdiam, tubuhnya membatu, menatap puing-puing kehidupannya yang hancur. Mungkin, lebih baik jika ia mati bersama mereka. Mungkin itulah takdir yang seharusnya.

Malam berlalu dengan dingin yang menusuk tulang. Kabut pagi kembali turun, menyelimuti reruntuhan dengan selimut putih yang ironisnya masih terasa damai. Sinar matahari pagi mulai menyembul dari balik gunung, menyinari desa yang telah menjadi kuburan. Cahaya keemasan itu seolah mengolok-olok kegelapan dalam hatinya. Shanmu masih berada di posisi yang sama, tubuhnya kaku, jiwanya terdampar di antara keinginan untuk mati dan desakan untuk hidup.

Dan kemudian, seperti kilatan petir di tengah kebekuan pikirannya, sebuah kecurigaan yang menyakitkan muncul. Mengapa Kepala Desa begitu bersikeras menyuruhnya berburu kelinci kemarin? Padahal biasanya pesanan seperti itu tidak mendesak. Mengapa tatapan sang tua kemarin pagi terasa lebih dalam, seolah mengandung makna yang tidak terucap? Apakah... apakah dia sudah tahu? Apakah dia sudah menduga akan datangnya bencana? Apakah pengiriman dirinya ke hutan adalah sebuah upaya terakhir untuk menyelamatkannya? Sebuah pengorbanan dari seorang ayah untuk memastikan setidaknya satu nyawa terselamatkan dari pembantaian ini?

Pada saat itulah, seolah sumbat yang menahan segalanya terlepas. Air mata pertama akhirnya menetes. Awalnya hanya setetes, lalu berubah menjadi aliran deras yang tak terbendung. Tubuhnya yang perkasa terguncang oleh isak tangis yang dalam dan menyakitkan. Tangisan untuk semua yang telah hilang. Tangisan untuk pengorbanan yang ia sadari begitu dalam.

Dengan gerakan lambat, seolah setiap sendi berderit, Shanmu berdiri. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan yang kotor, meninggalkan coretan di wajahnya. Matanya yang basah menatap mentari pagi yang terus naik, seolah mencari jawaban, sebuah petunjuk arah. Apakah ia harus mengikuti keinginan hatinya yang putus asa untuk mengakhiri segalanya? Atau apakah ia harus menghargai pengorbanan Kepala Desa dengan terus hidup, mencari makna baru di balik gunung-gunung yang selama ini memenjarakannya?

Akhirnya, dengan napas berat yang memutuskan, ia melangkah. Perlahan, mantap, menuju timur, arah matahari terbit, simbol harapan dan awal baru. Ia pergi tanpa membawa apa-apa. Tidak ada bekal, tidak ada senjata, tidak ada kenangan fisik. Semuanya telah dirampok oleh kekejian tak dikenal. Hanya tubuhnya yang terluka, dan pakaian abu-abu lusuh yang melekat di kulitnya.

Setelah berjalan sekitar lima ratus meter, sebuah desakan tak tertahankan membuatnya melihat ke belakang untuk terakhir kalinya. Dan di sana, di balik selubung kabut pagi dan mungkin juga ilusi dari pikirannya yang terluka, ia melihatnya. Dusun Sunyi masih utuh. Asap mengepul dari atap-atap rumah, suara anak-anak bermain terdengar samar, dan bayangan para petani berangkat ke ladang terlihat di kejauhan. Untuk sepersekian detik, wajahnya berubah cerah, seolah seluruh tragedi itu hanya mimpi buruk.

Namun, ketika ia melangkah satu langkah mendekat, pemandangan itu segera sirna bagai gelembung sabun. Yang tersisa hanyalah kenangan pahit tentang desa yang rata dengan tanah. Tubuhnya kembali kaku, dan ia menundukkan kepala dalam kepahitan yang tak terkatakan.

"Bahkan pikiranku sendiri mengolok-olokku," gumamnya dengan suara parau.

Sebuah senyum getir, penuh dengan kesedihan dan penerimaan yang pahit, menguar di bibirnya. Ini adalah kenyataan. Tidak ada jalan kembali.

Dengan tekad yang kini mengkristal dalam dadanya, ia berbalik menatap gunung tinggi di timur, penjara sekaligus gerbang menuju dunia luar. Gunung yang selama ini menghimpit desanya, sekaligus melindunginya dari kenyataan pahit dunia. Kini, ia harus mendakinya. Bukan untuk mencari balas dendam, itu adalah api yang terlalu besar untuk dinyalakan saat ini, tetapi untuk mencari secercah harapan. Harapan untuk kehidupan yang layak. Harapan bahwa di suatu tempat di luar sana, masih ada dunia yang indah, bahwa tidak semua tempat dipenuhi oleh kekejian dan darah.

Dan dengan langkah yang kini lebih pasti, Shanmu mulai mendaki. Setiap langkahnya menjauh dari kuburan massal, dari kenangan, dari masa lalunya. Ia adalah seorang pengungsi dari kehancuran, seorang pejalan yang terluka, membawa serta luka yang dalam dan pertanyaan yang tak terjawab. Tapi setidaknya, ia masih bernapas. Dan selama masih ada napas, selama masih ada matahari yang terbit di timur, maka harapan betapa pun kecilnya, akan membuatnya tetap hidup.

Waktu berlalu...

Delapan jam kemudian, kaki Shanmu yang telah ditempa oleh penderitaan akhirnya menginjak puncak gunung. Napasnya memburu, mengeluarkan kabut putih di udara dingin yang menusuk. Puncak gunung ternyata datar, dipenuhi dengan batu-batu granit besar yang seolah-olah ditata oleh tangan raksasa. Di balik kabut yang menyapu, ia bisa merasakan bahwa pemandangan di seberang tebing akan menentukan langkahnya selanjutnya. Namun, perutnya yang keroncongan mengingatkannya pada kenyataan yang lebih mendesak.

Dengan keterampilan yang telah ia kuasai sejak kecil, ia mencari jejak kelinci. Ia menemukan jalur kecil di antara semak-semak rendah dan memasang beberapa jerat sederhana dari tali rami yang selalu ia bawa dalam kantong kecilnya. Keberuntungan sepertinya belum sepenuhnya meninggalkannya. Hanya setengah jam kemudian, seekor kelinci putih besar terperangkap jeratnya. Mata kelinci itu membulat ketakutan, tetapi Shanmu, dengan hati yang telah dikeraskan oleh kelaparan dan kebutuhan, mengakhiri penderitaannya dengan cepat dan tepat.

Dengan sabar, ia mencari dua batu yang tepat, satu batu pipih dan satu batu runcing. Dengan gerakan terampil, ia membenturkan kedua batu itu. Percikan api kecil bertebaran, jatuh pada tumpukan daun kering dan ranting yang telah ia siapkan. Setelah beberapa kali usaha, asap tipis mulai mengepul, dan akhirnya, nyala api kecil muncul, menghangatkan udara dingin puncak gunung. Api unggun itu bagai mercusuar harapan di tengah keterpencilan.

Sebelum memanggang, ia ingat melihat sumber air kecil dua ratus meter di bawah puncak. Dengan membawa kelinci yang telah mati, ia turun dengan hati-hati. Mata air itu jernih dan dingin, memancar dari celah bebatuan. Di sana, dengan sebilah pisau kecil peninggalan ayahnya, satu-satunya harta yang ia miliki, ia membersihkan kelinci itu dengan cermat. Darahnya mengalir bersama air, dan bulu-bulu putihnya hanyut dibawa angin. Pekerjaan ini mengingatkannya pada kehidupan lamanya, menimbulkan desakan sedih yang dalam, tetapi ia mengusirnya. Ini tentang bertahan hidup sekarang.

Kembali ke api unggun, ia menusuk daging kelinci itu dengan tongkat kayu keras dan mulai memanggangnya. Aroma daging terbakar memenuhi udara, menggugah seleranya yang telah lama tidak merasakan makanan hangat. Setelah matang, ia memakannya dengan lahap, tanpa bumbu, tetapi terasa seperti makanan terlezat yang pernah ia rasakan. Kepuasan sederhana mengisi tubuhnya yang lelah.

Setelah perut kenyang, kelelahan menerpa. Namun, ada rasa takut yang aneh di hatinya. Di seberang tebing itu terletak masa depannya, dan ia takut akan kekecewaan. Alih-alih langsung melihat, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia bersandar pada batu besar yang hangat oleh api, dan tanpa terasa, tidur yang gelisah menyelimutinya selama satu jam.

Ia terbangun oleh terik matahari yang mulai condong ke barat. Tidak ada lagi alasan untuk menunda. Dengan jantung berdebar kencang, ia berjalan perlahan menuju tepi tebing.

Pandangan yang terbentang di hadapannya begitu luas, membuatnya sedikit pusing. Namun, yang ia lihat bukanlah pemukiman manusia, bukan kota yang ramai, atau bahkan desa kecil. Yang membentang di hadapannya, sejauh mata memandang, adalah lautan hijau tak berujung. Hutan lebat yang tampaknya tidak pernah tersentuh, dengan puncak-puncak pepohonan yang membentuk gelombang hijau di bawah langit biru. Sebuah kekecewaan yang dalam menyergapnya, namun anehnya, keputusasaan tidak datang. Justru, luasnya hutan itu memberikannya semacam ketenangan. Setidaknya, di sana ada kehidupan, ada tempat untuk bersembunyi dan melanjutkan perjalanan.

"Baiklah," gumamnya pada angin yang berhembus. "Jika ini jalannya, maka aku akan menerobosnya."

Dengan tekad yang diperbarui, ia mulai menuruni tebing sisi timur. Turun ternyata lebih berbahaya daripada mendaki. Batu-batu longgar dan akar-akar licin menguji setiap langkahnya. Butuh sisa hari itu baginya untuk mencapai dasar. Saat kakinya menginjak tanah datar di kaki gunung, matahari sudah terbenam, dan kegelapan hutan mulai terasa menakutkan. Ia segera membuat api unggun lagi, bersembunyi di balik rimbunnya semak, dan menghabiskan malam yang gelisah dengan suara-suara malam hutan yang asing dan mengancam.

Keesokan paginya, ritual bertahan hidup dimulai lagi. Berburu, memasang jerat, memakan apa yang ia dapat. Dan begitu seterusnya, hari demi hari, bulan demi bulan.

Perjalanan setahun penuh melalui hutan belantara itu mengukir dirinya menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar penyintas. Ia menjadi bagian dari hutan itu sendiri.

Banyak kejadian tak terduga menghadangnya. Suatu kali, ia hampir bertemu dengan seekor beruang hitam besar yang sedang menggaruk pohon untuk mencari madu. Nafsu hidupnya berteriak untuk melawan, tetapi insting yang lebih dalam, yang diasah selama bertahun-tahun hidup di tepi jurang kematian, menyuruhnya untuk diam. Ia bersembunyi di balik rumpun bambu lebat, menahan napas, membiarkan tubuh raksasa itu lewat hanya beberapa meter darinya. Ia belajar bahwa kekuatan sejati terkadang terletak pada kesabaran dan penghindaran.

Musim hujan tiba dengan amukan. Hujan badai bisa turun tanpa henti selama dua hari dua malam, mengubah tanah menjadi kubangan lumpur dan sungai kecil menjadi banjir yang mengamuk. Pada saat-saat seperti itu, ia hanya bisa meringkuk di bawah naungan akar pohon besar yang membentuk gua kecil, tubuhnya menggigil kedinginan, mendengarkan gemuruh guntur dan deru angin yang seolah ingin mencabut nyawanya. Ia bertahan dengan mengunyah daun-daunan yang bisa dimakan dan menunggu dengan sabar.

Penyakit juga sering menghampiri. Tanpa pengetahuan tentang tanaman hutan, ia pernah tidak sengaja menyentuh tumbuhan beracun yang membuat tangannya bengkak dan demam tinggi selama tiga hari. Ia menggigil ketakutan sendirian, pikirannya berkabut, hanya bisa minum air dari genangan hujan dan berharap racun itu lenyap. Ajaibnya, tubuh perkasanya yang telah ditempa oleh penderitaan dan kerja keras perlahan-lahan mengalahkan racun itu. Demamnya mereda, bengkaknya mengempis. Pengalaman seperti ini terjadi berulang kali, keracunan ringan, luka infeksi, demam, setiap kali menguji batas ketahanannya, dan setiap kali pula ia bertahan, bukan karena keahlian, tetapi karena tekad besi dan vitalitas tubuhnya yang luar biasa.

Di tengah semua kesulitan, ia masih menemukan momen-momen kecil untuk merawat diri. Jika ia menemukan sungai kecil atau mata air yang jernih di siang hari, ia akan berhenti. Ia akan melepas pakaian abu-abu lusuhnya yang telah menjadi saksi bisu perjalanannya, membasuh kotoran dan keringat dari tubuhnya, lalu mencuci pakaiannya hingga bersih. Ia akan menjemurnya di atas batu yang panas hingga setengah kering sebelum kembali mengenakannya dan melanjutkan perjalanan. Itu adalah ritual sederhana untuk mempertahankan secercah kemanusiaan dalam dirinya.

Hingga akhirnya, pada suatu sore yang cerah setelah perjalanan yang terasa abadi, sebuah naluri mendorongnya untuk memanjat pohon oak raksasa untuk mengintai cakrawala. Dengan cekatan, ia memanjat hingga ke puncak, dan pandangannya tertuju pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berhenti sejenak.

Dua kilometer di depan, di seberang padang rumput luas, sekelompok rumah berjejer rapi. Asap mengepul dari cerobong mereka, dan ia bahkan bisa melihat titik-titik kecil manusia yang bergerak di antara rumah-rumah itu. Sebuah desa!

Kegembiraan yang begitu lama terpendam membanjiri seluruh tubuhnya. "Desa! Ada desa!" teriaknya dalam hati, suara yang hampir terlupakan rasanya.

Dengan cepat ia meluncur turun dari pohon, kulitnya tergores kulit kayu kasar tapi ia tidak peduli. Darahnya berdesir penuh harapan, dadanya berdebar-debar seperti genderang perang. Mungkin di sinilah kehidupan barunya dimulai. Tempat di mana ia bisa beristirahat, menemukan kedamaian, dan mungkin, melupakan sedikit rasa sakitnya.

"Di sana," bisiknya, senyum tipis muncul untuk pertama kalinya dalam perjalanan panjangnya. "Hidup baruku mungkin menungguku di sana."

Dan dengan energi yang seolah baru ditemukan, Shanmu berlari. Kakinya yang kuat melesat di atas padang rumput, membawanya mendekati harapan, meninggalkan bayangan hutan belantara dan kepahitan masa lalunya, menuju titik terang di kejauhan.

1
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
HUOKIO
Pulang dulu antarkan anak ny. Malah gosip
HUOKIO
Lanjutkan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!