Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Terpaksa Putus!
"Pak Reza mengalami serangan jantung... mungkin karena terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini." Ucapan dokter membuat suasana di ruangan itu kian berat.
"Tolong diperhatikan ya... jangan sampai beliau terbebani lagi. Kondisi jantungnya sangat sensitif sekarang."
Renata mengangguk cepat, mencoba menenangkan diri. "Baik, Dok. Terima kasih."
Sang dokter pun pamit keluar, meninggalkan keheningan yang begitu menusuk.
Renata menunduk, kemudian meraih tangan suaminya yang terbaring lemah di ranjang. Sementara itu, Rajata hanya berdiri di sudut ruangan, terpaku. Kata-kata sang ayah terus terngiang di kepalanya—permintaan yang menjeratnya di antara cinta dan rasa bakti.
Kalau aku menolak, Papa pasti terus memikirkan ini... tapi kalau aku menurut, gimana dengan Liora? batinnya berkecamuk.
Ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar, membuatnya tersentak.
Liora Sayang is calling...
Getaran itu seperti menambah berat beban yang sudah menindih dadanya.
Jari-jarinya sempat hendak menekan tombol hijau, tapi suara lirih ayahnya terdengar, memanggilnya.
"Ja..."
Rajata menoleh cepat. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu melangkah mendekati ranjang. "Iya, Pa... Raja di sini."
Dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca, Reza mengangkat tangannya, meraih tangan putranya.
"Tolong, Nak... bantu Papa keluar dari rasa bersalah ini... Tolong jaga Tessa.. Dia sendirian sekarang..."
Rajata terdiam. Hatinya mencelos mendengar permintaan itu. Ia ingin sekali berkata "Aku nggak bisa, Pa... hatiku sudah milik Liora", tapi melihat kondisi sang ayah yang begitu rapuh, bibirnya terkunci.
Sementara itu, Renata menatap putranya dengan sorot tajam, meski bibirnya masih berusaha melengkungkan senyum lembut. Ia kemudian menyentuh bahu Rajata, memberi isyarat untuk ikut keluar ruangan.
"Ma, aku nggak bisa..." Rajata akhirnya bersuara pelan namun tegas ketika mereka sudah berada di lorong. Napasnya memburu, dadanya sesak. "Aku nggak bisa menikahi gadis lain... hatiku sudah milik Liora."
Renata menarik napas panjang, menahan emosi yang hampir meluap. "Ja... kamu dengar sendiri apa kata dokter tadi kan? Kondisi papamu sangat rentan sekarang. Sedikit saja papa mu stres, itu bisa memperburuk keadaannya."
"Tapi Ma—"
"Dengarkan Mama dulu!" potong Renata dengan suara sedikit meninggi sebelum kembali melembut. "Kamu ikuti saja dulu keinginan Papa. Anggap ini hanya formalitas... nanti Mama yang akan cari cara agar kamu bisa segera bercerai dari gadis itu."
"M-Mama serius?" Rajata menatap ibunya tak percaya.
Renata mengangguk mantap. Tatapannya dingin kini, tak ada lagi kelembutan. "Yang paling penting sekarang adalah kesehatan Papamu. Kamu mau kan Papa selamat?"
Rajata memejamkan mata erat-erat. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ada rasa bersalah, marah, dan putus asa yang bercampur jadi satu.
"Baik..." ucapnya lirih, hampir seperti bisikan. "Tapi Mama janji... setelah ini semua selesai, aku bisa kembali ke Liora..."
Renata tersenyum samar, menyentuh pipi putranya dengan lembut namun ada kesan dingin di sana. "Tentu saja, Nak. Mama akan pastikan itu terjadi."
***
Di sisi lain, Tessa melangkah gontai keluar dari ruang jenazah. Matanya sembab, wajahnya pucat pasi. Tangannya meremas erat-erat gagang pintu seolah itu satu-satunya pegangan agar tubuhnya tidak limbung.
Sesekali pandangannya menyapu sekeliling, mencari sosok Pak Reza—pria yang tadi berjanji untuk menemaninya. Namun yang ada hanya lorong rumah sakit yang terasa begitu asing dan dingin. Tak ada Reza. Tak ada siapa pun.
Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Alih-alih terus mencari, Tessa memilih duduk di bangku panjang di depan ruang jenazah. Ia mendekap tasnya erat-erat, menundukkan kepala.
"Aku nggak tahu harus ke mana sekarang... nggak ada siapa-siapa lagi..." bisiknya pada diri sendiri.
Air mata kembali mengalir, meski ia berusaha keras untuk menahannya. Dunia yang selama ini penuh warna baginya, kini terasa seperti kanvas kosong—hampa, dingin, dan menyakitkan.
Entah apa yang ia tunggu. Entah apa yang ia harapkan. Yang jelas, saat ini Tessa benar-benar kehilangan arah.
Rajata melangkah pelan menuju ruang jenazah. Suasana di lorong terasa berat, membuat langkahnya terasa lebih lambat dari biasanya. Saat matanya menangkap sosok gadis berambut panjang yang duduk membungkuk di kursi depan ruang jenazah, langkahnya refleks terhenti.
Dahinya berkerut. Pandangannya menajam, memperhatikan jaket almamater yang gadis itu kenakan. Warna biru dongker dengan emblem yang sangat familiar.
"Itu... almamater Cakrawala..." batinnya.
Rajata menarik napas panjang. Ada rasa asing yang menggelitik dadanya, entah karena situasi atau karena wajah sendu gadis itu yang seolah menyimpan ribuan luka.
"Dia anak Cakrawala juga?"
Untuk beberapa detik, Rajata hanya berdiri di sana, mematung. Ada dorongan untuk melangkah mendekat, tapi ada juga beban berat yang menahannya. Ia tahu, gadis itu pasti hancur. Dan jika benar sesuai ucapan ayahnya, gadis ini akan menjadi bagian dari hidupnya—bagaimana pun caranya.
Langkah Rajata terasa berat, tapi ia memaksa kakinya untuk tetap maju. Setiap hentakan seolah membawa beban yang tak kasat mata, membuat dadanya semakin sesak.
Sampai akhirnya ia berhenti di hadapan gadis itu. Sosok yang kini duduk membungkuk di kursi panjang depan ruang jenazah, dengan mata sembab dan wajah pasi.
"Lo... yang namanya Tessa?" ucap Rajata pelan, suaranya agak serak.
Tessa yang mendengar namanya disebut sontak menoleh. Gerakan kepalanya begitu lambat, seakan ia harus mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk sekadar mengangkat wajah.
Pandangan mereka bertemu. Mata Tessa menangkap sosok Rajata—tinggi, gagah, dengan wajah yang selama ini hanya ia lihat dari jauh.
"Rajata?" batin Tessa. Ya... siapa yang tidak mengenal Rajata Kastara di kampus Cakrawala? Kapten basket andalan, idola banyak mahasiswi, dan nama yang selalu digaungkan oleh ketiga sahabatnya—Raisa, Putri, dan Diana.
Namun, meski sempat terkejut, Tessa terlalu lelah untuk berkata apa-apa. Bahkan sekadar bertanya kenapa Rajata tiba-tiba muncul di hadapannya pun terasa begitu berat. Ia hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah kehabisan kata.
Rajata kini ikut duduk di sebelah Tessa. Wajahnya terlihat lelah, tapi tatapannya tetap tajam menatap gadis di sampingnya.
"Bokap gue... tadi siang kena serangan jantung," ucapnya pelan. "Waktu nunggu lo."
Tessa menoleh cepat, tapi Rajata mengalihkan pandangannya.
"Dia minta gue nikahin lo... sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa bersalahnya sama orang tua lo."
Tessa diam. Matanya kembali memerah mendengar kata-kata itu. Ya... kecelakaan itu memang bukan sepenuhnya salah Reza, tapi kalau saja dia lebih fokus dan mengerem mobilnya lebih cepat, mungkin Dimas dan Erna masih hidup.
"Lo..." Tessa menarik napas panjang, suaranya bergetar, "...lo bisa bilang ke Pak Reza, nggak perlu.... Gue udah ikhlas.."
Tessa hendak berdiri, tapi tiba-tiba Rajata mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat.
"Kita tetap nikah. Besok." Suara Rajata terdengar mantap, meski ada nada berat di ujungnya.
Tessa membeku. Tatapannya langsung menatap mata Rajata, mencoba membaca isi hati pria itu. Dan benar saja... ada keterpaksaan di sana. Sorot matanya jelas menyimpan beban.
"Lo..." Tessa berbisik, suaranya serak. "Lo bisa nolak kalau nggak mau."
Ia menarik napas dalam, berusaha meredam gemuruh di dadanya. "Dan lagi... gue nggak mau nikah sama orang yang udah punya pacar!" serunya sedikit lebih keras.
Yah... siapa yang nggak tahu? Seluruh mahasiswa di Kampus Cakrawala tahu Rajata Kastara Naradipta adalah milik Liora Gistara—cewek populer dengan paras cantik tapi sifat nya sedikit arogan. Semua orang tahu jangan pernah cari masalah dengan Liora.
Merebut kekasih Liora? Itu sama saja dengan menyalakan api untuk membakar diri sendiri.
Dan Tessa... dia tidak pernah mau terlibat dalam drama seperti itu. Dia tidak mau jadi bahan gunjingan, apalagi harus berurusan dengan Liora.
Rajata hanya berdiri terpaku, menatap punggung Tessa yang menjauh tanpa sedikit pun niat untuk mengejarnya. Ada sesuatu di dadanya yang terasa berat... sampai getaran ponsel di sakunya membuyarkan lamunannya.
Mama is calling...
Tanpa banyak pikir, ia mengangkatnya.
"Halo." Suaranya terdengar datar.
"Ja, Raja!" suara Renata terdengar panik dari seberang. "Mana dia? Papa nanyain terus ini. Cepat bawa dia ke sini sebelum kondisi papamu drop lagi!"
Tanpa menjawab, Rajata menghela napas keras, lalu memutuskan sambungan telepon. Ia memasukkan ponsel ke saku, langkahnya panjang-panjang menyusul Tessa yang sudah berjalan cukup jauh.
Begitu mendekat, tanpa banyak kata Rajata langsung menarik pergelangan tangan Tessa.
"Ja, lepasin! Lo ngapain, sih?!" seru Tessa panik, mencoba melepaskan cekalannya.
Tapi genggaman Rajata terlalu kuat. Tubuh tinggi besar pria itu—184 cm—terlihat sangat kontras dengan Tessa yang mungil di sampingnya, hanya setinggi 165 cm. Ia bahkan nyaris terseret ketika Rajata menariknya dengan langkah panjang.
"Ikut ke ruangan bokap gue." Suara Rajata terdengar dingin, penuh tekanan.
Mau tak mau, Tessa akhirnya mengikuti langkah Rajata. Ia hanya diam, membiarkan pria itu menuntunnya menuju sebuah ruangan bertanda VIP di ujung koridor rumah sakit.
Hatinya berdebar tak karuan. Begitu pintu terbuka, aroma khas antiseptik rumah sakit menyeruak. Dan di sana, di atas ranjang dengan selang infus terpasang di tangan, Reza terbaring lemah. Wajah pucatnya tampak begitu rapuh, bibirnya pecah-pecah.
Tessa terpaku di ambang pintu. Ada desir aneh di dadanya. Entah kenapa melihat sosok itu seperti membangkitkan memori lama—ayahnya saat sakit dulu. Sama-sama pucat, sama-sama berjuang menahan sakit. Tiba-tiba hatinya terasa mencelos.
"Nak..." Suara lirih memanggil, membuat Tessa tersentak. Ia menoleh. Reza mengangkat tangannya lemah, memberi isyarat agar Tessa mendekat.
Perlahan, langkah Tessa maju ke arah ranjang. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak karuan.
"Saya harap... kamu mau menikah dengan Rajata... anak saya," ucap Reza dengan suara parau, napasnya tersengal.
Tessa menelan ludah. Matanya beralih ke Rajata yang berdiri di sisi ranjang, terlihat tegang namun menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu.
"Kamu... mungkin sudah tahu Rajata, kan?" lanjut Reza terbata. "Saya lihat... kalian satu almamater."
Tessa hanya diam, tak tahu harus menjawab apa.
"Anggap saja... ini sebagai bentuk tanggung jawab saya... sama kamu... dan almarhum ayahmu," suara Reza terdengar bergetar.
"Ayahmu sebelum menghembuskan napas terakhir-nya....menitipkan kamu pada saya. Dan saya... saya nggak tahu... sampai kapan saya bisa bertahan di dunia ini."
Tessa menggigit bibir. Matanya mulai memanas.
"Setidaknya... kalau saya harus pergi nanti... kamu nggak sendirian, Nak... ada Rajata di sampingmu."
Kata-kata itu menembus pertahanannya. Hati Tessa mencelos. Ada rasa getir yang tak bisa ia tolak saat melihat Reza berjuang menyampaikan setiap kalimatnya. Meskipun ucapannya terbata-bata, Tessa bisa mendengar dengan jelas... setiap kata itu terasa berat, namun tulus.
Ia menunduk, berusaha menenangkan perasaannya yang mendadak kacau.
"Tapi... saya nggak mau menikah dengan orang yang sudah punya pacar, Pak..."
Akhirnya Tessa memberanikan diri mengucapkan itu. Suaranya pelan tapi tegas. Ia tahu ini risiko besar—mungkin akan membuat semua orang di ruangan itu menatapnya dengan tidak suka. Namun ini demi kebaikannya sendiri. Kalau pun ia harus menikah dengan Rajata, setidaknya pria itu harus memutuskan kekasihnya lebih dulu.
Sejenak ruangan itu hening. Semua kepala perlahan menoleh padanya, termasuk Rajata. Tatapan pria itu penuh keterkejutan, matanya membelalak seolah tak percaya Tessa berani bicara seperti itu.
"Saya tahu Rajata punya pacar... dan saya nggak mau dianggap merebut kekasih orang," lanjut Tessa dengan nada yang sedikit bergetar namun tetap berusaha kuat. "Jadi... kalau memang Bapak menginginkan saya menikah dengan Rajata, saya mau... dia memutuskan kekasihnya lebih dulu."
Suasana langsung menegang. Renata dan Carissa yang sejak tadi diam ikut menoleh tajam ke arah Tessa. Mata mereka menyipit, sorotnya seolah siap mengajak perang. Rajata sendiri mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tangan mengepal di sisi tubuhnya.
Rajata meraih pergelangan tangan Tessa dan menariknya keluar ruangan dengan langkah besar. Pintu VIP tertutup keras di belakang mereka, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.
"Lo gila, ya?!" bentak Rajata dengan suara tertahan, tapi jelas terdengar marah. "Ucapan lo barusan bisa bikin bokap gue ngedrop!"
"Dan gue... nggak mungkin mutusin Liora!" Lanjut Rajata nadanya tinggi. Matanya berkilat, rahangnya menegang.
Tessa menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meski dadanya terasa sesak. "Yaudah... kalau gitu nggak usah nikah. Gampang, kan?"
"Keputusan ada di lo. Gue nggak masalah nikah... asal lo mutusin Liora dulu. Tapi kalau lo nggak mau... bukan gue juga yang rugi. Toh bokap lo juga yang udah bikin gue kehilangan orang tua gue."
Kalimat itu seperti tamparan keras bagi Rajata. Tessa hendak berbalik pergi ketika tiba-tiba tangan Rajata mencekalnya lagi, kali ini lebih kuat.
"Oke. Fine!!" seru Rajata, nadanya berat penuh frustrasi. "Gue putusin Liora!!"
Tessa terkejut, tapi tetap diam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya, tapi juga takut ini hanya omong kosong Rajata demi menyelamatkan keluarganya.
Rajata menunduk sesaat, mengatur napas yang mulai memburu. Dengan gerakan cepat, ia merogoh saku celana, menarik ponsel, lalu menekan nama yang sedari tadi muncul di layar—Liora.
Tangan satunya masih mencengkeram tangan Tessa, seolah memastikan gadis itu tidak pergi sebelum mendengar semuanya.
"Haloo, sayang?" suara Liora terdengar lembut di seberang.
Rajata terdiam beberapa detik. Dadanya naik turun cepat. Napasnya berat seolah kalimat yang akan ia ucapkan terlalu menyakitkan untuk keluar.
"Kita... putus," ucapnya akhirnya, lirih tapi tegas.
Sebelum Liora sempat menjawab, Rajata sudah menekan tombol merah. Sambungan terputus begitu saja.
Suasana hening sesaat. Tessa hanya bisa menatapnya dengan mata yang sulit terbaca—antara terkejut, iba, atau justru tetap ragu.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa