Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 ATURAN PANTI
Di malam yang sudah sunyi dan sepi, sekali lagi Bu Rianti memanggil Alisa kembali masuk dalam ruangannya setelah percakapan kemarin malam. Ia akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting kali ini. Nampak di wajah Bu Rianti sedikit berat untuk menyampaikannya. Alisa dapat membaca raut kecemasan di wajah tua itu.
Bu Rianti masih menggenggam tangan Alisa erat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya sebelum menyampaikan sesuatu yang berat.
“Ada hal yang ingin ibu sampaikan, Nak.” ucap Bu Rianti lirih. “Sebenarnya, Ibu berat mengatakannya, tapi ini sudah jadi aturan panti. Setelah kamu lulus SMA—artinya saat kamu sudah berusia tujuh belas tahun—kamu harus meninggalkan panti ini. Kami tidak bisa lagi menanggung biaya hidup dan tempat tinggalmu. Kamu pasti sudah tahu soal aturan ini, kan?”
Alisa menghela napas lemah. Ternyata, waktunya hampir tiba—waktu untuk meninggalkan tempat yang selama ini menjadi rumah baginya.
“Aku tahu, Bu... Tapi rasanya nggak nyangka, ya. Waktu berjalan cepat. Nggak kerasa aku harus ninggalin Ibu dan adik-adik di sini. Aku pasti bakal kangen banget sama semua orang... sama panti ini juga.”
Bu Rianti langsung memeluk Alisa dengan hangat.
“Ibu juga pasti kangen, Nak. Kamu anak baik, selalu peduli dan penuh kasih pada adik-adikmu. Ibu yakin kamu bisa menghadapi dunia luar. Iya, di luar sana itu keras... Tapi kamu juga kuat. Karakter dan kedewasaanmu akan diuji. Pesan Ibu satu saja: tetaplah jadi orang baik. Tapi jangan biarkan dirimu ditindas kalau kamu nggak salah. Jangan biarkan siapa pun memperlakukanmu semena-mena, ya.”
“Iya, Bu. Alisa akan ingat nasihat Ibu,” jawab Alisa, melepaskan pelukan perlahan.
“Tenang saja, kamu masih boleh mampir dan nginap di sini kalau lagi kangen, kok,” ucap Bu Rianti tersenyum.
“Iya, Bu. Terima kasih...”
“Sebagai bentuk tanggung jawab terakhir dari panti, Ibu juga akan kasih uang pegangan sebesar lima juta rupiah. Itu cukup untuk sewa kos dan kebutuhan sehari-hari sampai kamu dapat pekerjaan.”
“Terima kasih banyak, Bu... Panti ini memang luar biasa bertanggung jawab. Aku bersyukur bisa dibesarkan di sini, meskipun mungkin aku dilahirkan tanpa diinginkan. Aku dibuang, tapi Ibu menerima dan merawat aku sepenuh hati.”
“Jangan bilang begitu, Nak. Kadang orang tua punya alasan tertentu menitipkan anaknya di panti. Bukan berarti kamu nggak diinginkan. Jangan buru-buru menilai mereka buruk, ya.”
“Tapi, Bu... Aku merasa mereka memang nggak ingin aku lahir ke dunia ini. Mereka tega banget menaruh aku di depan pintu panti waktu hujan deras. Kenapa mereka sampai setega itu, Bu?” tanya Alisa dengan suara bergetar.
Alisa tahu kisahnya sejak awal, karena Bu Rianti pernah menceritakannya. Saat itu, hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Bu Rianti baru saja datang dari Jakarta untuk mengurus peresmian Panti Asuhan Kasih. Di depan pintu, ia menemukan sebuah kotak. Di dalamnya, seorang bayi perempuan yang masih merah, menangis keras, bibirnya membiru karena kedinginan.
Bu Rianti panik dan segera membawa bayi itu masuk ke dalam rumah. Ia menghangatkan tubuh bayi itu, lalu memberinya susu. Setelah bayi itu tertidur, Bu Rianti memeriksa kotak tadi, barangkali ada surat atau petunjuk. Tapi yang ia temukan hanya kalung kecil dengan cincin bertuliskan nama: Alisa Veronica. Maka, sejak saat itu, bayi itu pun diberi nama sesuai tulisan di cincin tersebut.
Mengingat kembali kisah itu, wajah Bu Rianti tampak diliputi kesedihan.
“Apapun alasan mereka meninggalkanmu di sini, Ibu harap kamu tidak menyimpan dendam. Doakan saja yang terbaik untuk mereka. Kalau mereka masih hidup, mungkin suatu saat kamu bisa bertemu. Tapi kalau mereka sudah tiada, kirimkan Al-Fatihah untuk mereka, ya.”
“Aku justru takut bertemu mereka, Bu. Aku takut kecewa lagi. Takut ditinggal untuk yang kedua kali.”
Bu Rianti mengelus kepala Alisa dengan lembut.
“Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Meskipun kamu nggak ingin bertemu mereka, kalau Allah berkehendak, kamu nggak bisa menghindar. Hadapilah semuanya dengan lapang dada dan ikhlas.”
Alisa hanya terdiam. Pikirannya sudah terlalu penuh.
“Kalau begitu, kembalilah ke kamar. Ibu juga ingin istirahat,” ucap Bu Rianti lembut.
“Baik, Bu. Selamat malam.” Alisa memeluk Bu Rianti sekali lagi sebelum melangkah pergi.
________________________________________
Sementara itu, di rumah Ferdinan, Rayyen baru saja duduk di ruang keluarga saat suara berat ayahnya menyambut tajam.
“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Apa sekolah sekarang pulangnya malam?”
“Baru pulang sekolah, Yah. Tadi Rayyen belajar bareng,” jawab Rayyen santai.
“Belajar bareng dengan gadis panti itu lagi?” tanya Ferdinan dingin.
“Namanya Alisa, Yah. Dia bukan sekadar 'gadis panti'.”
“Ayah nggak peduli namanya siapa. Ayah sudah sering bilang, jangan dekat-dekat dengan dia. Tapi kamu susah banget dengar omongan orang tua, ya?”
Melisa, ibu Rayyen, datang membawa secangkir kopi. Ia langsung menimpali.
“Iya, Mama juga heran. Apa sih yang kamu lihat dari gadis kampungan itu? Kamu nggak sadar selama ini dia cuma manfaatin kamu?”
“Maksud Mama apa?” tanya Rayyen, mulai bingung.
“Kamu pikir kami nggak tahu kalau kamu suka bantu panti itu? Semua yang kamu lakukan, kami tahu. Kamu terlalu terbuka, Rayyen.”
“Jadi Mama dan Ayah memata-matai aku?”
“Tentu saja. Kami orang tua kamu. Kami ingin kamu dapat yang terbaik, termasuk soal pasangan. Dan gadis itu... dia bukan dari latar belakang yang pantas.”
“Ayah, Mama... Jangan bicara seperti itu soal Alisa. Memang dia besar di panti, tapi dia nggak pernah minta apa pun dari aku. Dia bahkan sering marah kalau aku terlalu banyak bantu panti itu.”
“Itu cuma trik murahan, Rayyen. Supaya kamu makin simpati dan kasih lebih banyak bantuan. Mereka tahu cara mainnya.”
“Enggak, Ma! Mereka bukan seperti itu. Mereka tulus...”
“Cukup!” bentak Ferdinan. “Mulai malam ini, kamu harus berhenti berhubungan dengan gadis itu. Kalau tidak, Ayah akan minta semua donatur berhenti bantu panti itu. Kamu tahu sendiri apa akibatnya kalau sampai itu terjadi.”
“Tapi, Yah…”
“Pilihan ada di tangan kamu. Kalau kamu masih nekat, jangan salahkan Ayah kalau panti itu kehilangan donaturnya. Kamu tahu artinya, kan? Anak-anak di sana akan menderita... termasuk gadis yang kamu bela itu.”
Setelah itu, Ferdinan berbalik dan meninggalkan ruangan.
“Dengar kata Ayahmu, Rayyen,” ucap Melisa menyusul. “Kami hanya ingin yang terbaik untuk masa depan kamu.”
Rayyen terdiam. Pandangannya kosong. Hatinya bergejolak hebat—antara cinta dan ancaman. Ia belum bisa melepas Alisa. Ah bukan belum, tetapi tidak bisa. Alisa adalah wanitanya, cinta pertamanya. Tapi ia juga tidak boleh egois. Kalau ia tetap keras kepala bisa saja anak-anak panti akan kena imbasnya.