Di balik megahnya pusat kekuasaan, selalu ada intrik, pengkhianatan, dan darah yang tertumpah.
Kuroh, putra dari seorang pemimpin besar, bukanlah anak yang dibuang—melainkan anak yang sengaja disembunyikan jauh dari hiruk-pikuk politik, ditempatkan di sebuah kota kecil agar terhindar dari tangan kotor mereka yang haus akan kekuasaan.
Namun, takdir tidak bisa selamanya ditahan.
Kuroh mewarisi imajinasi tak terbatas, sebuah kekuatan langka yang mampu membentuk realita dan melampaui batas wajar manusia. Tapi di balik anugerah itu, tersimpan juga kutukan: bayangan dirinya sendiri yang menjadi ujian pertama, menggugat apakah ia layak menanggung warisan besar sang ayah.
Bersama sahabatnya Shi dan mentor misterius bernama Leo, Kuroh melangkah ke jalan yang penuh cobaan. Ia bukan hanya harus menguasai kekuatannya, tetapi juga menemukan kebenaran tentang siapa dirinya, mengapa ia disembunyikan, dan apa arti sebenarnya dari “takdir seorang pemimpin”.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ell fizz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AWAL MULA
Langit sore di atas Lansea mulai berubah warna, berganti dari jingga lembut menjadi biru keabu-abuan. Angin lembah berdesir membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Di ujung pemukiman kecil itu, berdiri sebuah rumah tua berdinding kayu. Di dalamnya, seorang pemuda berambut hitam tengah duduk di depan jendela — Kuroh.
Sejak kecil, ia hidup sendirian. Pamannya — satu-satunya keluarga yang tersisa — telah meninggal bertahun-tahun lalu. Sejak itu, Kuroh menjalani hari-harinya dengan sunyi. Ia bukan anak yang disukai warga Lansea. Bukan karena jahat, tapi karena ia berbeda.
Setiap manusia di dunia ini lahir dengan sesuatu yang disebut Pilar — pusat kekuatan dan identitas setiap individu. Ada yang memiliki Pilar Api, ada Pilar Angin, bahkan Pilar Cahaya. Pilar adalah bukti eksistensi. Tanpanya, seseorang dianggap cacat, gagal, bahkan dikutuk oleh langit.
Dan Kuroh… lahir tanpa Pilar.
“Anak tanpa Pilar tidak seharusnya hidup di dunia ini.”
“Dia itu pertanda sial, jauhi saja.”
Bisikan-bisikan itu sudah biasa ia dengar. Kadang ia pura-pura tak peduli, tapi malam hari, saat angin menembus celah jendela dan kesunyian menggema, hatinya terasa kosong.
Namun hari itu berbeda.
Langkah kakinya membawanya ke hutan Lansea, tempat yang katanya terlarang. Di sana ada sebuah gua tua, tersembunyi di antara akar-akar besar dan lumut hijau. Warga Lansea selalu memperingatkan anak-anak:
“Jangan dekati gua itu. Siapa pun yang masuk, tak pernah kembali.”
Tapi rasa takut Kuroh sudah lama tumpul. Yang tersisa hanya rasa penasaran.
Ia menatap mulut gua yang gelap, seperti raksasa yang menunggu mangsa. “Kalau aku memang tidak punya takdir,” gumamnya lirih, “maka biar aku yang menantang nasibku sendiri.”
Ia melangkah masuk.
Udara di dalam gua dingin dan lembab. Tetesan air menetes dari langit-langit, memantul di dinding batu. Tapi di kejauhan, ada cahaya — biru, berdenyut pelan, seolah bernapas.
Kuroh mendekat. Cahaya itu keluar dari sejenis bola kristal yang melayang diam di udara. Cahaya birunya menari di iris mata Kuroh, memantulkan bayangan dirinya yang tampak rapuh namun berani.
Tanpa berpikir, ia mengulurkan tangan.
Begitu jarinya menyentuh permukaan kristal itu, gelombang energi langsung meledak. Cahaya biru menyelimuti seluruh tubuhnya. Urat-uratnya terasa membara, jantungnya berdetak cepat, dan dalam sekejap — dunia seolah berhenti berputar.
“Kau akhirnya datang…”
“Pergilah ke Tanah Zithra. Di sanalah kekuatan murnimu menunggu.”
Suara itu bergema di dalam pikirannya. Dalam sekejap, cahaya itu lenyap. Gua kembali gelap. Hanya tubuh Kuroh yang kini bersinar samar.
Ia terhuyung mundur, terengah. “Apa tadi itu…?” tapi tak ada yang menjawab. Hanya gema langkahnya yang menemani kepulangannya malam itu.
---
Sesampainya di rumah, Kuroh bergegas mengemasi barang-barangnya. Sebuah tas kecil, sepotong roti kering, dan botol air. Ia tahu perjalanan ke Zithra tidak akan mudah. Namun sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk berangkat — seolah takdir baru telah menunggunya.
Namun saat ia hendak mengunci pintu rumah, sebuah suara menyapanya lembut:
“Kau pasti akan melakukan perjalanan ke Zithra, bukan?”
Kuroh terkejut. Di depan rumahnya berdiri seorang pemuda berpakaian biru dengan rambut putih keperakan. Matanya tenang, tapi tajam, seolah bisa menembus isi kepala orang lain.
“Siapa kau?” tanya Kuroh waspada.
“Namaku Yuan Shi,” jawabnya sambil tersenyum. “Aku memiliki Pilar Pengetahuan. Hanya dengan menatap seseorang, aku bisa tahu ke mana langkahnya akan menuju.”
Kuroh membeku. “Kalau begitu kau sudah tahu aku tidak punya Pilar, kan?”
Shi mengangguk pelan. “Tentu. Tapi aku juga tahu sesuatu yang mereka tidak tahu — potensi yang belum kau sadari.”
Kuroh mengernyit. “Dan apa urusanmu denganku?”
Shi menatap langit, lalu berkata tenang, “Aku juga hendak ke Zithra. Tapi perjalanan panjang seperti itu tak bijak dilakukan sendirian. Aku butuh seseorang yang bisa melindungiku.”
“Melindungimu?” Kuroh tertawa getir. “Aku bahkan tak bisa melindungi diriku sendiri. Kau yakin orang tanpa Pilar sepertiku bisa menjaga seorang pemilik Pilar Pengetahuan?”
Shi menatapnya dalam. “Kuroh, aku sudah menganalisismu. Ada sesuatu dalam dirimu… sesuatu yang bahkan dunia ini belum paham. Aku ingin melihatnya sendiri.”
Kuroh terdiam. Ada sesuatu pada nada suara Shi — bukan rasa kasihan, tapi keyakinan. Sesuatu yang belum pernah ia dengar dari siapa pun.
Akhirnya ia mengangguk. “Baik. Tapi jangan menyesal nanti.”
Shi tersenyum kecil. “Aku tidak pernah menyesal memilih seseorang.”
---
Keesokan paginya, mereka meninggalkan Lansea.
Mereka berjalan melewati jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rimbun. Burung-burung berkicau, sinar matahari menembus celah dedaunan, menimbulkan pantulan cahaya yang berkilau di rambut Shi. Kuroh berjalan di belakang, menatap langit, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama — ia merasa tidak sendirian.
Beberapa jam kemudian, mereka menemukan sebuah kedai kecil di pinggir jalan. Plakat kayu di depannya bertuliskan “The Dusty Mug”. Mereka masuk untuk beristirahat.
Pemilik kedai, seorang pria tua dengan janggut panjang, menyambut mereka ramah.
“Apa yang bisa saya bantu, Tuan-tuan?”
Shi menunjuk menu di dinding.
“Dua porsi sup hangat dan roti, terima kasih.”
Kuroh buru-buru menolak, “Tidak perlu, aku bisa pesan sendiri.”
Namun Shi hanya tersenyum.
"Biarkan aku yang mentraktir. Ini bukan masalah uang, tapi niat baik.”
Kuroh akhirnya diam, menatap mangkuk sup hangat di depannya. Uapnya mengepul lembut. Rasa asing merayap di dadanya — hangat, damai, dan sedikit canggung. Ia hampir lupa kapan terakhir kali seseorang peduli padanya.
Tiba-tiba, seseorang mendekati meja mereka.
Langkahnya ringan, tapi auranya aneh. Ia mengenakan mantel hitam panjang dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Dalam diam, orang itu meletakkan selembar kartu di atas meja.
Kuroh menatapnya heran. Di kartu itu tertulis satu kata besar, berwarna merah menyala:
“LUCKY.”
Lalu orang itu tersenyum miring dan berkata lantang —
“Bingo.”
Sekeliling mereka mendadak senyap. Udara terasa berat. Shi menatap kartu itu, pupil matanya menyempit.
“Kuroh,” katanya pelan, “sepertinya perjalanan kita… baru saja dimulai.”
Kuroh menatapnya, bingung tapi siap. Di dalam dadanya, cahaya biru samar kembali berdenyut — tanda bahwa nasibnya yang dulu ditolak dunia, kini sedang bangkit.