NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Prolog

“Yang paling menyedihkan dari kesendirian bukanlah ketika menjalani hal berat seorang diri, tapi ketika tidak memiliki seseorang untuk merayakan hari bahagia. (Gideon Manasseh)”

Ruang sempit dan pengap ditambah cuaca panas membuat kucuran peluh semakin deras. Tapi Dion terlalu bersemangat memilah bahan bacaan di toko buku bekas langganannya. Meskipun sudah menetapkan pilihan, ia masih memeriksa tumpukan majalah. Takut kalau-kalau melewatkan sesuatu yang menarik.

Pandangan matanya lalu terhenti pada sebuah buletin atau majalah yang masih terbungkus plastik. Dion heran mengapa majalah baru berada di tumpukan itu. Sejenak ia mengusap matanya yang perih terkena tetesan peluh.

“Kalau yang ini berapa, Bang?” tanya Dion pada pria paruh baya penjaga sekaligus pemilik toko sembari menunjukkan buletin di tangannya.

Pria itu memperhatikan buletin di tangan Dion yang diterbitkan oleh salah satu bank swasta. Sebenarnya buletin itu dimaksudkan untuk kalangan terbatas, karyawan atau nasabah. Sebagai catatan, bank itu kemudian menjadi salah satu bank yang dilikuidasi pada tahun 1998 akibat krisis moneter.

“Pasti salah sortir. Majalah seperti itu tidak ada harganya. Ambil saja kalau mau, gratis,” jawab pria itu.

Tentu saja Dion tak menolak. Lagipula ia tertarik pada foto kecil wanita cantik di sudut kanan bawah sampul buletin yang mengisyaratkan terdapat artikel tentang wanita itu di dalamnya.

“Pasti banyak pula fotonya,” pikir Dion ketika membayar majalah-majalah bekas pilihannya kemudian pulang ke pemondokan.

Gideon, biasa dipanggil Dion, lahir dan besar di pedesaan pesisir timur Sumatera Utara, sekira 8 hingga 9 jam perjalanan dari Kota Medan.

Dianugerahi fisik jangkung dan wajah tampan tidak serta merta membuat hidupnya mudah. Ia selalu harus berjuang untuk mendapatkan hal sekecil apapun.

Keterbatasan ekonomi dan status yatim piatu membuatnya tumbuh sebagai pemuda penyendiri dan cenderung pemalu.

Di tahun 1997, Dion sudah duduk di kelas 3 sebuah SMK di Kota Medan. Ia memilih sekolah kejuruan karena ingin lekas mendapatkan pekerjaan.

Dion sangat suka membaca tapi kantong pas-pasan membuatnya hanya mampu membeli bahan bacaan bekas.

Tak butuh waktu lama bagi Dion untuk menghabiskan bahan bacaan yang ia beli. Maklum, tak banyak hiburan di indekosnya. Setelah satu minggu, yang tersisa hanyalah buletin yang masih terbungkus plastik.

Tak punya bahan bacaan lain, Dion pun membuka buletin itu lalu membolak-balik halamannya. Terdapat artikel-artikel profil pengusaha, tips-tips investasi dan lain-lainnya yang tidak menarik buatnya. Ia lebih menyukai tulisan budaya, traveling, teknologi, bahkan science-fiction, bukan penggemar isu politik apalagi ekonomi.

Dion terus saja membalik halaman buletin itu berusaha menemukan artikel tentang wanita cantik yang fotonya terpampang di sampul depan.

Akhirnya Dion sampai pada halaman yang dia inginkan. Terdapat tulisan yang tidak terlalu panjang bercerita tentang sang gadis. Artikel terbagi menjadi dua kolom yang mengapit foto separuh badan sang tokoh.

Tak banyak informasi yang Dion ingat dari risalah itu. Gadis itu biasa dipanggil Mel, seorang mahasiswi kedokteran kelahiran tahun 1975, atlet bola voli dan hobi berenang. Dengan tinggi 174 cm, Mel sangat jangkung untuk ukuran perempuan Indonesia.

Dion yang kemudian membuka halaman berikutnya menjadi kecewa karena cuma ada satu halaman membahas gadis itu.

Dion memperhatikan foto setengah badan Mel yang tersenyum manis memamerkan lesung pipi sambil melipat tangan di depan dada.

Mel tampil jelita, anggun memesona mengenakan blus lengan pendek warna merah tua bermotifkan bunga-bunga seperti Batik Sindu khas Klaten. Gadis itu memiliki mata indah, rambut hitam bergelombang melewati bahu, dagu yang sedikit terbelah bagai lebah bergantung.

Dan tatapan itu! Yah, tatapannya meneduhkan, feminin, keibuan yang menentramkan dan menyenangkan hati. Sekilas ia mirip artis terkenal kala itu, Dessy Ratnasari. Bedanya, Mel memiliki bentuk wajah lebih tirus dan bola mata kebiruan.

Tersihir oleh kecantikan Mel, Dion memutuskan menggunting foto mengikuti postur tubuh untuk memisahkannya dari artikel. Dion berpikir akan menempelnya di suatu tempat agar selalu bisa memandanginya.

Merasa menghabiskan banyak waktu di meja kamarnya, Dion memutuskan menempel foto itu di sudut kiri atas permukaan meja.

Meja itu satu-satunya perabot bagus di kamar Dion. Terbuat dari kayu jati tebal, permukaan meja itu memiliki finishing halus. Kokoh dan berbobot, sepertinya meja itu dikerjakan oleh tukang kayu yang ahli. Laci-lacinya juga dihiasi ukiran khas, seperti yang terdapat pada meja-meja zaman kolonial.

Seorang penyewa kos menghibahkan meja itu pada Dion usai menamatkan kuliah dan memutuskan untuk mencoba peruntungan di Kota Batam. Penyewa itu merasa prihatin kepada Dion yang memiliki meja goyah meskipun sudah beberapa kali coba diperbaiki dengan palu dan paku. Maklum, meja Dion hanya terbuat dari kayu lapis yang dibeli dengan harga murah di pasar.

Kekaguman Dion akan gadis di foto guntingan majalah itu tak pernah habis. Sesekali ia usap foto itu dan berujar dalam hati dengan naif, khas ABG;

“Andai aku punya pacar sepertimu, aku akan selalu menjagamu.”

“Kalau kamu jadi istriku, aku akan selalu membahagiakanmu.”

Di waktu lain Dion berujar, “Kalau kamu jadi milikku, aku tak akan pernah membiarkanmu lepas dariku.”

Takut foto itu akan memudar atau kotor, Dion kemudian melapisi permukaan meja dengan plastik bening yang ia beli di pasar. Tindakan konyol itu membuat meja bagus tampak murahan.

Beberapa mahasiswa penghuni kos yang menyambangi kamar Dion sering meledeknya.

“Aku baru tahu kalau kamu fans beratnya Dessy Ratnasari,” celoteh Johnri, salah satu mahasiswa sesama penyewa kamar suatu ketika.

“Lihat baik-baik, Bang! Itu bukan Dessy Ratnasari,” sahut Dion.

“Eh, benar bukan Dessy Ratnasari. Cantik sekali! Siapa nih cewek?” tanya Jonri kemudian.

“Calon istriku,” jawab Dion singkat.

“Bah, anak kecil udah mikir kawin kau?” canda Johnri dengan logat khas Medan yang kental. Dion memang adalah penghuni termuda di indekosnya.

...***...

Setamatnya dari SMK, Dion tak menganggur lama. Agustus tahun 1997, ia diterima bekerja di sebuah hotel resort berbintang lima di Riau Kepulauan sebagai petugas room service.

Tahun 90-an merupakan era keemasan dunia pariwisata Indonesia. Kala itu hotel-hotel bertaraf internasional bermunculan di kota-kota besar dan daerah wisata, bak jamur di musim hujan.

“Aku akan kembali,” kata Dion kepada pemilik indekos ketika pamitan pagi itu. Dion sangat bersemangat menuju bandara. Itu adalah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. Tiketnya tentu saja dibayar oleh perusahaan yang merekrutnya.

Setahun berikut, 1998, masa keemasan pariwisata Indonesia runtuh dengan cepat. Krisis moneter, kerusuhan-kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran menuntut pergantian rezim pemerintahan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan keamanan. Turis-turis membatalkan rencana kunjungan, hotel-hotel pun mendadak sepi.

Tak terkecuali hotel tempat Dion bekerja. Imbasnya, tepat setelah setahun bekerja Dion harus kembali ke Kota Medan.

Sekembalinya di Medan, Dion harus merelakan karir pariwisatanya yang berumur sangat pendek. Ia menata ulang rencana masa depannya dengan beralih ke dunia informatika komputer dan memutuskan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil kuliah D1 informatika.

Ia sengaja mengambil rentang pendidikan pendek. Selain ingin segera mendapat pekerjaan baru, ia khawatir tabungannya tak akan bertahan lebih dari setahun karena lonjakan harga gila-gilaan akibat krisis moneter waktu itu.

Kemudian ia pindah dari pemondokan lamanya dan mengontrak rumah secara urunan bersama suami-istri muda, dan sepasang kakak-beradik. Kontrakan itu terletak di sebuah lorong yang diberi nama Gang Mangga karena separuh dari gang praktis hanya kebun buah mangga.

Hari-hari Dion pun disibukkan dengan dunia barunya. Ia membeli satu unit komputer bekas dengan uang pesangon untuk mempercepat pembelajaran. Komputer itu kemudian ia letakkan di meja belajar.

Sebenarnya ia ingin melepas foto gadis yang tertempel di permukaan meja, tapi mustahil tanpa merusaknya. Foto itu kemudian tertutupi oleh lapisan karpet hijau dan kaca yang melingkupi permukaan meja. Mel pun terlupakan!

Kemampuan Dion mengetik dengan cepat, sistem 10 jari atau blind typing, menarik perhatian seorang dosen yang juga bekerja sebagai staf teknisi komputer di sebuah kantor berita.

“Perusahaan kami membutuhkan tukang ketik berita atau copywriter shift malam. Apa kamu tertarik?” tawar Pak Heri sang dosen yang tentu saja diterima oleh Dion tanpa pikir panjang.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!