Hari-hari pertama di rumah keluarga Alfarezi berjalan seperti musim dingin yang abadi.
Meski matahari bersinar cerah di luar jendela, Aria tetap merasa kedinginan. Bukan karena suhu ruangan, melainkan karena suasana yang begitu kaku dan asing. Rumah megah ini tak seperti rumah—lebih seperti museum. Indah, luas, tapi sunyi dan dingin.
Rayyan sibuk. Selalu keluar pagi, pulang larut malam. Tak pernah memberi tahu ke mana. Bahkan kadang tak pulang sama sekali. Seperti pengingat bahwa Aria tak pernah benar-benar memiliki suami.
Pelayan-pelayan memandangnya dengan hormat tapi canggung, seperti tak tahu harus memperlakukannya sebagai majikan atau tamu yang sebentar lagi pergi.
Suatu pagi, saat sedang sarapan sendirian di meja makan sepanjang lima meter, Aria mendengar suara langkah kaki berat.
Rayyan muncul dari lorong, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana abu gelap. Rambutnya acak-acakan, namun entah kenapa... tetap terlihat memesona. Aria berusaha tak peduli.
“Kau masih di sini rupanya,” ucap Rayyan sambil mengambil kopi dari pelayan.
Aria meneguk jusnya. “Rumah ini terlalu besar untuk pergi tanpa jejak.”
Rayyan hanya mengangkat alis. “Biasanya wanita langsung pergi belanja setelah resmi jadi nyonya rumah.”
“Aku bukan wanita biasanya.”
Rayyan duduk, menatap Aria sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke koran. “Terserah.”
Keheningan menyelimuti ruang makan.
Aria ingin bicara. Ingin bertanya apakah pria itu akan pulang malam ini, apakah ia akan makan malam bersama, atau setidaknya... mengingat bahwa ia punya istri. Tapi semua pertanyaan itu tenggelam bersama egonya.
Ketika Rayyan berdiri dan bersiap pergi, Aria tak tahan lagi.
“Rayyan.” Suaranya pelan tapi tegas.
Pria itu berhenti, menoleh.
“Bisakah... kita pura-pura sedikit lebih baik dari ini? Kita mungkin pura-pura menikah, tapi aku tetap manusia. Bukan boneka yang kau tinggal seenaknya.”
Untuk pertama kalinya, ekspresi Rayyan tak sekeras biasanya. Matanya menatap Aria lebih lama dari yang seharusnya.
“Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti tahanan,” katanya, pelan. “Aku hanya tidak terbiasa dengan... ini.”
Aria mengangguk. “Aku juga tidak terbiasa.”
Rayyan melangkah pergi tanpa menjawab. Tapi sebelum ia melewati pintu, ia berkata pelan, “Kalau kau bosan di rumah, gunakan mobilku. Atau kartu hitam itu. Jangan mati karena kesepian.”
Aria tak menjawab. Ia hanya memandang punggung Rayyan sampai menghilang dari pandangan. Rumah ini memang dingin. Tapi setidaknya... satu kalimat itu membuat hatinya sedikit hangat.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Aria tersenyum kecil—meski tak ada yang melihat.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 70 Episodes
Comments