Aku dibantu dengan beberapa orang keluarga terdekatku sengaja datang ke rumah Tante Agustina. Saudara sepupu Ibuku-om Herman berinisiatif untuk menanyakan permasalahan apa yang terjadi diantara tante Agustina dengan suaminya.
" Apa yang terjadi sebenarnya diantara kalian berdua" tanya Om Herman pada Sunaryo
"Bukan urusanmu." Wajah Sunaryo sinis mengetahui maksud kedatangan kami.
Om Herman masih menanggapi dengan sabar atas tanggapan suami Tante Agustina itu. Walau didalam hati beliau ada rasa kesal tapi disini posisi Om Herman mewakili keluarga untuk mencari jalan terbaik bagi rumah tangga tantr Agustina.
" Ya, memang urusan rumah tangga kalian adalah urusan kalian tapi saya sebagai pihak keluarga dari agustin perlu menanyakan duduk permasalahan diantara kalian berdua"lanjut om Herman.
Sunaryo makin tak senang dengan desakan-desakan pertanyaan dari om Herman padanya. Wajahnya nampak memerah menahan amarah. Matanya tajam memandang ke arah Tante Agustina yang bersembunyi dibalik tubuhku agar tak terlihat pandangan Sunaryo.
"Kau banyak bacot rupanya. Harusnya kau bersukur kau kukawinkan" ujar Sunaryo dengan suara meninggi. Telunjuknya mengarah ke Tante Agustin dengan segala kemarahannya.
"Hei, jaga bicaramu di depan orang tua ku. kalau bukan karena orang tuaku selamanya kau cuma jadi pengangguran" jawabku berusaha membela tanteku. Sungguh Aku tidak terima dengan perlakuan Sunaryo pada tanteku.
Wanita itu ibarat bunga.Jika kasar dalam memperlakukannya, maka akan merusak keindahannya, menodai
kesempurnaannya sehingga menjadikannya layu tak berseri.Itu yang terlihat dari wajah tanteku saat ini. Tante yang dulunya memiliki kulit putih dan tubuh yang terawat kini terlihat dekil-kurus dan terlihat tua dari usia dia sebenarnya.
Tante Agustin menahan tangisnya- tubuhnya semakin erat merapat ks tubuhku seakan meminta perlindungan. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya saat menyadari Sunaryo masih menatap tajam ke arahnya.
"Sudah. Sudah. Kita disini untuk menyelesaikan permasalahan kalian bukan untuk makin mempersulit keadaan." potong Om Herman menengahi. "
Pembicaraan hari itu dengan keluarga Sunaryo terkesan alot. Tidak ada titik terang yang bisa diperoleh. Om Herman dengan berat hati menawarkan untuk mereka sebaiknya berpisah-apalagi melihat kondisi psikologis Tante Agustin dan anak-anaknya yang selalu merasa ketakutan saat berhadapan dengan Sunaryo.
Tanpa hasil yang diharapkan- akhirnya Om Herman mengambil keputusan untuk membawa tante dan anak-anaknya untuk keluar dari rumah itu. Kami memutuskan akan melanjutkan permasalahan ini ke pengadilan dan untuk sementara waktu tante Agustin dan anak-anaknya akan tinggal bersamaku.
"Benar-benar suamimu itu tidak tau diri, Tin" ujar Om herman seraya mengendarai mobilnya dengan penuh kemarahan pada tante Agustin yang duduk disebalahnya.
Aku yang duduk dibelakang kursi supir hanya mendengar pembicaraan tante Agustin dan Om Herman tanpa bermaksud berkomentar apapun. Namun dalam hatiku ada rasa kesal yang dalam atas perlakuan Sunaryo pada anak-anak kandungnya sendiri yang tidak terawat.
" Dia ada wanita lain," ujar Tante Agustin pada Om Herman. Hal itu tentu saja mengejutkan kami berdua yang mendengarnya.
"Maksudmu, suamimu berselingkuh? tanya Om Herman dengan nada kesal.
"Ya. dan Aku tahu wanita itu." lanjut tante Agustin lagi
"Siapa?
"Ya. Siapa? tanyaku yang sama dengan Om Herman
Tante Agustin menoleh ke belakang danmelihat ke arahku," Wanita itu tinggal di wilayah Legit. Itu wilayahmu kan Wa?
Aku terdiam. kampung Legit adalah bagian dari wilayah kelurahan tempat aku bekerja. Tapi belum banyak ku ketahui tentang penduduk di wilayahku itu.
" Dia wanita yang masih bersuami dan suaminya itu pelaut. Suami tante sering kesana kalau malam tak pulang ke rumah. "jelas tante Agustin padaku.
Aku semakin geram mendengar penjelasan Tante Agustin. "nanti Aku coba cari tau dulu Tan." ujarku lagi
"Kita tidak bisa asal menuding Tin. Cari bukti dulu. Kalau memang dia bukan suami yang baik untukmu maka lepaskan saja." timpal Om Herman.
Malam hari.
Sepertu biasa aku selalu keluar rumahku sekedar untuk melihat aktifitas malam hari di sekitar wilayah kerjaku. Sebenarnya seorang gadis perawan yang hidup sendiri masih dinilai tabu untuk keluar sendiri di malam hari di wilayah kami . Masyarakat kepulauan yang msih berpikiran kolot didukung belum banyaknya pengaruh kemajuan kota di tempat ini membuat masyarakatnya cukup tertutup dengan perubahan.Tapi malam ini niatku untuk mencari tahu kebenaran yang disampaikan Tante Agustina pada kami tadi siang.
Aku menghidupkan motor bebekku. Motor yang baru saja dibelikan Ayah seminggu lalu saat berkunjung ke kota dimana aku ditugaskan karena tak ingin melihatku setiap hari berjalan kaki atau berdesak-desakan dengan kendaraan umum untuk mobilitasi ku.
"Ayah tidak tega melihatmu kemana-kemana jalan kaki" ujar Ayah ketika kutemui di sebuah hotel bintang tiga tempatnya menginap.
"Tak apa lah Yah, Aku sudah biasa." jawabku
"atau kamu ikut Ayah ke showroom sekarang. Ayah carikan mobil untukmu,"
"mobil? Ah nanti jadi cibiran orang baru jadi lurah udah pake mobil baru." ujarku dengan terbahak melihat reaksi Ayahku.
"Hei, Anakku Marwa. Ayahmu ini serius" Ayah menepok jidadku dengan lembut. Hal yang biasa dia lakukan setiap kali geram dengan kelakuanku.
"Aku juga serius Ayah. Aku kerja jadi pns pun orang berpikir semua karena bantuan Ayah. Padahal aku benar-benar berjuang untuk itu. Ayah bahkan tidak pernah menginginkanku jdi pns kan?"ujarku apda Ayah yang terlihat cukup kaget mendengarnya.
Ayah lalu tertawa terbahak mendengar semua ucapanku. Ia sangat paham keadaan anaknya ini yang dianggap terlalu mandiri dalam segala hal.
"ya sudah setidaknya beri kesempatan pada ayahmu ini untuk membantu anak gadisnya ini yang paling keras kepala, " balas ayah sambil mencubit kedua pipiku.
Aku terdiam. Apa yang kubutuhkan dari ayahku sudah cukup rasanya. Aku tahu walau secara secara pekerjaan ayah dan ibuku tidak bisa dianggap remeh. Namun biaya yang tidak sedikit yang dikeluarkan kedua orangtuku untuk menyekolahkan aku dan kelima saudaraku lainnya bukanlah hal yang mudah dan murah. Apalagi diantara enam bersaudara kami tiga orang masih mengenyam pendidikan master dan sarjana di universitas.
"Ayolah nak, kau sebutkan saja apa yang kau butuhkan" desak ayah lagi
"mungkin cukup ayah bayarkan uang muka motor untukku. Sedang cicilannya aku yang tanggung. "
"Marwa sayang apa kamu anggap ayahmu itu sesusah itukah sampai hanya mampu membayar uang muka motor anaknya?
"bukan begitu yah. Tapi aku kan sudah bekerja sekarang.Aku bisa bayar cicilannya"
tetap saja namanya orang tua tidak ingin melihat anaknya susah- ayah dengan memaksa membelikan sebuah motor bebek keluaran terbaru untuk ku dengan tunai.
Walau hanya sebuah motor bebek-bagiku perhatian Ayah sudah sangat luar biasa padaku.
Aku melajukan motorku dengan kecepatan delapanpuluh kilo meter per jam- penerangan di sepanjang jalan yang kulewati masih sangat minim apalagi permasalah di kota itu sejak dulu adalah keterbatasan pembangkit tenaga listrik.
Ketika memasuki wilayah kelurahan, tiba-tiba aku melihat sosok yang kukenal melintas dihadapanku dengan menggunakan sepeda dan memasuki sebuah rumah yang tak jauh dari pos penjagaan siskamling. Lelaki itu tak lain adalah Sunaryo-suami dari tante Agustin. Sedang apa lelaki itu malam-malam begini datang berkunjung ke rumah wargaku. Aku menghentikan kendaraanku tepat di depan pos penjagan. beberapa orang pemuda menyambutku dengan hangat- dan salah seorang dari mereka membantuku untuk memarkirkan motorku di halaman pos.
"Selamat malam Bu lurah." sapa Martin salah satu tokoh pemuda di kelurahanku. Martin adalah salah seorang pegawai di PT. Timah yang merupakan lulusan sarjana dari salah satu universitas negeri terkemuka di negeri ini. walau pun begitu Martin selalu tampil sederhana dan ramah kepada siapapun.
" Selamat malam juga Bang Martin,"balasku dengan ramah."Ohya ini saya bawakan martabak untuk teman ronda malam ini."lanjutku seraya menyodorkan beberapa kotak martabak yang sudah kubeli di perjalananku menuju ke kelurahan tadi.
"Asikkkkkk.. "suara riuh dari beberapa pemuda yang ada di pos dengan segera menyerbu martabak yang kuletakkan di atas meja.
"Terima kasih Bu"
"Makasih Bu Lurah cantik.
"Makasih Ibu."
seru orang-orang itu dengan semangat.
Aku mengambil posisi duduk yang berseberangan dengan Bang Marto. lelaki yang seusia kakak sulungku itu bersikap ramah dan sopan padaku walau usia kami tertaut cukup jauh. "Ohya, Bang kalau boleh tahu rumah yang di persimpangan warung pak rt itu rumah siapa ya? tanyaku penasaran pada Bang Martin sambil telunjukku mengarah ke rumah yang tadi disambangi oleh Sunaryo.
"oh itu rumah pak Bambang. Tapi dia jarang sekali pulang. Maklumlah Pak bambang kan kerja di kapal pesiar, Bu" lanjut bang Martin.
"terus di rumah itu ada siapa saja?
"Istrinya dan satu anaknya yang masih es-em-a, karena dua anaknya yang lain sudah menikah dan punya rumah masing-masing"
"Oh, berapa usia istrinya?
"Mungkin sekitar lima puluhan tahun"
Aku diam sejenak.Bila dilihat secara penampilan Sunaryo jauh bila dikatakan menarik- apalagi dia hanya seorang buruh kasar di sebuah gudang yang tak jauh dari rumahnya. Bisa dibilang penghasilan Sunaryo hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Usia wanita yang diduga simpanan Sunaryo pastinya jauh lebih tua dari usia Sunaryo maupun tanteku
"Selain itu?" tanyaku lagi masih dengan rasa penasaranku
"Ya tidak ada, Bu."
Aku terdiam sejenak. Mungkin keberadaan Sunaryo di rumah itu tak diketahui oleh warga sekitar karena lelaki itu selalu datang di malam hari. Apalagi jarak antara satu rumah dengan rumah lain di kelurahanku cukup jauh dan penduduk yang jarang. Aku menceritakan permasalahan yang dihadapi dalam keluargaku kepada Martin- dan Martin bersedia membantuku untuk mencari tahu tentang keberadaaan Sunaryo setiap kali datang ke rumah itu.
"nanti kita koordinasi dengan Babinsa dan pak rete untuk penggerebekan. Sebelumnya kita cari bukti dulu,bang." ujarku.
"Siap,Bu." sahut Bang Martin semangat.
Tepat pukul dua belas malam- seperti biasa pemuda-pemuda yang piket ronda malam berkeliling kampung dengan berbagi wilayah pemantauan. Aku yang kebetulan malam ini sengaja ingin memantau rumah yang didatangi Sunaryo ditemani Bang Martin berjalan mendekati rumah itu. Tak ada aktifitas di malam hari di rumah itu- semua lampu di ruangan tengah dan teras pun dimatikan oleh pemiliknya. kulihat sepeda tua milik Sunaryo terparkir meyender di sisi dinding luar rumah. Rasanya mustahil seorang tamu hanya berkunjung ke rumah orang sampai malam dan kondisi rumahnya pun dalam keadaan gelap.
"Lampunya dimatikan Bu." bisik Bang Martin.
"Ya sudah kita pantau saja jam berapa lelaki itu keluar nanti." ujarku lagi.
Setelah beberapa saat memastikan sepertinya Sunaryo tak keluar dari rumah itu, aku dan bang Martin memutuskan untuk kembali ke posko
Gila pikirku lelaki ini-saat anak dan istrinya menunggu kehadirannya di rumah justru dia menetap di rumah wanita lain yang bukan sanak keluarganya bahkan saat suami sang wanit tidak berada di rumah.
Mataku sudah mulai lelah dan akhirnya Aku memutuskan untuk kembali ke rumahku.
"Sebaiknya bu Lurah pulang saja. Nanti kami akan bantu pantau perkembangannya berapa hari ini" ujar Bang Martin padaku.
"Terima kasih bang. pagi ini nanti kalo ada waktu mampir ke kantor saya bang." lanjutku pada Bang martin.
Bang Martin membantu mengantarkanku sampai ke tempat motorku terparkir- setelah menghidupkan starter kendaraanku Aku pun melaju meninggalkan tempat itu.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments
𝑪𝒉𝒆𝒓𝒓𝒚🍒✨_
Another sleepless night waiting for more chapters. Help!
2023-07-25
0
Teco
You've got me hooked. Keep the stories coming.
2023-07-25
0
HEEJIN
Spellbinding characters.
2023-07-25
0