Lagi-lagi Aku menemukan surat yang menumpuk dimejaku. Bukan surat yang berkaitan dengan pekerjaanku tapi beberapa surat pernyataan cinta dari entah siapa orangnya.
Kali ini Ibu Tini yang sudah datang lebih awal dariku yang menemukan surat-surat itu dan menyimpannya di atas meja kerjaku.
"Siapa kira-kira pengirim surat-surat ini ya bu? tanyaku penasaran.
" Saya juga kurang tahu bu. Tapi nanti Saya suruh orang untuk selidiki. "
" Ah, sudahlah Bu Tini. Jangan dihiraukan. Nanti juga berhenti sendiri kalau tidak dilayani. "
Bu Tini pun mengikuti permintaanku- walaupun Aku tahu Bu Tini tidak akan tinggal diam untuk mencari tahu dengan rasa penasarannya yang besar terhadap si pengirim surat.
Hari ini- jadwal Aku berkeliling wilayah untuk memantau progres perbaikan jalan kelurahan bersama Pak Wasno dan beberapa anggota LPMK lainnya.
Aku yang sudah mulai membaur dengan warga seakan menjadi tokoh utama dalam film yang dinantikan kehadirannya oleh penonton. Aku tak habis pikir apa yang membuat mereka rela memperlakukanku seperti itu. Hampir setiap rumah yang aku lewati memintaku untuk singgah di rumah mereka.
" Bu lurah ayo mampir dulu"
" Bu lurah singgah dulu Bu. Sekalian makan siang"
" Bu, kesini dong bu. "
Pinta orang-orang itu ramah. Aku menolak dengan sopan karena kupikir dengan menerima satu permintaan akan membuat kecemburuan bagi warga lain yang mengundangku.
Aku kembali meneruskan langkahku memonitor pekerjaan perbaikan jalan- namun tiba-tiba sekilas aku melihat sosok lelaki yang berdiri di balik pohon jambu yang tanpa sepengetahuanku sudah mengikuti perjalananku sejak aku keluar kantor tadi.
Mungkin aku salah mengira dengan orang itu batinku.
"Ohya Bu- bagaimana rencana kita untuk mengaktifkan kembali karang taruna dan warung desa kita? tanya Pak Lukitan saat itu.
"Ohya- Saya hampir lupa soal itu. saya sudah mengajukan proposal ke beberapa donatur yang akan membantu kita soal itu pak. Inshallah dalam waktu dekat ini akan kita bahas dalam pertemuan LPMK dengan karang taruna nantinya."
" mau mulai dari mana dulu Bu. Rasanya tidak mungkin berbarengan kita laksanakan bukan? tanya Pak Lukitan lagi dengan keraguannya.
"Ya. Karang taruna kita kan dulu pernah mendapatkan bantuan peralatan bengkel- nah itu nanti kita bisa manfaatkan dan kembangkan. ada beberapa peralatan yang kita minta bantuan dari donatur baik itu untuk bengkel maupun untuk warung desa. Alhamdulilah mereka bersedia untuk itu," jelasku yakin
" tapi apa ibu yakin bisa menggerakkan anak muda kampung kita nih? tanya Pak Lukitan lagi sedikit ragu.
"Untuk itulah Saya mohon bapak-bapak sekalian untuk bersedia membantu saya mewujudkannya." jawabku yakin.
"Iya Bu pasti itu," jawab pak Wasno spontan.
"Baik Bu lurah. pasti kalo untuk kemajuan kampung kita akan bantu." sambut Pak Lukitan juga ikut-ikutan.
Aku tersenyum senang melihat reaksi mereka yang menyambut baik rencanaku. Dengan usia yang jauh lebih muda dari mereka terkadang ada rasa kurang percaya diri dalam diriku untuk menjadi pemimpin wilayah terkecil seperti sekarang ini. Apalagi aku menjadi wanita pertama di kota ini yang menjabatat sebagai Lurah termuda.
Aku dan rombongan bapak-bapak pengurus LPMK lalu berpisah di depan kantor kelurahan. masing-masing kemudian disibukkan dengan urusannya.
"ohya Bu. kira-kira kapan kita bisa membahas persoalan rencana kita dengan anggota karang taruna? tanya Pak Wasno kemudian sebelum kami berpisah.
"kalau bisa dalam minggu-minggu ini kita luangkan waktu untuk membahas masalah itu bersama."
Pak Wasno menggangguk setuju. lalu lelaki setengah baya itu kembali berpamitan dan berjalan menuju rumahnya yang hanya beberapa blok dari kantorku.
Hari ini Aku ingin pulang lebih awal- kebetulan Tanteku yang biasa kupanggil dengan nama Tante Yun meminta bantuanku untuk membawa sepupuku ke dokter. Anggari yang sejak dua hari kemarin mengalami demam tinggi mulai mengalami gejala muntah-muntah. Tante Yuniarti yang merasa kuatir dengan kondisi anaknya itu tak berani menyampaikan hal tersebut kepada Om Johan. Apalagi Om Johan akan sangat marah bila dia tahu anaknya sakit. Lagi pula Om ku itu saat ini sedang berdinas ke luar kota sehingga sangat sulit untuk dihubungi.
"Marwa, kalau kamu pulang nanti bisa bantu tante bawa anggi ke dokter? pinta tanteku itu.
" Ya. Bisa tan, "
" Tapi tante tidak pegang cukup uang Wa. Om mu hanya meninggalkan beberapa puluh ribu saja untuk keperluan selama dia tidak di rumah. "
" Tak apa Tan. Aku akan urus semua. Tante jangan kuatir ya. "ujarku menenangkannya. Aku sangat tahu rasa ketakutan dalam diri tanteku itu karena setiap kali anak-anaknya sakit atau pekerjaan rumah yang tidak segera diselesaikan suaminya akan marah besar padanya. Bahkan tak jarang pukulan atau cacian kasar ia terima dari suaminya itu.
Tante Yun menangis tersedu dan terduduk lemas di sisi pembaringan tempat Anggari tertidur lemah.
Aku dengan sekuat tenaga berusaha membopong tubuh Anggari yang bongsor untuk masuk ke dalam mobil milik Om ku. Ku pinta Anggara yang hanya diam tertegun melihat keruwetan kami untuk menjaga rumah tante selagi Aku dan Tante pergi ke rumah sakit.
"Angga jangan kau cerita dengan papamu soal sakit anggi" ingatku sedikit bernada keras pada Angga.
Angga hanya mengangguk. Entahlah anak lelaki ini paham dengan maksudku atau tidak tapi aku sekali lagi mengingatkannya untuk tutup mulut soal Anggari.
Aku memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi karena kulihat kepanikan Tanteku yang semakin jadi ketika Anggari muntah-muntah kesekian kalinya di mobil.
Untungnya jarak antara rumah sakit dengan rumah tante tidak terlalu jauh.
Aku segera masuk ke ruang IGD untuk meminta bantuan petugas kesehatan untuk menyiapkan brankar dorong untuk memindahkan Anggari yang semakin lemah ke ruangan IGD. Salah seorang petugas menyiapkan sebuah tempat tidur yang dipisahkan dengan tirai putih dan memindahkan tubuh Anggari di atasnya.
Sedangkan petugas lain kemudian memasangkan peralatan tensi dan pengukur suhu.
"Suhunya 39, 5 derajat. Tensi 90 per 60" ujar seorang perawat yang memasangkan peralatan medis tadi pada tubuh anggari.
" Tolong anak saya, dok" ujar Tante Yun dengan suara yang parau setelah menangis selama perjalanan..
" Ya ibu. Kita tunggu dokternya ya bu." ujar perawat wanita yang berdiri disamping tanteku.
Aku memegangi tangan tanteku untuk membuatnya sedikit tenang. Tak berapa lama seorang dokter dengan seragam putihnya datang mendekat bilik ruangan kami.
" bu lurah? Ujar dokter lelaki itu sesaat kami bertemu pandang.
Hei, bukankah dokter ini lelaki yang mengikutiku tadi siang dan bersembunyi dibalik pohon?batinku. Ternyata dia seorang dokter di rumah sakit ini rupanya.
"Siapa ini yang sakit Bu? Tanyanya ramah sambil tangannya sibuk memasangkan stetoskop di telinga kiri dan kanannya. Lalu meletakkan chest piece stetoskop tadi ke bagian dada dan perut anggari.
" ini sepupu saya dok. " jawabku sambil mataku memperhatikan tindak tanduknya saat memeriksa anggari.
" Panggil saja saya arman bu" ujar dokter itu lagi padaku.
Lelaki itu dengan sabarnya memeriksa Anggari. Kemudian dia meminta seorang perawat untuk menyiapkn alat USG di bilik itu.
" kemungkinan besar ini infeksi pencernaan, "
Ujarnya setelah memeriksa bagian perut Anggari dan melihat hasilnya dari layar disampingnya.
Dokter Arman kemudian menyarankan agar sore ini Anggari untuk dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang intensif.
Tante Yuniarti tampak kebingungan mendengar saran dokter. Tangannya semakin erat memegang tanganku. Aku tahu sekali wanita disampingku ini selain karena kuatir akan kondisi anaknya tapi juga takut akan kemarahan suaminya saat mengetahui hal ini.
"Tante tenang ya. Anggi hanya dirawat sehari kata dokter untuk memudahkan diagnosa. "
" Tapi Wa. Kalo om johan kamu tahu Tante pasti habis dimarahi. "
"Aku yang akan menjelaskan pada Om Johan. Tante jangan takut. ini bukan kesalahan tante kalo anggi sakit. Tante sudah merawat kelurga tante dengan baik. " jelasku lagi
Setelah melihat tanteku sedikit tenang- Aku kemudian meninggalkan Tanteku di bilik rawat kemudian berjalan ke bagian administrasi rumah sakit untuk mengurus semua keperluan anggari.
"Kalau nanti ada perlu apa-apa bisa hubungi saya ya Bu Lurah. " suara dokter Arman mengagetkanku.
" Oh ya terima kasih bantuannya tadi dok. "jawabku
Dokter Arman tampak berbeda dengan tampilan pakaian jas putihnya. Kulitnya yang putih dengan rambut ikalnya membuat dia terlihat lebih menawan dari yang kulihat sore tadi.
" ohya, apa surat saya sudah ibu terima? Tanya dokter Arman.
"surat? Aku balik bertanya padanya.
" ya surat itu saya selipkan di sela pintu kantor ibu"
Ah, aku mengerti sekarang. Rupanya surat itu dari dokter Arman. Tapi mengapa lelaki itu tidak menyampaikannya secara langsung padaku.
"oh ya. Saya tidak tau kalo itu dari pak dokter. Tapi kenapa sampai beberapa surat yang saya terima? Ujarku kembali bertanya pada lelaki muda itu.
" beberapa? Tanyanya heran. "tapi saya hanya mengirimkan surat itu sekali saja"
" Oh maaf. Saya pikir semua itu dari Pak dokter. " elakku malu. Lalu siapa yang mengirimkn surat-surat lainnya itu padaku, batinku bertanya.
"Rupanya banyak juga penggemar Bu lurah" canda Arman lagi.
"Oh bukan begitu. Saya justru heran kenapa ada beberapa surat yang ditujukan ke saya tapi disampaikan melalui lubang pintu kantor. Lagipula tak tercantum nama pengirim. "
Dokter Arman tak menberikan jawaban. Lelaki itu hanya tersenyum padaku. Kemudian tangannya menyelipkan selembar kartu nama ke tanganku.
" itu kartu nama saya bila sewaktu-waktu bu lurah memerlukan bantuan saya bisa hubungi nomor saya. " ujarnya seraya berpamitan dan kemudian meninggalkanku terbengong-bengong sendiri di tempat itu.
Ah, dokter yang aneh, batinku. Jaman secanggih ini masih saja berkirim- kirim surat di depan pinty.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments