Cerita Tante 2

"Wa, kamu yakin kamu akan tinggal sendiri dirumah kontrakanmu? Tanya Tante Yuniarti saat melihat aku sibuk membereskan pakaianku.

" Ya, tante. Saya nggak enak merepotkan tante trus"

" Tapi kamu akan sering-sering kesini kan Wa? tanya tanteku lagi dengan wajahnya yang tampak sedih.

Aku tersenyum lalu kupeluk erat tubuh tanteku itu. Wanita muda itu mulai menangis. Aku sangat paham perasaannya-wanita itu butuh teman cerita yang bisa merasakan kesedihannya-rasa sakit dan rasa tak dipedulikan oleh lelaki yang dia agungkan bernama SUAMI.

"Ya. Tan. Tapi tante harus janji tante jangan sedih lagi. Jangan mrnyiksa diri dengan keadaan tante sekarang."

"Tapi Wa, tante takut. Tante tidak kuasa untuk melawan. "

"Semua keputusan ada pada tante. Aku akan selalu mendukung tante. Kalau pun tante ingin bertahan dalam kondisi ini Kita hanya bisa berdoa smoga Om bisa berubah" ujarku menenangkannya.

Tante Yun hanya mengangguk pelan. Wanita itu kemudian melepaskanku dengan semua bawaanku. Anggara yang walaupun masih duduk di bangku menengah pertama diminta tante yuni untuk mengantarkanku ke rumah baruku.

Hari ini hari pertamaku tinggal di rumah kontrakan. Beruntungnya jarak antara rumahku dengan kantor tak terlalu jauh. Untuk mencari rumah yang ada di pusat kota dengan harga yang terjangkau rasanya sangat sulit. Apalagi untuk diukur dengan gaji seorang pegawai baru dengan golongan 3 sepertiku.

Rumah yang cukup layak untuk kutempati sendiri ini berukuran 27 meter persegi dengan memiliki dua kamar dan aatu kamar mandi yang juga dilengkapi ruang tamu dan dapur. Halaman yang tersisa si area depan yang dijadikan taman tampak sangat tak terawat.

Aku menempatkan beberapa bagian halaman dengan tanaman rumput yang kukombinasikan dengan batu-batu kerikil putih sebagai pemanis taman. beberapa pot hias kutempatkan di bagian depan teras untuk memberi jarak antara teras dan pekarangan depan.

Terdengar suara dari luar beberapa anak lelaki berlari bermain bola di depan halaman rumahku- berkejar-kejaran untuk mendapatkan bola  untuk memenangkan pertandingan.

Buuggg...!

Suara tendangan bola yang keras membuat bola karet seukuran kepala anak kecil itu terlempar dan masuk ke halaman rumahku.  Aku mengambil bola bulat itu- dan memandang ke arah anak kecil yang tampaknya ketakutan meilhatku saat itu.

Seorang anak lelaki berwajah putih bersih mendekati pagar  rumahku.

"Tante maaf." ujarnya gugup. Jalannya pelan mendekat kearah pagar rumah dan wajah lugu itu seakan memelas memohon padaku"apa boleh Saya minta bolanya kembali?

Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka. Anak-anak itu mungkin sepantaran dengan keponakanku. aku kemudian melemparkan bola yang sudah ada di tanganku itu ke arah mereka.

"Nih..." teriak ku "hati-hati mainnya."

Anak-anak itu kegirangan dan kembali berlarian berkejar-kejaran tapi anak kecil yang ramah tadi tetap berdiri di dekat pagar dan memperhatikanku.

"Tante baru pindah kesini?," tanya anak laki-laki tadi padaku lagi.

"Ya." jawabku berusaha ramah. " ohya siapa namamu dik?

" Saya Aldi tante. Panggil aja Abang Aldi."ujarnya memperkenalkan diri.

" Kalo aku abang Adek tante. " teriak anak lelaki yang lebih gempal padaku.

Sejak saat itu entah bagaimana Aku menjadi sangat akrab dengan kedua kakak beradik itu.. Bahkan setiap kali aku pulang bekerja anak-anak itu sudah berhamburan berlari menghampiriku. Sosok mungil dan karakter lucu khas anak-anak seusia mereka tentu saja menjadi hiburanku dikala sedang lelah dan merasa sepi.

Aku juga dengan sengaja membelikan sebuah playstation yang kutempatkan di ruang tamuku untuk mereka bisa bermain disaat libur sekolah.

Kejenuhan dalam pekerjaan rasanya hilang bila melihat kehadiran mereka di dalam rumahku.

"Bu lurah kenapa nggak menikah aja. Kan bisa punya anak sendiri." ujar salah satu dari mereka.

Aku hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman- dan selalu kulakukan sepeti itu bila mendapatkan pertanyaan yang sama. Di usiaku yang baru duapuluh tiga tahun rasanya untuk menikah masih terlalu jauh dari pikiranku. Sejak remaja sampai dengan saat ini , Aku tidak pernah terpikir untuk memiliki seorang kekasih. Pesan Ayahku kepada anak-anaknya bila kami anak-anaknya ingin berpacaran maka carilah pacar yang diyakini akan menjadi suami atau istri seumur hidup. Bukan untuk sekedar saling cinta atau mencintai.

Aku yang sebagian besar orang kenal sebagai pribadi yang cuek, dingin dan susah tersenyum apalagi bila harus berbicara dengan lawan jenisku. Semuq sifatku terbentuk karena sedari kecil sudah dididik untuk mandiri dan terbiasa dengan disiplin yang keras menganggap sesuatu pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki pun Aku bisa melakukannya. Apalagi melihat orang-orang sekitarku yang punya pengalaman pahit dalam pernikahan membuat  timbul pikiran dalam diriku untuk TIDAK MENIKAH.

Diusiaku memang sudah ada beberapa teman seusiaku yang telah menikah dan punya anak.

Namun tidak dipungkiri terkadang muncul rasa kesepian  dalam diriku ketika melihat beberapa teman sebayaku yang terlihat bahagia ketika menggandeng anak-anak mereka yang lucu. Tapi untuk menikah tetap menjadi hal yang menakutkan bagiku.

Disaat Aku sedang berbincang dengan Aldi- sebuah motor bebek hitam parkir tepat di depan halaman rumahku. Pengendaranya yang adalah seorang wanita kemudian membuka penutup helm yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

Ah ternyata pengendara itu adalah tante Agustina , adik perempuan Ibuku yang nomor tujuh. Tante Agustina menuntun anaknya yang ada di boncengan untuk turun dari motor. Wajah Ibu dan anak itu tampak pucat dan lelah. Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kedua orang itu.

"Assalamualaikum wa. Maaf tante pagi-pagi begini mengganggumu. " sapa tante Agustini padaku

Aku seketika menghentikan aktifitasku dan membukakan pintu pagar yang masih tertutup untuk memberi jalan masuk pada tante dan anaknya.

"Waalaikumsalam tan. Masuk tante."

Aku mengarahkan tante dan sepupuku untuk langsung menuju ruang tamu. Kusiapkan minuman kaleng dingin untuk mereka. Cuaca pagi hari ini terasa lebih panas dari sebelumnya. Tren pemanasan global dan perubahn iklim menjadi pemicu perubahan suhu udara di pulau yang dikelilingi lautan ini dalam beberapa hari terakhir mencapai tigapuluh tiga derajat celcius.

"Ma, aku lapar. " keluh Marlandi anak tanteku. Anak lelaki itu berkeringat dan wajahnya semakin pucat. Tanteku berusaha menenangkan anaknya. Tapi tentunya naluri anak usia lima tahun itu tak kuasa untuk menahan perih perutnya yang sudah lama tak terisi. "Maaaaa... " ujarnya sambil menangis memohon.

" Landi mau makan? Kebetulan Kakak sudah masak di belakang. " ujarku menawarkan diri.

"Tidak usah dek. Anak ini malu-maluin aja. Dia sudah makan kok!

"Belum kak. Aku dari kemarin belum makan. " sanggah Marlandi kemudian.

" Sudah nggak apa-apa. Kebetulan kakak banyak kok makanan. "

Aku memegang tangan Marlandi untuk menuntunnya ke ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur kecil rumah kemudian kusiapkan peralatan makan untuknya dan tante. Semua yang ada di lemari makan sengaja kuhidangkan dihadapan mereka.

" silahkan tante dan Landi makan dulu setelah kenyang baru kita bicara ya. " ujarku pada keduanya.

"trima kasih ya Wa. "

Sengaja aku tinggalkan mereka berdua di ruang makan agar mereka tidak merasa canggung dengan keberadaanku. Aku meneruskan merapikan tanaman di halaman menyelesaikan pekerjaan ku yang tertunda. Selang beberapa waktu aku pun kembali menemui tante dan sepupuku yang sudah selesai makan.

"sekali lagi maafkan tante ya Wa udah bikin kamu repot" ujar tanteku dengan wajah tertunduk.

"sudahlah Tante. Nggak usah sungkan. Toh aku ini kan anak tante juga." ujarku sambil memeluknya. "ohya, ada yang tante ingin bicarakan sepertinya denganku?

" Ya. Sebenarnya tante malu menceritakan hal ini sama kamu, Wa. Tapi tante tidak tau lagi harus minta bantu ke siapa? semua orang di keluarga kita sudah mengucilkan tante apalagi kondisi tante seperti ini. "

"Aku kan keluarga tante juga dan aku peduli dengan tante. Ceritakan saja tante. Siapa tau aku bisa membantu tante. "

" Apa boleh tante dan kedua sepupumu tinggal sementara dengan kamu Marwa? Tanya tante sedikit ragu

Aku terdiam sejenak. Ada apa ini sebenarny? Kenapa tiba-tiba tanteku ini meminta hal tersebut padaku.

"oh tentu. Tapi kenapa tante Gustin ingin tinggal denganku. Bagaimana dengan suami tante nanti?

" Suami tante tidak pernah peduli dengan tante dan anak-anak Wa. Tante juga seringkali diminta ibu mertua tante untuk keluar dari rumah mereka?

"loh kenapa begitu? Bukannya dulu mereka begitu baik dengan tante di depan papa mereka selalu memuji tante! " ujarku tak percaya

"karena mereka berharap mendapatkan bantuan dari mama dan papamu" jelqs Tante Agustin lagi dengan wajahnya yang tertunduk.

"Papa dan nenek jahat kak! Landi nggak suka mereka" timpal Marlandi disela-sela pembicaraan kami.

Aku terdiam sejenak dan berpikir apakah aku bisa menerima kehadiran mereka. Kondisi perekonomianku sendiri belum stabil apalagi aku hanya seorang pegawai negeri yang punya penghasilan pas-pasan.

"Marwa nggak peru kuatir Tante hanya menumpang disini sampai tante mendapatkn pekerjaan-selepas itu tante akan cari rumh kontrakan sendiri. " ujar tante yang sepertinya bisa membaca kegalauanku.

"oh bukan begitu tante. Tante bisa tinggal denganku sampai kapanpun tante mau. kalaupun tante dapat kerja tante tidak perlu untuk mencari rumah lain" balasku pda Tante Agustin.

Lain Tante Yun maka lain pula yang terjadi pada tante Agustina Entah kutukan apa yang terjadi dalam keluarga saudara-saudara ibuku sehingga anak-anak perempuan kakekku banyak yang bermasalah dalam kehidupan rumah tangganya. Hanya Ibu saja yang mampu bertahan dengan ikrar perkawinan mereka.

Tante Agustin memang sedari remaja ikut dengan keluarga kami. Saat orangtuaku berdinas di kota ini- tante Agustin dekat dengan suaminya yang kemudian diterima bekerja sebagai penjaga rumah dinas papa saat itu. Lelaki itu bernama Sunaryo-lelaki berdarah jawa sumatera yang selalu bersikap lembut dan sopan pada kami. Perilakunya itu membuat Tante Agustin jatuh cinta pada Sunaryo. Sampai suatu ketika Sunaryo memberanikan diri meminta Tante Agustin untuk menjadi istrinya pada kakekku.

Keinginan itu Kami sambut dengan senang hati-apalagi usia Tante Agustin sudah melewati kepala tiga-tentu membuat kuatir orang tua manapun bila anak mereka masih sendiri di usia seperti itu.

Kakekku bahkan menghadiahkan sebuah toko kelontong kecil untuk membantu perekonomian mereka dan Ayahku menghadiahkan sebuah perayaan pernikahan yang terbilang cukup mewah pada masa itu untuk tanteku.

"baiklah tante nanti aku akan bantu tante bicara dengan Om Sunaryo untuk memberi ijin tante tinggal disini." ucapku akhirnya

"Tidak usah ijin Wa. Dia tidak akan mengijinkan. " sela tanteku lagi.

"Tan, Aku tidak tau apa yang terjadi sebenarnya dalam keluarga tante. Tapi seorang istri apabila akan meninggalkan rumahnya harus seijin suaminya" jelasku.

Aku ingat sekali ayahku selalu mengingatkan setiap kami sholat tentang peran istri dan suami dalam rumah tangga. Hal itulah yabg diterapkan oleh ibu dan ayahku pada anak-anaknya.

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play