Bab 5
Siang itu di sebuah rumah makan sederhana, yang sekarang menjadi tempat tinggal Hani bersama adiknya serta ketiga buah hatinya yang semakin aktif. Ia masih termangu memikirkan langkah yang akan ia ambil ke depannya untuk sang buah hati.
“Selamat siang…” suara laki-laki menyapanya dengan sopan.
Hani menoleh ke sumber suara, “Ammar… “ ia terkejut.
Lelaki muda itu segera masuk dan duduk di sampingnya. “Apa kabarmu, maafkan aku atas permasalahan dalam rumah tanggamu, hingga menyebabkan kalian berpisah.”
Hani menghela nafas dan menghembuskannya dengan pelan, “Itu bukan kesalahanmu, tetapi memang mas Adi dan keluarganya yang menginginkan perpisahan ini.”
“Lalu bagaimana pengasuhan si kembar dan si mungil?” Ammar merasa prihatin dengan nasib sobat perempuannya ini.
“Mas Adi tidak menuntut hak pengasuhan si kembar, karena ia akan memiliki keturunan dari bu Helen.”
“Dasar lelaki itu.” rutuk Ammar kesal.
“Sudahlah, sekarang aku akan berjuang untuk memulai langkah awal demi anak-anakku.” Hani berusaha membuang kesedihan yang begitu menderanya.
“Kemana mereka, kok kelihatan sepi?” Ammar memandang kiri-kanan, karena tidak mendengar suara bocah satu pun.
“Mereka dibawa Hanif berjalan ke taman depan, kebetulan hari ini libur kerja.” Hani bangkit dari duduknya, “Tunggu sebentar, ku bikinkan kopi dulu.”
“Ok.” Ammar menunggu dengan sabar. Ia segera menghenyakkan tubuhnya pada sofa panjang yang berada di ruang tamu minimalis tersebut.
Taklama kemudian Hani muncul membawa kopi dengan snack yang sudah tertata rapi dan mengundang selera.
“Wah, mantap ini.” Ammar langsung menyeruputnya. “Bagaimana kegiatanmu sekarang?”
“Aku masih bingung ingin mencari pekerjaan, tapi yang tidak meninggalkan anak-anak…”
Amar termenung sesaat, “Bagaimana dengan desain interior dan eksterior yang selama ini menjadi hobimu, dan itu sesuai dengan pendidikanmu…”
“Aku udah nggak pede bikin desain in dan eks, saingan sekarang banyak.” tutur Hani pelan sambil menatap kejauhan.
“Sekarang saatnya kamu bangkit meraih impian yang sempat tertunda.” Ammar menatapnya dengan lekat. “Aku akan membantumu meraih mimpimu…”
“Maksudmu?” Hani mengerutkan keningnya tak mengerti.
Taklama sebuah mobil singgah di rumah makan kecil itu. Dua orang perempuan dan satu lelaki dewasa dengan penampilan perlente turun dari mobil tersebut. Hani memicingkan matanya berusaha mengingat wajah-wajah yang kini berada di depannya.
“Hoi, Han-han…” seru salah seorang perempuan yang berambut pirang langsung berlari memeluk Hani.
“Gigi…” Hani sontak kaget dan memeluk erat wanita itu yang merupakan teman akrabnya saat SMA.
“Alhamdulillah, masih ingat.” Regina yang disapa Gigi tersenyum lebar. “Nih, suami gue, kenalin Fery, dan ini Caca sepupu suami gue tunangannya Ammar.”
Hani mendelik, “Wah, kejutan. Ngapain nggak ngomong, Mar. Tapi selamat deh tuk kalian berdua.” Hani melirik Ammar sambil mengulurkan tangan ke arah Caca dan Fery yang tersenyum ramah kepadanya.
Mereka berlima akhirnya terlibat dengan perbincangan yang serius. Suami Gigi seorang arsitek, dengan dibantu Amar dan Gigi ingin membuka kantornya sendiri, sedangkan Caca adalah seorang pemilik EO yang biasa mengerjakan perhelatan akbar kaum seleb. Gigi menawarkan Hani untuk bergabung bersama mereka.
“Jadi bagaimana dengan keputusan cerai kalian?” tanya Gigi tiba-tiba setelah obrolan mereka tentang pekerjaan selesai.
“Lusa hasilnya akan keluar.” kesedihan Hani kembali tampak di matanya.
“Kamu harus kuat Han-han. Kami akan slalu ada untuk mendukungmu. Anakmu adalah anakku juga, tidak akan kubiarkan mereka kelaparan dan tidak berpendidikan. Dasar suamimu nggak waras…” makian kasar keluar dari bibir Gigi.
“Beb, tahan emosimu…” Fery mengelus tangan Gigi. “Siapa nama suamimu?”
Hani menatap Fery sekilas. Selama ini ia memang tidak pernah memperkenalkan Adi kepada teman-temannya, selain karena kesibukan, mereka pun jarang ketemu. Pada saat pernikahan Hani, Ammar dan Regina langsung melanjutkan kuliah ke luar negeri.
“Aku enggan menyebut namanya. Anggap saja ia tak pernah ada.” Hani berkata lirih.
“Aku emosi jika ada lelaki semena-mena seperti itu.” balas Gigi cepat. “Rasanya ingin kubejek-bejek sampai hancur, biar tau rasa.”
“Kalau ingin membalasnya kita harus membantu Hani untuk maju, tanpa mengharap belas kasih dan bantuan mantan suaminya itu.” sela Ammar
“Aku setuju, Yang.” ujar Caca, “Mbak Hani tak usah khawatir kita akan bekerja sama membantu mbak.”
“Terimakasih atas kepedulian kalian.” Hani merasakan kehangatan dari sahabat-sahabat yang selalu ada saat dirinya berada dalam keterpurukan. “Dengan adanya kalian, aku tidak merasakan kesedihan lagi. Kalian cukup menghiburku.”
Kelimanya akhirnya berpisah untuk mulai menyusun rencana jangka pendek dan jangka panjang dalam menciptakan lapangan kerja khususnya membantu Hani untuk melanjutkan hobi lamanya. Mereka sangat tau, skill Hani dibidang interior ruangan sangat mumpuni.
Malam itu Hani dan Hanif masih mengobrol di teras samping rumah makan mereka, sementara si kembar dan si mungil sudah terlelap dalam pelukan malam.
“Apa besok mbak akan menghadiri sidang putusan?” tanya Hanif sambil menghisap rokoknya yang tinggal separo.
Hani tercenung sesaat. “Kamu saja yang datang. Apapun hasilnya mbak akan ikhlas menerima.”
Hanif mengangguk, “Baiklah. Besok aku akan menghadiri persidangan. Lantas tindakan apa yang akan mbak lakukan selanjutnya?”
“Ammar dan Gigi mengajak mbak bergabung untuk menjadi rekanan. Suami Gigi akan membuat perusahaan kontraktor. Sedangkan Caca memulai usaha studio foto untuk keperluan pre wedding.”
“Wah, bagus itu. Apa mbak Gigi sudah kembali ke Indonesia?” Hanif berusaha mengingat sahabat dekat Hani yang sering bertandang ke rumah mereka dan main bersama kala Hani masih sekolah SMA.
“Yah. Kemaren mereka memang menetap lama di Jepang setelah menikah. Dan suaminya akan mulai usaha di sini. Mereka lagi mencari tempat usaha yang sesuai dan pekarangan yang luas. Jika cocok dan tidak terlalu mengikat waktu, mbak akan mulai bekerja bersama Fery dan Caca.”
“Baguslah. Mbak harus mulai melanjutkan mimpi yang tertunda. Saatnya mbak mengepakkan sayap.” Hanif mengusap lengan kakaknya dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kalian. Aku akan melindungi mbak dan anak-anak.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu, apa sudah ada peningkatan?” Hani mengalihkan tatapannya pada Hanif yang tampak gelisah.
“Sebenarnya aku ada tawaran naik jabatan menjadi kepala cabang di Medan, karena Kantor Advokat tempatku bekerja akan membuka cabang di sana. Tapi aku nggak bisa berjauhan dengan kalian.”
Hani tersenyum pada adiknya, “mbak dan anak-anak nggak usah kamu khawatirkan. Semua pegawai kita disini adalah keluarga kita, mereka yang akan menjaga kami.”
Hanif mengangguk pelan, “Baiklah, minggu depan aku akan langsung berangkat ke kota Medan. Setiap bulan aku akan mengambil cuti untuk pulang.”
Malam ini Hani tidak bisa memejamkan mata, esok adalah penentuan arah hidupnya. Ia tidak pernah membayangkan akan menjadi janda diusia yang masih terbilang muda. Ia sama sekali belum merasakan nikmatnya berumah tangga. Disayangi suami dengan penuh kasih sayang dan kelembutan adalah hal yang sangat jauh dari impiannya.
Sikap Adi yang tampak dingin, dan mendekati dirinya hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis sangat menyakitkan hatinya. Tapi sebagai istri yang taat dan patuh pada suami, Hani tidak pernah mengeluh. Ia menjalani semua dengan ikhlas. Ia selalu memohon dan berharap kepada Sang Pemilik Hati untuk melembutkan hati suaminya agar bisa memberikan cinta serta kasih dan sayang seperti yang selalu ia lakukan selama ini.
Hani hanyalah manusia biasa, kesabarannya juga memiliki batas. Empat tahun ia berada dalam ketaatan dan kepatuhan sebagai seorang istri, tetapi suami yang ia harapkan menjadi pemimpin dan imam bagi masa depannya ternyata tega membunuh perasaan cinta yang mulai tertanam di hatinya.
Ingatan Hani melayang kembali, pada saat ia dan Helen berada di rumah, sementara Adi belum kembali dari kunjungan ke perusahaan cabang di luar kota. Ia yang sedang mempersiapkan makan siang, harus merasakan sakit hati mendengar omongan Helen yang telah menghina dan menjatuhkan harga dirinya.
“Walau kamu memberinya berapapun keturunan, nggak akan mungkin membuat mas Adi jatuh cinta padamu.” Helen berkata dengan santai sambil meminum susu hamil di meja makan. Ia sengaja memancing kemarahan Hani.
Hani berusaha tidak menanggapi perkataan Helen, ia tetap menyibukkan diri, karena sebentar lagi ia harus memberi si kembar makan.
“Kamu tau nggak, mas Adi mengatakan kalau ia tidak puas akan pelayanan ranjangmu.” Perkataan Helen semakin menjadi.
“Astagfirullahaladjim, ya Allah…” Hani merasakan dadanya tiba-tiba terasa nyeri. Ia merasa terhina mendengar ucapan madunya itu. Air mata mulai menetes di pipi Hani. Sampai sebegitunya Adi menceritakan hal intim di kamar mereka kepada Helen.
“Aku tau, mas Adi jarang berhubungan denganmu, dan terakhir kalian melakukannya. Karena aku telah memasang cctv di kamarmu. Jadi jangan salahkan kalau mas Adi lebih sering berhubungan denganku…”
Hani merasakan harga dirinya telah jatuh ke jurang yang paling dalam. Ia merasa dilecehkan dan sangat terhina, karena suami yang seharusnya melindungi tetapi malah menjerumuskan dirinya dalam bara api yang semakin membakar dirinya sendiri.
“Ya, Allah jika ini yang terbaik, hamba rela ya Allah. Kuatkan hamba…” air mata Hani terus menerus mengalir membasahi pipinya di sujud sepertiga malam ini. Ia sudah bertekad tidak akan menuntut apapun dan sedapat mungkin akan menghindari berhubungan dengan keluarga Aditama atau siapapun yang ada kaitan dengan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 324 Episodes
Comments
Can Sikumbang
aku masih blum paham dr kisah ini,masih jauh dr sipnosisnya di awal sampul,dan Hanif itu cewek atau cowok ya?
2023-06-02
0
keyki
hai
2023-06-02
0
pembaca 🤟
Alhamdulillah hani masih di kelilingi org" baik ..
2023-05-19
0