Setelah mendapatkan semua ilmu dari kakek gurunya, kini tibalah waktunya bagi Rangga untuk turun gunung. Walau pun dengan rasa berat hati dan sedih, Rangga pun akhirnya menuruti semua perintah kakeknya.
Dengan langkah penuh kemantapan dan rasa percaya diri, ia pun berjalan menyusuri jalan setapak melewati hutan belantara. Terdengar suara burung-burung berkicau seolah mengucapkan selamat datang kepadanya untuk menyambut dunia baru.
Setelah sekian lama berjalan, di kejauhan terlihatlah rumah-rumah penduduk. Ia pun memasuki perkampungan itu. Karena merasa lelah, lapar, serta haus, ia pun memutuskan untuk mencari sebuah kedai untuk beristirahat dan mengisi perutnya yang sudah terasa sangat lapar.
Tak lama kemudian, sampailah ia di sebuah kedai yang kebetulan hari itu tidak seramai biasanya. Dari dalam kedai itu, tampak seorang pelayan datang menghampirinya.
"Mau pesan apa, Raden?" tanya pelayan itu.
"Nasi dan minum, Ki," jawab Rangga.
"Baiklah, tunggu sebentar," kata aki pelayan itu kemudian berlalu dari hadapannya.
Tak menunggu lama, akhirnya pesanan Rangga pun datang.
"Silahkan, ini makanan dan minumannya, Den," kata pelayan itu.
"Terima kasih, Ki," kata Rangga. Pelayan kedai itu tersenyum mengangguk dan segera akan kembali ke belakang namun Rangga segera menghentikannya.
"Tunggu sebentar, Ki!" kata Rangga tiba-tiba menghentikan langkah pelayan itu.
"Ada apa lagi, Den?" tanya si aki pelayan kedai itu.
"Ini namanya desa apa, Ki?" tanya Rangga Ingin tahu.
"Ini adalah Desa Jatisari, Den," jawab aki pelayan itu.
"Ada yang ingin ditanyakan lagi, Raden?" ucap pelayan itu ganti bertanya.
Rangga menggeleng."Tidak, Ki. Terima kasih," ucap Rangga.
"Sama-sama, Raden," jawab si aki itu kemudian berlalu.
Rangga pun kemudian menikmati pesanannya itu dengan lahap karena sudah kelaparan dan kehausan.
Sementara itu, di sebuah Kerajaan Martapura, sang Raja Dungga sedang berbincang-bincang dengan putranya, yaitu Arya Soma.
Raja Dungga sedang kesal dengan anaknya itu karena merasa dirinya sudah tua dan sering sakit-sakitan, tapi sang anak belum mau menggantikan kedudukannya.
"Terus kamu mau bagaimana lagi? Terus terang, saya tidak mengerti keinginanmu, Arya," kata Raja Dungga.
"Maaf, Romo. Saya sudah bilang berkali-kali kepada Romo bahwa saya tidak mau menjadi raja," kata Arya Soma.
"Apa kerajaan ini harus kosong tanpa pemimpin? Kesaktianmu sudah tinggi, ilmu pemerintahanmu sudah cukup. Apanya yang kurang?" kata Raja Dungga. Ayahnya sangat kesal.
"Maaf sekali lagi, Romo. Kalau Romo berkenan mengabulkan, saya punya permintaan, Romo," kata Arya Soma.
"Permintaan apa itu, Arya?" tanya ayahnya.
"Begini, Romo. Saya mempunyai sebuah rencana untuk tidak menjadi raja, tapi masih bisa ikut dalam pemerintahan kerajaan ini," kata Arya Soma kemudian.
"Rencana yang bagaimana maksudmu, Arya?" tanya ayahnya itu tidak mengerti.
"Begini, Romo. Saya akan mengadakan sebuah sayembara. Bagi siapa saja yang bisa mengalahkan saya dan bisa mencabut Keris Pulang Geni yang ada di halaman istana itu, saya rela dengan ikhlas memberikan hak raja saya bagi siapa yang memenangkan sayembara itu," kata Arya Soma memberikan penjelasan.
Sang raja tampak diam dan berpikir dengan perkataan Arya Soma itu.
"Bagaimana jika nanti yang memenangkan sayembara itu orang jahat dan penuh angkara murka?" gumam Raja Dungga dalam hati.
Tapi dia percaya dan yakin bahwa siapa pun yang bisa mencabut Keris Pulang Geni itu adalah orang yang berhati bersih dan yang ditakdirkan para dewa untuk menjadi raja sesungguhnya di Martapura ini.
"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Tapi jika nanti tidak ada orang yang sanggup mencabut keris itu dan mengalahkanmu, maka suka atau tidak suka, kamu harus menggantikan kedudukan romo mu ini," kata Raja Dungga ayahnya itu dengan tegas.
"Saya siap dan akan patuh pada perkataan Romo jika nanti hasil dari sayembara seperti itu," jawab Arya dengan senang.
"Segeralah persiapkan segala sesuatunya untuk menyelenggarakan sayembara itu. Lebih cepat lebih baik," kata Raja Dungga kemudian.
"Baik, Romo. Saya mohon pamit," kata Arya Soma lalu pergi dari hadapan ayahnya.
Raja Dungga tampak menggelengkan kepalanya melihat kepergian anaknya itu.
---
Di lain tempat, di sebuah hutan, terlihat seorang pemuda sedang bertarung melawan sepuluh orang. Jika dilihat dari tampilannya, sepuluh orang itu seperti gerombolan penyamun atau perampok.
Walaupun dikeroyok, pemuda itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kalah. Malahan, sepertinya ia yang mengendalikan jalannya pertarungan itu.
Serangan dan pertahanan dilakukan kedua belah pihak. "Ayo, kerahkan semua ilmu kalian! Apakah cuma sampai di sini kemampuan perampok Macan Loreng yang katanya ditakuti itu?" kata pemuda itu dengan nada merendahkan.
"Ternyata Macan Loreng hanya sekadar macan ompong," kata lanjut pemuda itu mengompori para perampok itu.
"Kurang ajar beraninya kau berkata seperti itu! Ayo, habisi dia dengan ilmu gabungan kita!" teriak sang pemimpin perampok itu dengan sangat marah.
Pemuda itu tampaknya telah berhasil membuat para perampok itu kepanasan. Dia pun tidak mau main-main lagi. Ia segera menghimpun tenaga dalamnya untuk menyambut serangan mereka.
"Kau akan menjadi orang pertama yang merasakan ajian andalan kami. Jadi, bersiaplah kau mati!" kata ketua perampok itu.
Para gerombolan perampok itu segera bersiap-siap mengeluarkan ilmu andalannya. Masing-masing dari mereka menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lama kemudian, tubuh mereka bergetar dengan hebat.
"Ajian Petir Membelah Langit, hiaaaat!" teriak para perampok itu berbarengan melepaskan tenaga gabungan mereka. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang.
Sementara itu, sang pemuda telah bersiap-siap untuk melepaskan jurus andalannya, yaitu Ajian Angin Topan Menyapu Gunung.
Hiaaaat......! Pemuda itu melepaskan pukulannya. Dua ajian itu berbenturan dan terjadilah ledakan dahsyat... duuuaaarrr.... duuuaaarrr..! Kedua belah pihak sama-sama terpental ke belakang.
Si pemuda terpental sekitar dua puluh tombak sambil memegangi dadanya, sementara perampok hanya terpental sepuluh tombak ke belakang. Hal ini menandakan kekuatan gabungan para perampok itu lebih kuat.
Mereka merasakan panas dan sesak pada dada mereka. Baik pemuda maupun para perampok sama-sama merasakan hal itu.
Tanpa disadari oleh mereka, ternyata ada sepasang mata yang mengawasi pertarungan mereka itu.
Dia adalah Rangga, yang secara kebetulan lewat jalan itu dan mendengar bunyi orang bertarung. Lalu, ia memutuskan untuk berhenti dan melihat pertarungan itu.
"Ternyata bukan isapan jempol belaka. Mereka benar-benar perampok yang kuat," kata Rangga dari tempat persembunyiannya.
Uhuk.. uhuk..! Pemuda itu batuk, tapi tidak berdarah. Di lain pihak, sang perampok sudah bangun dan bersiap-siap akan menyerangnya kembali.
Dengan menggunakan Ajian Petir Membelah Langit untuk kedua kalinya, perampok itu ingin segera menghabisi pemuda itu.
Sang pemuda itu pun mencoba bangkit untuk berdiri, tapi, "Celaka, tanganku tidak bisa digerakkan. Apakah aku akan mati di sini?" kata pemuda itu dalam hati.
Dari arah depan, pemuda itu melihat sekilas cahaya yang disertai angin kencang menuju ke arahnya.
"Ternyata cuma sampai di sini pengembaraanku. Maafkan aku, Guru," kata pemuda pada dirinya sendiri seakan penuh dengan penyesalan.
Ia hanya bisa pasrah dan menunggu takdirnya. Namun, sebelum pukulan gabungan para perampok itu sampai pada pemuda itu, tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat dahsyat. Dua tenaga dalam berbenturan kembali, duuuaaarrr...... duuuaaarrr....! Kali ini lebih dahsyat lagi.
Para perampok itu pun berhamburan dan terpental cukup jauh, sekitar dua puluh tombak. Sedangkan lawannya masih diam di tempat, tapi tanah yang dipijak amblas setinggi lutut. Hal ini menandakan tenaga dalamnya masih di atas para perampok itu.
"Uhuuk... Uhuuk...! Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur dengan perampok Macan Loreng?" kata ketua perampok itu sambil sumpah serapah.
Asap tebal pelan-pelan menipis dan hilang sama sekali. Lalu, tampaklah seorang pemuda sedang berdiri di hadapan mereka. Dia adalah Rangga.
"Ternyata hanya anak kemarin sore. Mau apa kau ikut campur urusan kami?" tanya ketua perampok itu.
Tanpa bicara, Rangga langsung melemparkan sebuah kalung yang ia temukan pada waktu kecil dulu ke arah perampok itu, setelah ia melihat perampok itu memakai kalung yang sama.
Ternyata, ketua perampok itu langsung mengenalinya. Sebab kalung itu adalah milik salah satu anggotanya yang hilang beberapa tahun lalu.
"Apakah kalian masih ingat tentang seorang anak kecil dan seorang wanita yang dulu kalian nodai waktu itu, dan kalian lalu membunuhnya?" tanya Rangga.
Sang ketua perampok terdiam dan mencoba mengingat-ingat kejadian itu.
"Lalu, apa hubungannya denganmu dengan wanita dan anak itu?" tanya ketua perampok pada pemuda yang di hadapannya itu.
"Dengarkan baik-baik, akulah anak itu!" kata Rangga dingin.
"Apa...?!!" teriak mereka bersamaan karena terkejut.
"Jadi, bersiaplah kalian untuk kukirim ke neraka," ucap Rangga dingin tapi menakutkan.
"Oh, jadi kamu mau menuntut balas? Kami, para perampok Macan Loreng, tak mengenal rasa takut, apalagi sama anak kemarin sore!" kata ketua perampok itu.
"Serang!" teriak ketua rampok itu. Lalu, mereka maju bersamaan. Tanpa basa-basi lagi, Rangga langsung mengeluarkan kedua pedang kembarnya.
Rangga langsung menyambut serangan para perampok itu dengan gerakan sangat cepat, tanpa bisa diikuti mata orang biasa. Rangga melewati mereka semua, dan langsung menghilangkan pedangnya kembali.
Melihat itu, pemuda tadi yang ditolong oleh Rangga seakan-akan tidak percaya dengan penglihatan matanya itu, karena para perampok itu roboh semua tanpa kepala.
"Kapan dia melakukannya?" tanya pemuda itu dalam hati. "Sungguh luar biasa kecepatannya," ucap pemuda itu dengan terkagum-kagum.
Setelah puas melihat para perampok itu roboh, Rangga pun langsung menghampiri pemuda itu.
"Apakah Andika tidak apa-apa?" tanya Rangga tiba-tiba.
"Saya tidak apa-apa, dan saya ucapkan terima kasih atas pertolongan saudara, Pendekar," kata pemuda itu.
"Sudahlah, simpan rasa terima kasihmu, karena mereka pantas mendapatkan semua itu," kata Rangga.
Akhirnya, setelah itu, mereka pun saling berkenalan. Ternyata nama pemuda itu adalah Lingga, dan mereka pun akhirnya berpisah untuk melanjutkan perjalanan mereka masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Wahyudi
okelah
2025-09-04
0
Le Akasha
aduh su selesai?
2025-02-16
0
iwakali
dendam sudah terbalaskan... tamat
2025-01-03
0