Pandangan Aster mengabur. Nyawanya belum terkumpul sempurna. Telinga dibisingkan oleh dering jam berbentuk apel yang ia letakkan di sudut meja. Tertutup jejeran buku-buku pelajaran.
Aster menutup mulut. "Hoam!" Ia mengambil jam mungil tersebut, sambil tangan satunya mengucek mata. Jarum jam pendek mendekati angka enam dan jarum jam panjang di angka sepuluh tepat.
Hari ini, Aster sudah pasti terlambat. Bukan itu yang dia pikirkan. Aster merasa perlu melihat tanggal di hape. Ia pun membuka laci bawah dengan kaki kanan dan menekan tombol tengah pada layar ponsel menggunakan jempol kaki.
Hari Senin, tanggal yang sama ketika tertidur di jam kosong Bu Imel. Aster mengerutkan dahi. Apa sekarang rohnya jalan-jalan ke masa lalu? Kaki Aster menendang laci frustrasi.
Aster mengusap wajah kasar. Itu artinya, Aster melanjutkan waktu di mana ia belajar sampai dini hari. Otaknya sangat lelah mengartikan semua kejadian aneh ini. Tak berminat menambah beban pikiran, Aster pun menutup buku berisi tulisan miring, lalu dimasukkannya ke dalam ransel merah. Dia harus cepat bersiap menimba ilmu.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, pikirannya masih dilanda kebingungan (lagi). Pasalnya hari ini tidak ada kelas Bu Imel, dan memang Bu Imel tidak mengajar murid kelas delapan.
Sibuk berpikir, sampai Aster tidak memperhatikan langkah sepatu menyusuri lorong sepi. Semua penghuni sudah menempatkan diri di bangku masing-masing. Dari jendela transparan, Aster melihat teman-teman fokus mendengar guru menyampaikan materi.
Aster berbelok tajam tanpa melihat kiri kanan apakah ada orang. Tubuhnya terhuyung. "Awh, lo kalau jalan pake mata dong!" hardiknya sambil memegang bahu yang terhantam sudut meja.
Dua siswa di depannya saling menatap. Laki-laki berjambul setinggi Monas tersenyum meremehkan. "Beri jalan, Dek. Kami mau lewat."
Dek?
Aster menatap tak menyangka. Baru menyadari jas yang mereka kenakan berbeda warna. Mereka memakai jas hijau, sedangkan Aster memakai jas hitam. Pemilik jas hijau hanya angkatan kelas sembilan. Ia pun terpaksa mundur sambil menahan nyeri di area sendi putar.
Dua kakak kelas tersebut bekerja sama lagi mengangkat meja beriringan. Hati-hati menghadapi tikungan sebab meja yang dipindahkan cukup panjang. Sampai di depan Aster, salah satunya berkata, "Jalan tuh pakai kaki, Bego!"
Aster membulatkan mata. Ingin rasanya mengumpat. Tangan sudah terkepal di belakang tengkuk siswa berjambul alay itu. Namun, satu pukulan tak bisa ia layangkan.
Aster memutar gagang pintu kelas dengan wajah murung. Semilir angin bercampur pengharum ruangan tidak mampu membuat pikirannya rileks. Apa lagi suasana di dalam begitu ramai. Laki-laki asyik mabar, sedangkan perempuan bergosip ria.
"Aster, ngapain di situ? Mau jadi pawang pintu lo?" seloroh Vanesa. Dia mengucir rambut dua buah seperti biasa. Tangan Aster digandeng olehnya menuju bangku paling depan nomor dua dari kanan. "Duduk!"
Aster diam saja menurut. "Lo kenapa telat? Nggak biasanya."
Aster tidak mengacuhkan pertanyaan Vanesa. "Gue ... ngimpi aneh tau nggak sih, lo? Masa nih ya, gue tuh ngimpi jadi putri bangsawan, terus... di mimpi itu gue mimpi bangun dari mimpi, tapi ini masih mimpi. Pas mimpi bangun dari mimpi, gue lagi di kelas kayak gini, terus ketiduran di mimpi dan—"
"Udah stop, stop! Gue nggak ngeh lo cerita apaan. Kasih kesimpulan aja."
"Kesimpulannya adalah ... gue ngimpi." Aster serius dengan omongannya kali ini, tetapi Vanesa belum bereaksi sama sekali.
Keduanya saling menatap satu sama lain. Satu detik, dua detik. Vanesa mengibaskan tangan ke depan. "Aelah, ngimpi gitu doang! Mending lo ganti baju deh, bentar lagi olahraga."
Aster masih larut dalam kegemingan. Karena buru-buru, ia tak sempat memasukkan baju ganti ke dalam tas. "Woy! Malah bengong. Cepetan ganti baju!" Vanesa mendesaknya, lagi.
Ketua kelas datang-datang langsung menepuk jidat Aster. "Lo kenapa lemes, As? Sakit?"
"Pak Ketu, lo mau nampol orang apa ngecek suhu badan? Nggak usah sampai segitunya kali," sindir Vanesa. Si empu mengedikkan bahu tak acuh.
"Gue ... kurang tidur," jawab Aster sembari menurunkan tangan Kris. Dia canggung harus berhadapan dengan idola semua orang di kelas. Ya, Kristiano adalah bintang kelas yang bersinar sangat terang. Aster merasa cahayanya tidak berarti apa-apa kalau bersanding dengan cahaya sekuat itu.
"As, lo istirahat aja di UKS. Gue mintai izin ke guru mapel, ok?" tawarnya tersenyum lembut.
Vanesa terbatuk jaim. "Uhuk, gue nyamuk."
Hah, nyamuk? Seketika wajah Pangeran Ketujuh muncul di atas kepalanya.
Aster berterima kasih kepada Kris. Vanesa memapahnya ke ruang Unit Kesehatan Sekolah. "Mau gue temenin sampai lo tidur?"
Aster menggeleng cepat. "Oh iya. Lo bawa hape nggak? Gue suka gabut di UKS." Aster mengeluarkan jurus wajah super manis. Ia mrnampilkan senyum terindah dan kedipan mata dua kali.
"Nih, jangan buka galeri ya!" Vanesa menyerahkan benda gepeng dari daku crlana. "Oh, ya. Tadi muka sok manis lo bikin gue jijay!" ucap Vanesa sambil melet, lantas berlari ke lapangan basket. Ruang UKS dan lapangan basket memang berdampingan.
Aster dipersilahkan berbaring di kasur. Dia memilih tidur miring berteman ponsel peninggalan Vanessa. Bhaks, peninggalan. Aster bercanda. Ibu jarinya langsung mengetikkan sesuatu di kolom pencaharian.
"Kelemahan vampir". Jawaban teratas langsung terpampang di beranda. Ternyata vampir tidak suka bau menyengat dari bawang putih dan akan lenyap jika berada di bawah sinar matahari langsung. Cara lain melenyapkan vampir, yaitu dengan menghunuskan senjata tajam yang terbuat dari perak tepat ke arah jantung.
Aster tersenyum puas. Ide cemerlang sudah tersimpan rapi di kepala cantiknya. Ia mencari hal ini untuk berjaga-jaga kalau-kalau terbangun nanti bertemu lagi di mimpi yang sama, tetapi tetap saja dia berharap tidak bermimpi bangun di tempat itu lagi. Omong-omong, Aster penasaran apa yang sedang vampir itu lakukan.
Sudahlah, sekarang saatnya tidur nyenyak. Aster mematikan power ponsel, lantas memejamkan mata. Namun belum ada sedetik menutup mata, pintu kamar UKS didobrak sampai dirinya memekik dan terbangun paksa.
Alisnya bertaut melihat atap UKS berubah menjadi kelambu merah muda. Seseorang menyibak kelambu tersebut dari samping. Aster menoleh terkejut. "Kris?" pekiknya kepada laki-laki yang ia kenal sebagai ketua kelas.
"As, apa kau sakit? Seseorang dari Negeri Tabib akan segera datang." Kris memeluk Aster lumayan lama.
Aster merasakan kehangatan, dia tetap membalas pelukan itu meskipun sangat canggung. Bayangkan saja, pelukan ini berasal dari idola kelas yang diagung-agungkan guru dan teman-teman seluruh angkatan. "Bagaimana kau bisa di sini?"
"Pelayan pribadimu mengatakan kau sakit, tidak bisa mengikuti kelas. Bagaimana aku bisa di sini? Tentu saja khawatir!" jawab Kris, padahal bukan itu yang Aster tanyakan. Pertanyaan sebenarnya adalah bagaimana bisa Kris datang ke mimpi ini?
Pelukan berakhir, setidaknya setelah orang luar meminta izin untuk masuk. Tampak Sari menutup pintu sangat pelan, lalu membungkuk. "Pangeran Kelima, mereka sudah datang," lapornya.
"Biarkan mereka masuk." Kris melihat dari ekor mata. Sari sedang membuka pintu, memberi jalan bagi dua orang berpakaian serba putih. Aster melebarkan mata. Dua orang itu adalah kakak kelas yang menabraknya tadi pagi.
Jambul Monas!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments