"Apa?!"
"Jangan bilang kamu mau lari dari tanggung jawab!" bentak Tiwi, matanya membelalak marah.
"Bu-bukan begitu, Mam. Lepasin dulu telingaku, nanti copot beneran."
"Biar sekalian Papi ganti sama telinga kambing!" sentak Tanto geram.
Alex cuma bisa pasrah. Kedua orang tuanya memang kompak dalam hal menghukum—terutama jika menyangkut nama baik keluarga Wijaya.
"Nikahi Sabrina!" suara Tanto meledak di ruang tamu, menggetarkan dinding dan telinga siapa pun yang mendengarnya.
Menikah? Dengan pembantu? Tidak. Itu hal paling gila yang pernah ia dengar. Mabuk waktu itu, bukan berarti harus menikah. Sungguh apes hidup Alex.
"Aku nggak bisa, Mam, Pi. Menikahi pembantu? Itu memalukan!"
"Memalukan, Tuan bilang memalukan?" Bi Eis ikut angkat suara, sejak tadi hanya menyimak dari sudut ruangan.
"Iya! Memalukan! Aku punya standar. Menikahi pembantu itu di luar akal sehatku. Apa kata orang nanti?"
"Setelah meniduri ponakan saya, Tuan baru bilang bukan level? Kalau bukan level, kenapa harus menyentuhnya?" suara Bi Eis mulai gemetar menahan marah.
"Itu karena aku mabuk! Aku nggak sadar! Ini pasti jebakan! Gadis cupu itu pasti sengaja menggoda aku!" Alex bangkit, berjalan gontai ke sofa, lalu jatuh duduk sambil menekan pelipisnya. Kepalanya berdenyut sakit, hanya karena insiden satu malam saja. Semuanya berubah berantakan.
"Tuan bohong! Saya tidak menggoda siapa pun. Tuan yang menyeret saya! Saya sudah minta tolong, tapi Tuan tidak melepaskan saya!" Sabrina menangis. Suaranya lirih tapi tajam. Air matanya membasahi pipi. Luka itu terlalu dalam untuk dilupakan.
---
Sabrina terbangun, tenggorokannya kering. Ia berjalan pelan ke dapur, mengambil segelas air putih. Baru saja meneguk, suara mobil berhenti di garasi membuatnya menoleh ke jendela.
Pukul dua dini hari.
Ia semula tak peduli, tapi langkah sempoyongan Alex membuatnya ragu. Sabrina membuka pintu, membiarkan pria itu masuk. Tak disangka, tangan Alex menggenggam pergelangan tangannya erat.
"Antar aku ke kamar," ucapnya setengah sadar.
Sabrina menurut. Ancaman dipecat membuatnya tak bisa menolak. Ia masih butuh pekerjaan itu untuk menabung. Cita-citanya kuliah jurusan kebidanan masih jauh.
Setiba di kamar, semua berubah. Tatapan Alex berubah jadi liar. Sabrina tak menyangka kaus ketat dan celana pendek yang ia kenakan bisa mengundang bencana.
Malam itu, rumah sepi. Tanto, Tiwi, dan Bi Eis sedang pergi. Tak ada yang mendengar jeritannya, tak ada yang datang saat ia menangis. Genggaman Alex terlalu kuat. Gairahnya tak terbendung. Dan malam itu, Sabrina kehilangan kehormatannya.
---
"Turuti perintah Papi, atau angkat kaki dari rumah ini!" ancam Tanto, dingin dan penuh tekanan.
Alex menatap ayahnya. Kalimat itu bukan main-main.
"Baiklah. Aku pilih pergi. Daripada harus menikahi pembantu!" sahut Alex, berbalik menuju pintu.
Namun langkahnya terhenti.
Tanto berseru, "Kunci mobil, kartu kredit, dan semua fasilitas kamu serahkan. Hak waris? Coret. Tak akan kamu dapat sepeser pun! Bahkan jangan harap bisa kerja di perusahaan mana pun."
Alex menoleh. Wajahnya menegang.
Miskin? Terlantar? Jadi bahan hinaan publik? Tidak! Ia tak sanggup membayangkannya. Sahabat-sahabatnya pasti menertawakannya. Alexsander Wijaya jadi gembel? Itu berita besar.
Tanto mendekat, menatap putranya dalam-dalam. "Jadi bagaimana?"
Tatapan Tanto penuh tantangan, dan ia tahu... Alex pasti akan menyerah.
Alex menunduk. "Tapi, Pi..." suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Saat itu, Alex tahu—ia kalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
SᗩᖴI᙭ ᙅᗩᑎᗪᖇᗩ
Alex takut jd gembel 😄😄
2022-03-15
0
Erika Darma Yunita
cihhh masih bergantung ma harta ortu aja sombong kamu wahai lelakii
2022-03-06
0
Yuna Zahra
kurang suka sama kalimat "menikmati ponakan saya"budenya kurang asem di kira makan nasi pecel pakek menikmati segala
2022-01-24
1