bab 3. umpan daftar hitam....

Malam pertama setelah kembali ke tahun 2013 terasa seperti medan perang bagi Arya. Di kamar remajanya, ia bukan lagi manajer gudang yang sinis, melainkan seorang prajurit yang merencanakan infiltrasi.

Ia menatap jaket kulit hitam Parade Malam yang tergantung di belakang pintu. Itu adalah seragam masa lalunya, simbol kenakalan remaja yang kini harus ia gunakan sebagai penyamaran.

Ponsel lamanya berdering. Nama Maya muncul di layar.

Arya: (Mengangkat telepon, suaranya mantap) "Halo."

Maya: (Cemas) "Arya, kamu ke mana? Kamu bilang hanya sebentar! Ayahku baru saja pulang, dan dia terlihat sangat marah. Dia terus mondar-mandir dan berteriak di telepon. Ada yang tidak beres!"

Arya: "Tenang, Maya. Dengarkan aku baik-baik. Aku tahu Ayahmu sedang mendapat tekanan berat. Naga Hitam menginginkan sesuatu darinya. Kita harus lebih cepat."

Maya: "Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh macam-macam, Arya! Kamu bukan gangster!"

Arya: "Aku tidak akan macam-macam. Aku hanya akan mencari informasi. Aku butuh kamu memberiku satu hal: Di mana Ayahmu menyimpan kunci cadangan gudang? Kunci Blok C."

Hening di seberang sana. Maya: "Kunci? Arya, kenapa kunci?"

Arya: "Karena jika Naga Hitam menganggap Ayahmu menyembunyikan 'Daftar Hitam' itu, mereka tidak akan lama lagi. Kita harus mendapatkannya duluan. Ayahmu tidak akan aman selama dokumen itu masih ada."

Maya: (Suaranya bergetar) "Di kotak P3K lama. Di bawah lemari kamar mandi. Tapi... ini berbahaya, Arya. Aku mohon, jangan pergi ke sana!"

Arya: "Aku akan kembali sebelum pagi. Kunci jendela kamar. Jangan buka untuk siapa pun, kecuali aku."

Arya memutuskan panggilan. Ia tahu ia baru saja menipu Maya, tetapi menyelamatkan hidupnya adalah prioritas.

Pukul sebelas malam. Arya bertemu Dion di sudut gelap di belakang bengkel motor. Dion tampak gugup.

Dion: "Kau gila, Ary. Aku tidak mau terlibat dalam masalahmu. Kau harusnya bersyukur bisa kembali ke kehidupanmu yang damai."

Arya: (Menyerahkan secarik kertas berisi alamat dealer motor) "Informasi ini akan menyelamatkan bisnismu, Dion. Sekarang, aku butuh informasimu."

Dion melihat alamat itu, matanya membelalak. Dion: "Ini... ini gila! Kau benar-benar tahu!"

Arya: "Sekarang, Sarana Biru. Jam berapa puncak keramaian mereka, dan bagaimana aku bisa masuk tanpa terdeteksi?"

Dion: "Jam satu malam. Itu adalah sarang ular paling berbahaya di pinggiran Cakra Manggala. Mereka tidak peduli dengan ID. Mereka hanya peduli dengan uang dan koneksi. Kau tidak punya keduanya."

Arya: "Aku punya jaket ini." Arya menepuk jaket kulitnya. "Aku akan berpura-pura menjadi kurir dari geng kecil yang ingin berafiliasi. Geng yang baru masuk ke kota. Aku hanya perlu masuk, mendengar, dan keluar."

Dion: "Mereka akan membunuhmu sebelum kau sampai di bar! Mereka mengenali semua preman di Cakra Manggala! Siapa yang akan jadi alibimu?"

Arya menatap mata Dion. Arya: "Kau. Kau akan mengantar dan menungguku di seberang jalan. Jika aku tidak keluar dalam satu jam, kau panggil polisi, sebutkan ada keributan besar. Jangan sebut namaku."

Dion: (Menggeleng panik) "Aku tidak bisa! Itu terlalu berbahaya!"

Arya: "Kau sudah berjanji, Dion. Dan ingat, kau berutang padaku lebih dari sekadar uang." Arya menatap tajam, menggunakan aura dingin yang ia kumpulkan dari masa depan yang penuh penyesalan.

Dion: (Menarik napas gemetar) "Sialan kau, Arya. Kau benar-benar berubah. Baiklah. Tapi kalau ada darah, aku kabur duluan."

Arya tersenyum tipis. "Itu sudah cukup bagiku."

Tepat pukul 00:45. Arya dan Dion mengendarai motor butut menuju area industri lama. Suara mesin motor membelah kesunyian malam di Kota Cakra Manggala.

Dion: "Itu dia. Sarana Biru. Bangunan jelek dengan neon biru berkedip di atap. Semoga berhasil, Prajurit Waktu. Aku akan menunggumu di seberang."

Arya mengenakan helmnya, membiarkan aura dingin membalutnya. Ia adalah pria berusia 30 tahun yang terjebak di tubuh remaja, menghadapi pembunuh kekasihnya. Ia tidak lagi memiliki rasa takut.

Arya turun dari motor. Ia berjalan menuju pintu baja tebal klub malam itu. Suara musik keras dari dalam terasa seperti denyut nadi kegelapan.

Di pintu, dua penjaga berbadan besar dan menyeramkan, salah satunya memiliki bekas luka bakar di leher, menghalangi jalannya.

Penjaga 1: (Tersenyum sinis) "Hei, bocah! Kau salah tempat. Ini bukan taman bermainmu."

Arya: (Berdiri tegak, menatap lurus, mengabaikan ketakutannya) "Aku bukan bocah. Aku kurir. Bos kami ingin berafiliasi. Dia ingin bicara dengan orang yang bertanggung jawab atas operasi Naga Hitam di Cakra Manggala."

Penjaga 2: (Tertawa keras) "Berafiliasi? Geng cilik mana lagi yang mau cari mati? Bos kami tidak punya waktu untuk kurir. Kembali ke ibumu, bocah."

Arya: (Maju selangkah, suaranya tegas) "Bos kami punya sesuatu yang bisa meledakkan operasi kalian di Cakra Manggala hanya dalam semalam. Katakan pada bos kalian, kami punya informasi tentang 'Daftar Hitam'."

Mendengar kata kunci itu, senyum di wajah Penjaga 1 langsung hilang. Tatapannya berubah tajam dan mematikan.

Penjaga 1: (Berbisik ke Penjaga 2) "Dia tahu soal Daftar Hitam." (Kemudian menatap Arya) "Masuk. Tapi jika kau berbohong, aku sendiri yang akan menguburmu di bawah lantai dansa."

Arya mengangguk kaku. Ia melangkah ke dalam Sarana Biru, menuju sarang Naga Hitam.

Arya melangkah ke dalam klub malam Sarana Biru. Atmosfer di dalamnya lebih pekat daripada gudang manapun di Kota Cakra Manggala. Musik house berdentum memekakkan telinga, bercampur dengan asap rokok yang tebal dan aroma alkohol murah. Cahaya neon biru redup menyelimuti ruangan, menciptakan siluet-siluet kasar dan menakutkan.

Kedua penjaga pintu yang menyeramkan mengawal Arya melewati lantai dansa yang penuh sesak oleh preman dan orang-orang berpakaian minim. Arya mempertahankan ekspresi dingin di wajahnya. Ia tahu, setiap detail kecil di ruangan ini bisa menjadi petunjuk bagi masa depan Maya.

Mereka menaiki tangga besi berkarat menuju balkon sempit di atas. Di sana, suasana sedikit lebih tenang. Di tengah sofa kulit yang sobek, duduk seorang pria paruh baya bertubuh besar. Ia mengenakan jaket kulit tebal dan di lehernya tergantung kalung emas tebal. Di punggung jaketnya, lambang Naga Hitam terlihat jelas, dijahit dengan benang perak mengilap. Pria itu, Komandan Jaya, adalah tangan kanan bos besar Naga Hitam di wilayah ini.

Di sampingnya duduk seorang wanita dengan pakaian mencolok, menghisap rokok dengan malas.

Komandan Jaya: (Melambaikan tangan dengan kasar) "Lepaskan dia. Jadi, kau kurir bocah yang mengganggu malamku? Kau menyebut Daftar Hitam."

Arya berdiri tegak, membiarkan kebisingan dari lantai dansa di bawah menjadi latar belakang yang intens.

Arya: "Aku tidak datang untuk mengganggu. Aku datang dengan tawaran berafiliasi. Bosku tahu kalian kesulitan menemukan Daftar Hitam yang dipegang mantan manajer Gudang Tua K-7."

Komandan Jaya menyipitkan mata, mengamati Arya dari atas ke bawah. Komandan Jaya: "Kesulitan? Kami sedang bernegosiasi. Dan negosiasi kami akan selesai dengan cara yang cepat, dalam api. Kau sudah lihat beritanya dua belas tahun lalu. Jadi, siapa bosmu? Geng cilik mana yang berani bicara soal Naga Hitam di Cakra Manggala?"

Arya: "Bosku adalah pemain baru, Komandan. Dia tidak punya nama di kota ini, tapi dia punya informasi. Ayah si gadis itu—mantan manajer—sudah mati. Tapi Daftar Hitam itu masih ada."

Komandan Jaya: (Tertawa sinis) "Kau pikir aku bodoh? Kami sudah menghancurkan gudang itu. Kami sudah cari. Dokumen itu sudah jadi abu, atau Ayahnya sudah pindahkan."

Arya: "Itulah masalahnya. Dia tidak memindahkannya. Dia menyembunyikannya di Gudang K-7. Di tempat yang paling tidak terduga. Kami punya petunjuk untuk menemukannya."

Keheningan melanda balkon. Komandan Jaya mematikan rokoknya dengan kasar.

Komandan Jaya: "Petunjuk apa?"

Arya: "Ayah si gadis itu paranoid. Dia tidak akan menyimpan dokumen sepenting itu di tumpukan arsip atau di brankas. Dia menyimpannya di tempat yang sangat pribadi. Dan kami tahu di mana petunjuk itu berada di rumahnya."

Ini adalah permainan berbahaya. Arya sedang mengarang cerita, mengambil risiko dengan menyebutkan detail yang ia ketahui dari pengakuan Beni.

Komandan Jaya: "Dan kenapa kau tidak mengambilnya sendiri, bocah?"

Arya: "Karena kami butuh perlindungan. Jika kami mengambilnya dan Naga Hitam tahu, kami akan mati. Kami ingin 50% dari saham perdangan ilegal yang bisa kalian kuasai berkat dokumen itu, dan perlindungan penuh di Cakra Manggala."

Komandan Jaya bersandar, wajahnya menunjukkan perhitungan yang cepat. Membunuh Arya mudah. Tapi jika ada kesempatan 50% Daftar Hitam itu ada, risikonya sepadan.

Komandan Jaya: "Oke. Anggap aku tertarik. Di mana petunjuk itu?"

Arya menatap tajam, suaranya mantap. Arya: "Aku tidak akan memberikannya di sini. Aku akan memberikannya besok. Tapi aku butuh janji. Kau akan hentikan semua tekanan pada keluarga mantan manajer. Termasuk informan kalian di sekolah. Aku ingin mereka bersih."

Komandan Jaya mengangkat alisnya, terkejut dengan keberanian Arya. Komandan Jaya: "Kau berani menetapkan syarat untukku? Baiklah. Aku suka gayamu, bocah. Besok malam, tempat yang sama. Bawa informasi, atau kau akan jadi makanan ikan di pelabuhan."

Arya tahu, ia hanya punya waktu 24 jam. Ia mengangguk kaku, berbalik, dan berjalan keluar dari Sarana Biru, meninggalkan Komandan Jaya dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Ia telah berhasil menyusup dan bertahan. Misi selanjutnya: Gudang Tua K-7.

Arya meledak keluar dari pintu baja Sarana Biru. Udara malam yang dingin di Kota Cakra Manggala menghantam paru-parunya yang tegang. Di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang remang-remang, Dion hampir menabrakkan motornya karena kaget melihat Arya keluar hidup-hidup.

Dion: (Berteriak panik) "Arya! Gila! Kau benar-benar keluar! Cepat naik!"

Arya melompat ke belakang motor. Arya: "Jangan ke rumahku. Ke rumah Maya. Cepat!"

Dion: (Memacu motornya, suaranya bergetar) "Apa lagi?! Kau mau kencan setelah keluar dari sarang Naga Hitam?!"

Arya: "Aku butuh kunci. Sekarang, jangan banyak tanya dan tancap gas!"

Motor itu melesat membelah jalanan sepi Cakra Manggala. Dalam sepuluh menit, mereka tiba di jalan buntu dekat kompleks perumahan Maya.

Arya: "Tunggu di sini. Beri aku lima menit. Jika aku tidak kembali, segera pergi."

Arya melompat turun dan berlari dalam bayang-bayang. Ia tahu rumah Maya seperti rumahnya sendiri. Ia ingat kebiasaan lama mereka: jendela dapur adalah satu-satunya yang kuncinya rusak.

Klik.

Dengan sedikit paksaan yang terampil—keterampilan yang ia pelajari di masa depan yang keras—jendela itu terbuka. Ia menyelinap masuk. Rumah itu gelap dan sunyi. Ia bisa mendengar dengkuran pelan Ayah Maya dari kamar atas.

Arya berjinjit ke kamar mandi. Ia meraba-raba di bawah lemari, tangannya menyentuh kotak P3K tua yang berdebu. Di baliknya, dinginnya logam terasa di ujung jarinya. Kunci cadangan Gudang K-7.

Srak!

Suara langkah kaki dari lantai atas. Ayah Maya terbangun.

Ayah Maya: (Suara serak) "Siapa di sana? Maya, itu kamu?"

Arya membeku. Jantungnya berdebar kencang. Ia menahan napas, menghitung detak jantungnya sendiri dalam kegelapan.

Satu detik. Dua. Tiga.

Ayah Maya: (Menggerutu) "...Hanya tikus sialan." Terdengar suara pintu kamar ditutup lagi.

Arya menghela napas pelan. Ia melompat keluar jendela, mendarat tanpa suara, dan berlari kembali ke motor.

Arya: (Menunjukkan kunci) "Sudah dapat. Sekarang, antar aku ke Gudang Tua K-7. Area industri."

Dion: "Kau sudah gila, Arya! Naga Hitam ada di sana! Kau baru saja membohongi mereka!"

Arya: "Justru karena aku membohongi mereka, aku harus ke sana sekarang! Mereka memberiku 24 jam. Itu berarti aku hanya punya waktu beberapa jam sebelum mereka sadar aku hanya mengulur waktu. Cepat!"

Pukul 02:30 pagi. Gerbang besi berkarat Gudang Tua K-7 menjulang di depan mereka. Ini adalah tempat di mana Arya versi 30 tahun akan didorong jatuh.

Dion: "Sampai sini saja, Ary. Aku tidak akan masuk. Ini tempat terkutuk."

Arya: "Tunggu satu jam. Jika aku tidak keluar, panggil polisi. Katakan ada transaksi narkoba besar. Jangan sebut namaku."

Arya mengambil kunci itu dan berlari menuju gerbang samping. Suara KRRIIING yang keras dan berkarat terdengar saat ia membuka gembok tua itu.

Ia sekarang berada di dalam wilayah musuh. Mengandalkan ingatan masa depannya dan informasi dari Beni, ia berlari menuju Blok C.

Blok C adalah bangunan yang lebih kecil dan terpisah, berbau debu dan bahan kimia. Ia menggunakan kunci yang sama untuk membuka pintu baja tebal.

Di dalam gelap total. Arya menyalakan senter ponsel lamanya yang redup.

Arya: (Monolog internal) Beni bilang Ayah Maya paranoid. Dia tidak akan menyimpannya di brankas. Dia akan menyimpannya di tempat yang hanya dia yang tahu.

Arya memeriksa tumpukan arsip. Kosong. Ia memeriksa di balik lemari besi. Kosong.

Ia mengetuk-ngetuk lantai. Di bawah rak arsip terberat, satu ubin terdengar berbeda. Hollow.

Arya: "Gotcha!"

Dengan seluruh kekuatan tubuh remajanya, didorong oleh tekad pria dewasa, Arya mendorong rak besi itu. Suara logam berdecit memekakkan telinga. Di bawahnya, sebuah ubin yang longgar.

Arya mencongkel ubin itu. Di bawahnya, terbungkus plastik tahan air, ada sebuah buku besar bersampul kulit hitam. 'DAFTAR HITAM'.

Ia berhasil. Ia mendapatkan senjata terkuat melawan Naga Hitam.

KLAK!

Suara pintu baja Blok C yang dibuka dari luar.

DEG!

Jantung Arya serasa berhenti berdetak.

Cahaya senter yang jauh lebih terang menyapu ruangan. Terdengar langkah kaki berat dan suara serak yang sangat ia kenali.

"Kau yakin bocah tadi bohong, Bos?"

Pria Plontos : "Aku tidak suka caranya menatap. Dia tahu terlalu banyak. Periksa tempat ini. Bakar semuanya jika perlu. Aku ingin Daftar Hitam itu malam ini juga!"

Mereka kembali. Arya terjebak di dalam Blok C, memegang dokumen yang mereka cari, berhadapan dengan Pria Plontos—pembunuhnya dari masa depan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!