Bab 2 - Jumpa dengan Aris

Baru saja Ana menyelesaikan ucapan kekuatirannya, bunyi langkah kaki menuruni tangga terdengar.   

Seseorang lelaki berusia sekitar 25 tahun berpakaian seragam engineering melewati kamar Ana yang pintunya terbuka.

“Oh sudah terisi lagi ya kamarnya,”  kata laki-laki itu berhenti di depan pintu. Tubuhnya tinggi, berkulit cukup terang, wajahnya terlihat teduh dan cukup tampan. 

“Hendra, kamu di sini. Hari ini kamu libur kan.”

“Iya.”

“Siapa yang ngisi?” tanya laki-laki itu lagi. Ia terdiam sesaat mengamati  Ana. “Oh, pasti sekretaris Mr. Duncan ya. Yang dari Yogya, benar?” 

 “Wah, kok tau Pak,” celetuk Hendra.

“Disebut-sebut pas morning briefing.” Lelaki itu mengulurkan tangannya. “Aku Aris. Ini Mbak Christiana kan?”

Ana mengangguk dengan sedikit malu-malu. Wajah Aris yang tampan membuat Ana grogi.  

“Salam kenal.” Ana tersipu sambil menyambut jabat tangan Aris. “Saya Ana.”

Hendra mendengus, “Wah Pak Aris, tau juga ya info kalau Ana dari Yogya. Mentang mentang cewek bening.”

Aris tertawa. “Lha kan kalau pas morning briefing kan Pak Yoga atau Huda pasti menyampaikan laporan terbaru. Ya aku taulah.”

“Mbak Ana, dapatnya kamar ini ya?” tanya Aris sambil mengerutkan kening. Dia menatap tempelan kertas coklat yang sedikit robek di atas. Wajahnya tampak memikirkan hal yang sama seperti Ana sebetulnya.

“Kata Pak Huda tadi, ini kamar sementara saja karena kamar untuk saya yang di lantai 2 masih diperbaiki.”

“Oh itu kamarnya Vero dulu.” Aris mengangguk-angguk. “Buat Mbak Ana ya. Oke, nanti aku akan segera mengatur anak buah saya agar mempercepat perbaikannya. Ku usahakan dalam 2 hari, selesai.”

“Ck,” cibir Hendra. “Karena cakep terus dikebut.”

Aris menatap Hendra sambil menghela napas. Lalu dengan gerakan isyarat ia menunjuk-nunjuk ventilasi yang berhadapan dengan tangga.

“Hendra, nanti kamu yang benerin kamarnya besok pagi. Berangkatlah setelah briefing pagi. Ajak satu staf lagi. Shift pagi kan?”

“Siap bos.” Hendra segera memberi sikap hormat. “Bos kenapa ada di dorm?”

“Ambil proposal ketinggalan.” Aris mengangkat tinggi segepok kertas di tangan kirinya. “Hen, Mbak Ana aku kembali ke hotel lagi ya. Kamar atas akan ku percepat perbaikannya.”

“Terimakasih banyak buat dukungannya, Pak,” Ana menundukkan kepalanya dengan hormat.

“Aku pergi dulu.” Aris melangkah menjauh dari mereka sambil  melambai-lambaikan tangannya.

Ana memperhatikan punggung Aris yang makin menjauh. “Siapa dia? Atasan Hendra ya, karena dipanggil.”

“Dia Pak Aris, asisten Chief Engineer. Bener sih dia itu bos kecilku. Selain ada juga bos besarku Pak Syamsul.” 

Tampang Hera berubah jadi sedikit murung. “Pasti Mbak Ana naksir ya sama Pak Aris. Dia memang ganteng. Badannya pun bagus, ideal. Kaum hawa pasti tergoda.” 

Hendra menghela napas pasrah. “Nasib, nasib, baru saja mau mulai berusaha udah keok duluan dalam waktu 30 menit.”

Ana diam saja mendengarkan gumaman Hendra.

“Sudahlah, sekarang aku mau mengecek kamarmu mm eh… Mbak Ana? Boleh aku panggil Mbak Ana atau aku harus panggil Miss?”

“Panggil Ana saja. Miss miss gitu kayak panggilan buat guru TK atau SD.”

Selanjutnya dengan dibantu Hendra, Ana membereskan kamarnya sampai siap dipakai. Dari stop kontak yang kurang berfungsi, lampu kamar yg mulai menghitam sampai kunci pintu kamar yang seret.

  Ternyata  Ana dengan mudah nyaman berteman dengan Hendra. Ana yang introvert dan sulit untuk bisa membuka  pembicaraan terlebih dahulu sangat cocok dengan kepribadian Hendra yang sangat extrovert dan easy going.

“Nanti jam 6, ku ajak pergi ke warung makan yang sering anak anak Atlantis untuk makan ya. Tak jauh dari sini. Sekarang istirahat sebentar, mandi dulu. Aku juga mau mandi dulu. Jam  5.30 aku jemput ke sini.”

“Makasih banget lho Hendra. Seneng aku, baru datang sudah dapat teman sebaik kamu.”

Ana mandi untuk pertama kalinya di Batam. Setelah itu ia mengenakan celana loose jeans berwarna denim dan kemeja broken white, dengan wajahnya diberi moisturizer dan bedak.  

Ana sudah siap, jadi ia membuka lebar pintu kamarnya, menunggu kedatangan Hendra.

Singkat cerita, Ana dan Hendra berjalan kaki sekitar 10 menit dari dorm mereka ke warung makan yang menjadi langganan bagi pekerja sekitar, termasuk karyawan Hotel Atlantic.

Warung itu terletak agak masuk di jalan yang sempit. Lebar jalannya hanya cukup untuk dua mobil seukuran Avanza yang di jajar. Sedang sepanjang jalan menuju ke warung itu juga tidak mulus. Walaupun beraspal, tetapi sudah sudah banyak kerusakan, akibat hujan lebat juga kendaraan yang lalu lalang di atasnya.

Begitu memasuki warung, Ana bisa melihat ada sekitar 10 meja besar dengan 6 kursi plastik yang mengelilingi setiap meja. Di sana juga tersedia etalase dengan begitu banyak jenis masakan, sayur sayuran, lauk pauk yang diolah dengan berbagai cara, berkuah, rebusan, gorengan, bakaran. Sangat komplet.

 “Wow! Amazing!” Ana melebarkan matanya dengan cukup kagum. “Rekomendasi yang bagus sekali Hendra. Aku bener bener senang di hari pertama aku datang langsung tahu di mana aku cari makan.”

Di warung itu Hendra mengenalkan Ana kepada beberapa pengunjung sedang makan, karena mereka pun ternyata sesama karyawan Hotel Atlantic.

Di sana Ana berkenalan dengan Dita yang bekerja sebagai Coffee Shop Supervisor yang kebetulan kamarnya hanya seberangan dengan kamar milik Ana. Juga berkenalan dengan Anto yang bertugas sebagai doorman di Front Office. Ada Pak Warno  yang bertugas sebagai security hotel, dia datang bersama dengan Huda, staff personalia yang menyambut kedatangan Ana tadi.

“Wah, kamu beneran nemenin Miss Christiana sampai makan di sini ya.”

“Aku kan memang orang yang ramah, suka menolong dan baik hati, Pak Huda.” Gaya Hendra sambil menepuk dadanya. “Aku pasti akan membantu agar Ana dapat segera nyaman dan mengenal daerah ini secepatnya. Kalau butuh ke tempat tempat penting seperti bank, pos, mau belanja atau yang lain, wa aku aja Ana. Kira atur waktunya, pasti aku akan antar.”

Seketika manusia manusia yang duduk di 2 meja yang digabung itu segera memasang tampang julid dengan bibir bawah yang sedikit maju ke depan. Cih! Begitu kira-kira kata dalam hati mereka.

Hendra yang paham dengan bahasa tubuh mereka, makin nyengir lebar. “Dasar iri dengki.”

Huda tersenyum bijak, menyembunyikan rasa gelinya. “Iya, iya, Hendra nitip Miss Christiana ya agar dia cepat betah di sini. Kamu jangan macem macem lho sama miss ini. Kami susah payah membujuk agar miss ini mau pindah ke Atlantic dari hotel besar tempat sebelumnya dia bekerja.”

“Oh Miss Christiana dulu kerja di mana?” tanya Dita tertarik.

“Di hotel XXX Yogya,” jawab Ana sambil tersenyum sopan. Kepribadiannya yang pemalu memang membuatnya tidak mudah untuk berbaur di lingkungan yang baru. Ana selalu bersikap sopan dan berhati-hati pada orang-orang yang belum dia kenal dengan baik.

“Tolong panggil saya Ana saja. Jangan miss miss gitulah.”

“Oke Ana.” Dita menganggukkan kepalanya tanda langsung paham akan kepribadian Ana. “Ayo ceritakan bagaimana ceritanya kenapa bisa sampai di Batam.”

Ana menjawab dengan malu-malu. Salah satunya adalah aku mau mendekati Singapore. Aku belum pernah ke sana, bahkan aku belum pernah keluar dari pulau Jawa, sebelum ini.”

“Iya Batam dan Singapore memang dekat. Satu jam saja perjalanan dengan ferry. Tapi semoga saja Miss betah dan tahan lama di sini.”  Anto saling bertukar pandangan dengan orang-orang hotel temannya. “Kalau tidak tahan ya…. Seperti yang kemarin itu baru berapa lama?”

“Sebulan,” ujar Dita. 

“Itu aja sudah termasuk cukup lama ya. Yang Julie…. itu malah cuma sebentar sekali. Aku cuma sempat lihat sekali saja. Cuma 3 hari-kah?”

“Dua minggu,” sambung Anto lagi. “Ada yang lebih sebentar. Ingat Chika, itu yang anak Bangka. Cuma sehari, pulang kerja sambil menangis mengemasi baju dan barangnya langsung pergi setelah dijemput oleh Pakcik nya.”

Huda menggeleng gelengkan kepalanya. “Hus!! Sudah, sudah! Kalian ini,  datang-datang kok langsung ditakut-takuti. Miss Ana ini hebat lho. Resume kerja dia sangat terpuji. Mr. Duncan aja langsung acc selesai interview kemarin. Jangan dengarkan mereka, Ana. Mr. Duncan sendiri yang dengan yakin tegas milih kamu.”

Ana terdiam agak lama sambil mendengarkan celotehan mereka. “Hendra, apakah maksudnya Mr. Duncan itu bos yang sulit ya. Bikin karyawannya nggak tahan gitu? Pemarah?”

Hendra melemparkan senyuman yang adem dengan bibir agak lebarnya yang berwarna kehitaman. Dia sosok pemuda berdarah Melayu yang berwajah manis. “Memang keluar masuk sih sekretarisnya. Tapi mereka semua tidak selevelnya Ana. Ana jauh kelihatan jauh lebih mampu dan kompeten dibanding mereka.”

Perasaan bimbang dan cemas mulai merayap hati Ana. “Wah, kok aku jadi takut ya denger cerita kalian.”

“Kan aku udah bilang kalau Ana lebih baik daripada sekretaris sekretaris Mr. Duncan yang dulu dulu.” Hendra menepuk nepuk bahu Ana meyakinkan.

“Terima kasih Hendra buat dukungannya. Kamu sangat baik, baru saja kenal tetapi sudah mau membesarkan hatiku kayak sudah bersahabat lama saja.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!