Keesokan harinya Livia bangun lebih pagi. Tiba-tiba perutnya terasa melilit dan mual. Berkali-kali dia bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Tapi tak ada apapun yang keluar kecuali cairan bening kekuningan. Mungkin karena lambungnya masih kosong dan hanya mengandung cairan empedu atau air.
Tadinya dia berniat untuk menyiapkan sarapan pagi.
Tapi dalam keadaan seperti ini, jangankan menyiapkan sarapan berdiri saja kakinya terasa lemas.
Akhirnya Livia hanya bisa duduk bersimpuh di lantai dekat kamar mandi. Takut kalau-kalau rasa mualnya kembali menyerang.
Tapi Livia bertahan, Ia tak akan memberitahukan Alex tentang kondisi kehamilannya sekarang.
"Biarkan jika dia lebih memilih mereka. Aku pun tak akan menghalanginya." Tekad Livia.
Dia bisa tahan dikatakan mandul oleh mertua dan iparnya. Tapi jika kata-kata itu keluar dari mulut Alex dan melihat kenyataan perilaku Alex sekarang yang mulai berubah, hati Livia sangat sakit.
"Di saat aku menyadari kesalahanku dan ingin merubah kembali seperti dulu, hati kamu malah sudah berubah, mas..." Bisik Livia, lirih. Airmatanya mulai berjatuhan.
Entah kenapa, akhir-akhir ini dia merasa cengeng dan
Sensitif. Padahal sebagai anak yang dibesarkan di panti asuhan, dia selalu menghindari hal-hal seperti itu. Kehidupan yang keraslah yang membuat dia menjadi tegar, mandiri dan... ambisius.
Mungkin karena kelelahan terus-terusan muntah, Livia kelelahan dan masih mengantuk. Dia pun ketiduran di situ.
"Kamu masih sama seperti dulu, Liv. Jangankan berubah, membuat sarapan saja masih harus aku yang melakukannya," gumam Alex sambil membuat kopi untuk dirinya dan Livia. Dia juga menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
Setelah itu, dia kembali ke kamarnya untuk bersiap pergi ke kantor. Tapi saat keluar lagi, Livia belum juga keluar dari kamarnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar di hati Alex. Pasalnya, Livia adalah orang yang selalu tepat waktu untuk pekerjaannya. Dia hampir tidak pernah terlambat pergi ke kantor.
Perlahan, Alex melangkah ke tangga dan naik ke lantai atas. Saat berada di depan pintu kamar yang sekarang hanya ditempati oleh Livia, tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Namun, sepersekian detik kemudian, dia mengurungkan niat itu. Dia khawatir Livia masih marah dan mereka akan kembali terlibat dalam perdebatan.
"Lebih baik aku diamkan dulu. Nanti kalau sudah tenang, aku bicara lagi sama dia."
Akhirnya, Alex kembali turun. Ia sarapan sendirian
Dan setelah selesai, berangkat ke kantor dengan meninggalkan sebuah catatan yang ditempel di pintu kulkas sebagai bentuk pamitan.
Livia terjaga dari tidurnya. Karena tertidur di lantai dalam keadaan duduk, tubuhnya kini terasa sakit dan pegal. Tapi hari ini dia sudah memutuskan tak akan masuk kerja. Apalagi selama ini dia hampir tak pernah mengambil cuti.
Livia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dan berdandan rapi dengan baju rumahan, ia pun keluar dari kamar dan turun ke dapur. Rasa mualnya sudah hilang dan kini perutnya terasa lapar.
Di meja bar ada secangkir kopi yang sudah dingin, juga roti panggang dengan selai keju kesukaannya.
Bibir Livia mengulas senyum. "Terimakasih." Ucapnya pelan, seolah Alex ada di situ.
Sambil mengunyah makanannya, Livia terus berpikir.
Haruskah dia melupakan kejadian kemarin dan memaafkan Alex? Livia yakin, suaminya itu hanya sekedar khilaf. Lagian, itu semua berawal dari kesalahan dirinya
Livia mengangguk, "baiklah Alex, aku akan melupakan kejadian kemarin." Gumamnya dengan bibir tersenyum sambil mengelus perutnya.
"Kamu nggak usah khawatir dek, mama akan kembali memperbaiki hubungan dengan papamu. Dan nanti kita bertiga akan hidup bahagia pada akhirnya. Papamu pasti akan sangat bahagia, saat mama mengatakan kalau kamu sudah ada di sini." Katanya bermonolog sambil terus mengusap-usap perut ratanya.
Selesai sarapan, Livia mulai membenahi rumahnya.
Mencuci piring, menyedot debu dan ngepel. Hal-hal yang sangat jarang dilakukannya karena dia sibuk bekerja.
Biasanya ada jasa cleaning service profesional yang membersihkan apartemen mereka.
Tapi kali ini Livia melakukannya dengan senang hati.
"Setelah ini aku akan ke supermarket membeli bahan makanan dan memasak untuk makan siang dan makan malam kami."
Selesai membersihkan hampir seluruh apartemennya dan duduk sebentar di ruang tengah untuk mengistirahatkan rasa lelahnya, Livia pun memutuskan untuk segera pergi ke supermarket Dia pergi ke mall, sekalian untuk menyegarkan pikiran yang masih ada sedikit gundah.
Livia mengganti bajunya dengan kemeja oversize dan skinny jeans. Sandal flat, membawa tas kecil, dan menyetir mobil sendiri.
Di perjalanan, Livia mencoba menenangkan diri. Setelah memutuskan memaafkan Alex, beban di dadanya memang sedikit berkurang. Ini demi kehamilannya, dia sadar tidak boleh terus-menerus stres. Semua itu bisa berdampak buruk pada perkembangan janinnya.
Sesampainya di mall, Livia tidak langsung belanja. Dia berjalan pelan dari satu toko ke toko lain tanpa tujuan jelas. Sampai akhirnya dia berhenti di sebuah outlet mainan anak. Matanya menangkap sosok yang sangat dia kenal.
"Alex, nggak kerja?" Livia melihat jam di tangannya.
lagi. "Ternyata sudah waktunya makan siang." Gumamnya
Alex sedang berdiri di depan rak mainan. Tapi dia tidak sendiri. Di sampingnya ada Syaira, keponakan mereka.
Bibir Livia tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkah, ingin menghampiri mereka.
Tapi langkahnya langsung terhenti saat melihat dua orang lain muncul dari balik rak yang memajang aneka boneka dan berdiri di sisi Alex.
"Ishana dan Keysha? Ternyata Alex tidak bisa lepas dari mereka."
Livia mengusap perutnya. Tak terasa tetesan bening sudah mengalir dari kelopak mata dan membasahi pipi mulusnya.
Hatinya sangat sakit, melihat pemandangan di depannya. Mereka terlihat semakin akrab. Tertawa kecil bersama dan tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.
Meski harus menahan rasa kecewa dan sakit hati,
Livia tetap memperhatikan dari kejauhan. Alex tampak jongkok di hadapan Keysha, memperbaiki tali sepatunya. Bocah kecil itu tertawa, lalu memeluk kaki Alex. Syaira ikut tertawa, sedangkan Ishana hanya berdiri di dekat mereka sambil tersenyum.
"Sejak kapan kamu lakuin ini di belakang aku, Mas?" lirih Livia, nyaris tak terdengar. Matanya buram karena
Airmata, tak lepas dari pemandangan itu. "Kamu terlihat sangat bahagia. Tapi kamu telah menyakiti hatiku dan bayi yang ada di rahimku!"
Alex lalu berdiri, berbicara dengan Ishana. Livia tak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tapi melihat gesturnya saja cukup membuat dadanya sesak. Tak ada yang berlebihan, memang. Tapi cukup untuk menusuk dalam, dadanya.
Tangannya mulai gemetar, bukan karena marah, tapi karena kecewa. Rasanya seperti orang asing yang melihat suaminya punya kehidupan lain yang baru ia ketahui kemarin.
Livia mundur perlahan, menyelinap di antara rak
mainan agar tak terlihat. Livia tak ingin mereka tahu ia ada di sini, diantara mereka. Ia hanya ingin pergi dari situ. Rasanya tak sanggup berdiri terlalu lama dengan pemandangan seperti itu di depan matanya..
"Aku yang berusaha memaafkan, tapi ternyata kamu udah terlalu nyaman sama mereka, mas."
Livia menatap nanar mereka sebelum pergi
"Maafkan sayang, tapi kamu gak usah khawatir, mama akan tetap menjagamu. Tak akan kubiarkan masa kecilku yang pahit, menimpamu."
Livia membalikkan badan dan berjalan menjauh.
Matanya dan pipinya sudah membanjir. Ia benar-benar sudah tak kuat lagi berada di situasi ini. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments