Balon Merah dan Rahasia di Balik Nama

Pagi itu udara Nganjuk masih seger banget. Jalanan belum terlalu ramai, cuma ada tukang sayur lewat sama anak sekolah naik sepeda.

Aku duduk di kursi depan mobil kantor, bareng Pak Samingan di kursi sopir. Sopir tetap Pak Suro, orangnya pendiam tapi kalau nyengir bisa dua menit baru selesai.

Di pangkuanku, masih ada balon merah kecil — pemberian Arifbol kemarin. Entah kenapa, aku bawa aja.

Bukan karena apa-apa, cuma... rasanya lucu aja kalau ditinggal.

Pak Samingan melirik sekilas sambil senyum tipis.

“Itu dari Arifbol, to?”

Aku agak kaget. “Eh... iya, Pak. Kemarin dikasih katanya biar saya inget dia.”

Pak Samingan nyengir kecil. “Hehe… anak itu emang begitu. Kalau sudah senang sama orang, bakal diinget terus. Tapi kalau bete, dia bisa diem seharian.”

Aku ikut senyum, lalu pelan-pelan nanya, “Kalau boleh tahu, Pak… Mas Arifbol itu dulu sekolahnya di mana ya?”

Pak Samingan menarik napas panjang, matanya fokus ke jalan.

“Dulu dia sekolah di SD biasa. Pinter banget, malah dulu ranking satu terus. Tapi waktu kelas lima, dia pertama kali kejang.”

Aku refleks diem.

“Sejak itu, kondisinya berubah. Kadang bisa mikir dewasa, kadang kayak anak kecil. Pernah juga dibully, dibilang ‘aneh’. Ya… sejak itu dia jadi lebih banyak di rumah.”

Aku nunduk pelan. “Kasihan, Pak…”

“Iya, Rara. Tapi saya dan Bu Wiji selalu berusaha. Kami bawa dia ke dokter, ke pesantren, bahkan sempat terapi di Surabaya. Tapi ya itu… penyakitnya nggak bisa hilang, cuma bisa dikontrol.”

Suasana mobil mendadak sunyi. Hanya suara klakson jauh di luar.

Aku ngelirik sedikit ke arah Pak Samingan, kelihatan jelas nada suaranya berubah lembut.

“Bu Wiji itu dulu hampir tiap malam nangis, Ra. Dia kuat, tapi kalau lihat anaknya kejang, tangannya gemetar semua. Saya juga nggak tega.”

Aku pelan-pelan bilang, “Tapi sekarang Mas Arifbol kelihatan bahagia, Pak. Mungkin karena Bapak sama Bu Wiji sayang banget.”

Pak Samingan senyum dikit, tapi matanya agak sendu.

“Iya. Dia itu sebenarnya cerdas, Rara. Kalau kamu perhatiin, dia hafal banyak ayat, tahu maknanya juga. Cuma… ya itu, pikirannya kadang lompat. Kadang ngomong soal surga, besoknya ngomong soal balon.”

Aku ikut ketawa kecil. “Hehehe, iya, Pak. Tapi lucu sih, Mas Arifbol itu.”

“Lucu, tapi nyusahin juga kadang. Kalau dia kambuh, rumah bisa kayak medan perang. Semua orang panik. Tapi setelah reda, dia malah minta maaf sambil nangis.”

Aku diem, nggak tahu mau ngomong apa. Dalam hati, rasanya campur aduk — kasihan, kagum, dan entah kenapa, hangat.

Mobil berhenti di lampu merah.

Pak Samingan tiba-tiba nanya, “Kamu nyaman kerja di rumah itu, Ra? Soalnya nggak semua orang bisa sabar ngadepin anak seperti Arifbol.”

Aku langsung jawab, “Nyaman kok, Pak. Malah… saya ngerasa kayak belajar hal baru tiap hari.”

“Hal baru?”

“Iya, Pak. Dari Mas Arifbol saya belajar kalau bahagia itu sederhana. Kadang cuma dari hal kecil, kayak balon merah atau segelas susu hangat.”

Pak Samingan ketawa kecil. “Heh, kamu ini kayaknya cocok temenan sama dia.”

Aku senyum. “Hehehe, iya, Pak. Soalnya Mas Arifbol itu... beda, tapi hatinya bersih banget.”

Sesampainya di kantor, aku turun dari mobil sambil masih megang balon merah itu.

Di parkiran, teman sekantor langsung pada nanya.

“Lho, Ra, kok bawa balon?”

Aku senyum aja, “Dari anak bos, titipan doa katanya.”

Teman-temanku langsung cekikikan. “Waduh, jangan-jangan kamu mau dijodohin, Ra!”

“Ah, ndak usah ngelantur, kowe kabeh!” jawabku sambil ngibasin tangan. Tapi jujur, pipiku mulai panas lagi.

Sore harinya...

Setelah kerjaan selesai, aku duduk di pantry sambil nyeruput kopi sachet. Di luar jendela, matahari mulai turun. Tapi pikiranku masih ngelayang-layang ke rumah besar di ujung kota.

Ke wajah Arifbol.

Ke senyumannya yang polos.

Ke caranya bilang “Jangan bohong ya, nanti Allah kasih rasa di dada.”

Aku nyeletuk sendiri pelan,

> “Mas Arifbol… kamu ini aneh, tapi kok ya… gampang banget bikin orang kangen.”

Siang itu kantor lumayan riuh. Anak-anak divisi marketing pada rebutan dispenser karena air galonnya baru diganti. Aku yang duduk di meja kecil deket jendela cuma bisa geleng-geleng sambil ngetik laporan.

Tapi jujur, pikiranku nggak fokus sama sekali.

Sudah hampir tiga jam, aku masih aja keinget obrolan di mobil tadi pagi sama Pak Samingan. Tentang masa kecil Arifbol. Tentang Bu Wiji yang sabar banget. Tentang semua hal yang bikin dadaku tiba-tiba hangat dan... nyesek bareng.

Aku lirik tas kecilku — balon merah masih ada di dalamnya, aku simpan baik-baik.

“Ra, ra, kok kamu senyum-senyum sendiri?” suara Mimin, temen sekantor, nyentak aku.

Aku langsung pura-pura batuk. “Eh, ndak… ini aku inget jokes kemarin, hahaha…”

“Jokes opo? Jangan-jangan kamu lagi mikirin anak bos, ya?”

Aku hampir nyembur kopi. “Astaghfirullah, Mimin! Ngawur ae!”

Mimin cengengesan. “Lho, mukamu aja merah kayak cabe rawit.”

Aku pura-pura cuek, lanjut ngetik, tapi tangan malah salah pencet tombol delete. Layar langsung kosong.

“Yaa Allah, ilang kabeh laporanku!”

“Pantes, fokusmu bukan ke komputer, tapi ke anak bos!” kata Mimin sambil ngakak.

Jam makan siang tiba. Semua pegawai rame ke kantin belakang. Aku milih duduk agak pojok, deket jendela yang bisa lihat taman kecil.

Pas lagi nyuap nasi, Pak Suro, sopir kantor, ikut duduk di meja sebelah. Orangnya ramah tapi jarang ngomong kecuali kalau topiknya menarik.

“Lho, Mbak Rara makan sendirian?”

“Iya, Pak. Biar tenang.”

Pak Suro ketawa kecil. “Tenang, tapi wajahmu kok kayak habis mikirin utang.”

Aku ngakak. “Hehehe, ndak, Pak. Cuma mikir… soal anaknya Pak Samingan.”

Pak Suro ngelirik sebentar. “Mas Arifbol?”

Aku angguk. “Iya, Pak. Saya penasaran aja… nama ‘Arifbol’ itu asalnya dari mana, sih? Kok unik banget.”

Pak Suro langsung senyum, matanya kayak tahu banyak hal. “Wah, itu nama ada ceritane, Mbak.”

Aku langsung semangat. “Serius, Pak? Cerita dong!”

Pak Suro naruh sendoknya, terus mulai bicara pelan.

“Dulu, waktu Bu Wiji hamil, mereka sempat hampir kehilangan harapan. Kehamilannya lemah, sempat tiga kali hampir keguguran. Tapi Pak Samingan selalu bilang, ‘Kalau anak ini lahir, aku mau kasih nama yang artinya kebijaksanaan dan bola dunia.’”

Aku melotot. “Bola dunia? Maksudnya gimana, Pak?”

“Hahaha, iya, aneh to? Tapi begitu anaknya lahir, wajahnya bulat kayak bola, putih bersih. Jadinya dikasih nama Arifbol — gabungan dari ‘Arif’ (bijaksana) dan ‘bol’ dari kata ‘bola’. Katanya biar dunia selalu berputar tapi dia tetap bijak di tengahnya.”

Aku diem, senyum kecil.

“Lucu tapi dalam, ya, Pak.”

“Iya, tapi sayangnya pas dia umur sepuluh tahun, dunia dia malah berhenti berputar. Kejang pertamanya waktu lagi main bola di lapangan SD. Sejak itu, dia nggak pernah main bola lagi. Tapi anehnya, dia masih suka nyebut ‘bola’ tiap kali doa. Katanya, dia mau dunia terus muter biar orang-orang bahagia.”

Aku langsung nunduk. “Masya Allah…”

Dadaku rasanya nyeletup hangat campur sedih. Nama yang dulu kuanggap lucu ternyata punya cerita yang dalem banget.

Pak Suro lanjut, “Kalau kamu lihat Mas Arifbol senyum, itu senyum yang penuh perjuangan, Mbak. Banyak orang nggak tahu, tapi tiap kali dia selesai kambuh, dia selalu bilang ke ibunya, ‘Aku nggak apa-apa, Bu. Allah sayang aku, kan?’”

Aku menggigit bibir, ngerasa mataku agak panas.

“Iya, Pak… saya percaya, anak sebaik itu pasti disayang Allah.”

Pak Suro menatapku lama, lalu bilang pelan, “Mbak, jujur aja, dari pertama kamu kerja, Mas Arifbol itu kelihatan beda. Biasanya dia susah dekat sama orang baru, tapi waktu kamu datang, dia langsung ceria.”

Aku kaget. “Serius, Pak?”

“Iya. Sampai-sampai kemarin sore dia bilang ke saya, ‘Pak Suro, aku mau beliin balon banyak biar Mbak Rara nggak sedih di kantor.’”

Aku langsung ketawa kecil sambil nutup mulut. “Aduh, Mas Arifbol…”

“Makanya, kalau dia nelpon nanti, jangan cuek ya. Anak itu kalau sayang, sayangnya tulus banget.”

Sepulang makan, aku balik ke meja kerja tapi pikiranku udah nggak di layar laptop lagi.

Di benakku cuma ada suara Pak Suro, cerita Bu Wiji, dan senyum polos Arifbol yang selalu bilang, “Allah kasih rasa di dada.”

Aku buka tas kecil, keluarkan balon merah itu.

Kupencet pelan ujungnya, terus aku bisikkan,

“Mas Arifbol… makasih ya. Ternyata namamu nggak cuma unik, tapi juga penuh makna. Semoga dunia kamu terus muter dengan bahagia.”

Dan untuk pertama kalinya sejak kerja di NGANJUK SEJAHTERA GROUP, aku sadar — ada sesuatu di hatiku yang pelan-pelan tumbuh, tanpa aku minta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!