Lyora melangkah ringan ke pojok ruangan, langkah kakinya hampir tanpa suara di atas marmer dingin. Mata Apollo mengikutinya tanpa sadar, seolah magnet dalam dirinya tak memberi pilihan lain.
Wanita itu berhenti di tepi meja panjang, lalu dengan gerakan seenaknya naik ke atas permukaan kayu mengkilap yang dipoles rapi. “Apa yang kau lakukan?” suara Apollo terdengar tajam, tapi alisnya sedikit berkerut, campuran antara kesal dan heran.
Lyora duduk di sana, kakinya menjuntai, lalu menatap Apollo dengan sorot mata yang terlalu jujur untuk dunia yang kelam. “Aku akan menunggu mu sampai selesai.”Jawaban sederhana.
Namun justru membuat dada Apollo bergejolak.Ia hendak kembali menunduk pada peta, mencoba mengabaikan kehadiran istrinya. Namun sebelum ia sempat menggoreskan pensil di atas garis jalur, suara kecil itu terdengar lagi.
Haaah.
Lyora menguap lebar, tanpa malu sedikit pun. Bahu nya terangkat, lalu ia mengusap mata nya dengan punggung tangan, seperti anak kecil yang ngantuk.
Apollo mematung. Ia ingin memarahi Lyora , ingin mengatakan bahwa ruang kerjanya bukan tempat tidur. Namun lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap. Wanita itu menggeliat sebentar, lalu membaringkan tubuh mungil nya di atas meja panjang itu. Rambutnya terurai, mengalir di permu kaan kayu yang licin. Jemarinya memainkan kertas-kertas peta, lalu berhenti begitu saja.
“Kalau kau tidak selesai cepat ” gumam Lyora, mata nya sudah setengah terpejam, “ aku akan tertidur di sini.”
Apollo menutup mata, menghembuskan napas berat. “Bodoh,” desisnya. Namun langkah kakinya justru membawanya mendekat. Ia berhenti tepat di samping meja, menunduk menatap wajah Lyora yang mulai diliputi kantuk.
Betapa beraninya wanita ini bisa tidur begitu saja di sarang iblis, di ruangan tempat rencana kematian disusun, seakan dunia tidak punya taring untuk menggigitnya. “Lyora…” suaranya lirih, hanya keluar ketika ia yakin tak ada orang lain yang mendengar. “Kau pikir aku bisa berkonsentrasi kalau kau berbaring di sini?”
Wanita itu membuka sebelah mata, tersenyum samar. “Itu masalahmu, bukan masalahku.”
Apollo menggeram pelan. Tangannya terangkat, hendak menyingkirkan kertas- kertas yang berserakan di dekat tubuh Lyora, khawatir sobek atau rusak.Tapi sebenarnya,ia hanya ingin membuat lebih banyak ruang untuknya. “Kau ini .” suaranya tertahan, setengah marah, setengah putus asa. “membuatku tidak waras.”
Lyora memejamkan mata lagi, suara kantuknya terdengar manja. “Baguslah. Berarti aku berhasil.”
Apollo berdiri kaku. Jarang sekali ia kehilang an kata-kata. Dunia mengenalnya sebagai pria yang selalu punya jawaban, selalu punya ancaman, selalu tahu langkah berikut nya.
Tapi di depan Lyora, semua keangkuhannya runtuh, tersisa hanya seorang pria yang tidak tahu bagai mana cara menolak.
Waktu berjalan. Jarum jam berdetak pelan. Apollo mencoba kembali menunduk pada peta, menoreh kan garis jalur baru. Namun setiap kali matanya jatuh pada dokumen, pikirannya kembali pada sosok yang tertidur hanya beberapa meter darinya.
Kepalanya menoleh tanpa sadar. Ia melihat Lyora meringkuk sedikit, kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nafasnya teratur, wajahnya tenang.
Apollo mendekat lagi. Tangannya terulur, hampir menyentuh wajah itu , wajah yang selalu datang dalam mimpinya, wajah yang lebih berbahaya dari senjata mana pun.Namun ia berhenti di udara, tidak berani melanjut kan
.“Jika musuhku mengetahui keberadaanmu ” gumamnya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “ mereka akan menjadikanmu kelemahanku. Dan itu akan membunuhku.”
Namun Lyora tidak mendengar. Ia sudah tertidur, tubuh mungilnya terlelap di meja mafia paling berbahaya di negeri itu. Apollo menghela napas. Tangannya turun, kali ini benar-benar menyentuh wajahnya. Jemarinya menyusuri garis pipi lembut itu, sangat hati-hati, seperti menyentuh barang pecah belah paling rapuh.
“Dan aku terlalu bodoh untuk melepaskanmu.”
Ucap Apollo.
Lyora bergumam dalam tidurnya, suara kecil tak jelas, lalu tersenyum samar. Senyum dalam mimpi. Itu menghantam Apollo lebih keras daripada peluru. Apollo meraih jas hitamnya, lalu melepasnya.
Perlahan, ia selimuti tubuh Lyora dengan kain itu, menutupinya dari dingin. Setelah itu, ia kembali duduk, mencoba lagi menatap peta.
Namun kini, garis merah dan jalur hitam di atas kertas hanya terlihat seperti coretan tak berarti. Karena satu-satunya peta yang benar-benar membingungkannya kini sedang tertidur di mejanya sendiri.
...****************...
Apollo menyingkap tirai jendela kaca besar itu, membiarkan cahaya bulan jatuh ke wajah nya. Ia melepaskan kacamatanya, menaruh nya di tepi bingkai. Pandangannya kembali, lurus ke arah Lyora yang kini tertidur pulas di atas meja panjang. Napas nya teratur, sesekali bergumam kecil, seperti bayi.
Namun yang menghantam ingatan Apollo bukanlah bayangan malam ini, melainkan hari di mana segala nya dimulai.
# Kilas balik Satu tahun lalu.#
Pintu aula utama Dragunov Mansion terbuka lebar. Dan masuklah Elira Dragunov, wanita tua yang tak pernah mengenal kata lemah. Namun alih-alih membawa senjata atau laporan baru, ia membawa sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Seorang gadis.
Apollo berdiri kaku kala melihatnya. Gadis itu tampak polos, bahkan konyol, dengan rambut berantakan yang diikat seadanya dan sebuah boneka kelinci lusuh di pelukannya.
Mata Lyora membulat penuh kepolosan , lalu tersenyum. Senyum yang terlalu jernih untuk dinding penuh darah di sekitarnya.
Ia mengulurkan tangan pada Apollo, seolah memperkenalkan diri di taman kanak- kanak.
Apollo hanya menatap. Tatapannya tajam, dingin, penuh ancaman. Tidak ada keinginan untuk menyentuh tangan itu. Ia bahkan merasa ingin membunuh, hanya karena gadis ini begitu berani menodai wilayahnya dengan kepolosan.“ Nenek ” desisnya ke neneknya, “apa maksud semua ini?”
Tapi Elira hanya menepuk bahu cucunya. Suaranya datar, namun penuh keputusan. “Dia akan menjadi istrimu. Aku sudah mengenal nya dengan sangat baik.”
Apollo memutar mata, menahan amarah. Istri?. Gadis idiot ini?! .Namun sebelum ia bisa melempar kan protes, sesuatu terjadi.
Lyora mencondongkan tubuhnya, memperhati kan dada Apollo, lalu tanpa peringatan meraih lencana berbentuk perak yang tersemat di jas hitamnya.
Apollo langsung menggeram. Rahangnya mengeras, matanya berkilat. “Kembalikan!” Ia mengulurkan tangan, gerakan tegas penuh perintah. Semua orang di ruangan itu tahu: tak ada yang boleh menyentuh lencana itu. simbol kehormatannya, simbol darah Dragunov.
Namun Lyora hanya mengedip, seolah tak paham betapa seriusnya hal itu. Dan dengan polosnya, ia mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Sebuah permen lolipop, masih basah, denga warna pink mencolok.
Ia menaruhnya begitu saja di telapak tangan Apollo.“Sebagai gantinya,” katanya ringan.
Eliot dan Johan, yang berdiri di sudut ruangan, melotot tak percaya. Mereka nyaris tersedak napas sendiri, melihat seorang gadis asing berani melakukan hal yang… gila.
Apollo menatap lolipop itu, wajahnya gelap, penuh penghinaan. Tanpa ragu, ia melempar benda manis itu ke lantai marmer. “Cukup !.”
Tangannya bergerak cepat, mencabut pistol hitam dari balik sabuknya. Senjata itu terarah lurus pada kepala Lyora. Suasana hening, mencekam. Eliot bahkan sempat melangkah maju, khawatir darah akan tercecer di ruangan itu.
Namun, Lyora hanya menatap moncong pistol itu dengan rasa penasaran. Bibirnya mengerucut, lalu ia menyentuh ujung senjata dingin itu dengan jarinya.
“Apa ini?” tanyanya, seolah benar-benar tak tahu. “Hei kau juga main pistol air? Aku juga punya.”
Dan sebelum siapa pun bisa mencegah, ia merogoh tas selempangnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah pistol plastik berwarna cerah, lengkap dengan stiker bintang.
Apollo terpaku. Ia belum pernah merasa dihina dengan cara seabsurd ini. Neneknya hanya tersenyum samar. Eliot dan Johan menahan napas, menunggu ledakan amarah Apollo. Naga mafia itu menekan pelatuk setengah jalan.
Jemarinya kaku, siap meledakkan kepala polos di depannya. Napasnya teratur, dingin, seakan nyawa gadis itu hanya bagian dari target yang harus disingkirkan.
Namun saat bunyi “klik” terdengar, sebuah tangan tua menahan lengannya. “Nenek —” rahangnya mengeras, suara Apollo rendah penuh ancaman.
Neneknya mendekat, menempelkan bibirnya ke telinga sang cucu. Bisikan yang hanya ia dengar, tapi cukup untuk merobohkan niat membunuh itu.“Dia cucu pria yang menyelam atkan nyawamu di Siberia. Berbaik hatilah sedikit, Axel ”
Detik itu juga, pupil Apollo mengecil. Sebuah memori menyergap ingatannya. dinginnya badai, peluru bersiul, tubuhnya nyaris terkubur salju. Dan seorang pria tua datang dan rela menentang maut demi menyeretnya kembali ke kehidupan.
Elira menarik napas panjang, matanya tak pernah lepas dari wajah Apollo yang dipenuhi murka. “Dia memang sedikit konyol,” lanjutnya lirih. “Tapi kau akan tahu sendiri apa yang kusembunyikan di balik kekonyolannya.”
Apollo menatap Lyora, masih dengan pistol yang menempel di kening gadis itu. Tapi alih-alih ketakutan, Lyora justru menyeringai kecil, lalu mengangkat pistol mainannya ke arah Apollo, menirukan gerakan nya.
Bang! . suara plastik menggema, tak sebanding dengan bahaya nyata yang mengancam.
Eliot terbelalak . Johan memijit kening, tidak percaya gadis ini benar-benar berani. Apollo menarik napas panjang, menurunkan pistol nya dengan gerakan kasar.
Bukan karena rasa kasihan. Bukan pula karena kata-kata neneknya sepenuhnya meluluhkan.Hanya karena ia tahu. hutang darah tidak bisa diabaikan.
Lyora masih tersenyum, seakan baru saja memenangkan permainan. Ia menepuk boneka kelincinya, lalu menoleh ke Elira“Dia galak sekali, Nek. Tapi aku suka matanya. Seram, tapi indah.”
Kata-kata polos itu membuat ruangan makin dingin. Johan nyaris tersedak, sementara Eliot berbisik lirih, “Ini akan jadi bencana.”
Apollo menaruh pistolnya kembali ke sarung, wajah nya tetap gelap. Ia membalikkan badan, tak mau melihat lagi.“Jangan harap aku menerima ini begitu saja,” gumamnya, hampir seperti ancaman.
Namun jauh di dalam, sebuah bisikan lain muncul.Gadis konyol ini Cucu dari pria di siberia itu, dan aku? .Terjebak dalam permainan ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
2025-10-21
1