Ke Pesantren

Sesuai yang sudah direncanakan ayah dan omnya, kini mereka tengah bersiap untuk peri ke pesantren setelah subuh ini.

“Sudah siap Cila?”

“Hem, siap ga siap juga sama aja kan!” Jawabnya ketus.

“Cilaaaa, jangan bicara ketus gitu sama ayah kamu.”

Cila berdecak kesal, “Ck, Om ini mendingan cari istri gih biar om ada temannya, jangan ngintilin Cila terus.”

“Cila yakin? Kan Cuma sama om aja Cila bisa minta coklat sepuasnya.”

“Hah palingan Om omdo doang kan?” Arsyila melengos.

“Loh beneran, ini mau gak?” Angga menunjukkan coklatnya seketika membuat mata Arsyila berbinar. Arsyila langsung mengambil secepat kilat coklat itu sebelum omnya ini berubah pikiran. Bara hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingkah anak dan adik iparnya itu.

Setelah Arsyila memakan coklatnya, kini ia tertidur di belakang.

Setelah memakan waktu 3 jam dalam perjalanan kini mereka sampai di Pesantren Al-Kautsar. Pesantren ini berada di dekat perkampungan dan berada di bawah gunung kecil. Keadaan disana sangat sejuk, pemandangannya pun sangat bagus dan indah. Bagi siapapun akan merasa betah, tapi entah dengan Cila yang sudah terbiasa hidup di kota.

Pesantren ini mengingatkannya pada jaman ia mondok dulu. Ya, Bara pernah mondok disini saat ia Tsanawiyah sampai Aliyah. Setelah lulus ia kuliah di Jakarta dan meneruskan perusahaan yang dibangun orang tuanya.

“Akhirnya sampai juga. Saya sangat merindukan tempat ini.” Ucap Bara sambil menghirup udara segar.

Karena Arsyila masih tertidur jadi Bara dan Angga masuk ke wilayah pesantren untuk menyerahkan semua berkas-berkasnya. “Terimakasih Tuan, sudah percaya pada kami, semoga Arsyila bisa cepat beradaptasi di lingkungan pesantren ini dan bisa terus belajar dengan baik dan bisa mengamalkannya di kemudian hari.”

“Terimakasih atas doanya.”

“Silahkan, saya antar Tuan ke Ndalem.”

"Baik, terimakasih." Ucap Bara.

Bara dan Angga berjalan ke dalam, tidak begitu jauh. Kyai Abdul Hamid adalah pemilik pondok pesantren ini.

"Assalamu'alaikum." Ucap mereka secara bersamaan.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab seorang laki-laki dari dalam

Ceklek

"Bara ya? Masya Allah, akhirnya kamu main kesini lagi nak, ada keperluan apa? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Kyai Abdul Hamid. Kyai Abdul Hamid adalah gurunya saat ia mondok juga teman dari ayahnya Bara.

"Masya Allah, saya juga bisa bersilaturahmi lagi Kyai. Mohon maaf saya baru sempat kesini lagi."

"Gak masalah nak, saya tau kamu sibuk."

"Oh iya ini kenalin adik ipar saya namanya Angga. Dan Angga ini guru saya dulu juga teman almarhum papa saya."

Angga pun menyalami tangan Kyai Abdul Hamid. "Salam kenal Kyai, saya Angga."

"Iya nak, silahkan duduk dulu."

Baru saja Bara dan Angga duduk, ponsel Bara sudah berbunyi. Dilihat dari layar ponselnya ternyata putrinya yang memanggil pasti ia sudah bangun.

"Maaf Kyai, saya keluar dulu sebentar, ingin menjemput anak saya dulu. Dia tadi sedang tidur jadi saya tinggal sebentar kesini."

"Baiklah nak silahkan."

Bara cepat-cepat melangkahkan kakinya ke mobilnya. Ia takut putrinya akan merajuk. Dan benar saja saat ia membuka pintu mobil, putrinya sudah mengerucutkan bibirnya dan menangis.

"Maafin ayah, tadi ayah tinggal sebentar ke dalam, ayah gak tega bangunin kamu."

"Cila sebel sama ayah!"

"Iya maaf sayang. Ayo nak kita ke dalam temui Kyai dan Nyai disana."

Bara memegang tangan anaknya itu agar putrinya tidak lagi marah padanya. Namun segera Cila menepis tangan ayahnya.

"Jangan pegang tangan aku! Aku ngambek sama ayah!"

"Jangan dong nak, ini kan terakhir ayah ketemu kamu. Nanti ayah ketemu kamu lagi masih lama nak."

"Biarin, siapa suruh ayah suruh aku tinggal disini, wleeee."

Cila meledek ayahnya, Cila berlari mundur. Dan Brug!

Nah kan!

"Makanya Cila kamu jangan berlari seperti tadi. Ada yang sakit gak nak?"

"Gak! Aku kualat sama ayah nih. Huh hah huh." Cila mengelus pinggangnya yang terasa sakit tadi karena jatuhnya seperti duduk.

"Makanya lain kali Cila harus hati-hati, jangan ceroboh terus nak."

Akhirnya mereka pun sudah di luar ndalem dan langsung mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Jawab Kyai Abdul Hamid dan Ummi Inayah yang baru saja datang.

"Masuk nak."

"Terimakasih Umi."

"Masya Allah cantik banget kamu nak. Siapa namanya?" Pandangan Umi Inayah langsung tertuju kepada Arsyila yang menurutnya sangat cantik dan menggemaskan.

"Arsyila Nura Nayyara." Jawab Cila.

"Salim Cila." Angga menyenggol lengan Cila.

Arsyila pun menyalami Umi Inayah dan saat ingin menyalim Kyai Abdul Hamid, Kyai langsung menakupkan kedua tangannya di dada.

"Ayah, kok aku mau salim malah di gituin?"

"Astaghfirullah nak. Jangan bicara seperti itu."

Kyai Abdul Hamid mengerti mengapa Bara ingin putrinya itu belajar agama disini.

"Gapapa nak Bara, saya maklum."

Di sekolah Arsyila memang belajar agamanya namun ia tidak mengetahui jika perempuan dan laki-laki yang bukan mahram tidak boleh bersentuhan walaupun itu hanya sekedar salim. Di kota walaupun yang sudah berhijab tetap saja ada yang saling bersentuhan. Dan Arsyila menganggap itu hal yang biasa saja.

"Saya titip Arsyila disini ya Kyai."

"Baik Nak, kami semua akan menjaga dan mendidik Arsyila sebagaimana mestinya."

Lalu tatapan mereka beralih ke seorang wanita yang berpakaian gamis longgar dan jilbab panjang yang sedang melewati ruang tamu tersebut. "Oh iya kenalin ini nak Bara, putri kedua saya namanya Anindia Shafa."

"Nak, ini ada Bara dan putrinya yang bernama Arsyila. Arsyila juga akan belajar disini."

"Hai kak!" Sapa Arsyila.

"Ssstt, panggil Ning Anin."

"Kenapa harus gitu ayah?" Tanyanya dengan polos.

Bara bingung menjelaskan semuanya kepada putrinya ini. "Gapapa pak, senyamannya saja Arsyila panggil saya apa." Jawabnya dengan nada dan suara yang lembut.

"Dan ini ada adik ipar dari Bara namanya Angga."

Deg

Anin melirik sebentar ke arah laki-laki itu begitu juga dengan Angga yang dari tadi penasaran dengan wanita di depannya. Ia seperti mengenal wanita itu. Namun berbeda dengan Anin, ia tau siapa itu Angga, ia mengenalnya.

"Aku seperti pernah melihatnya dan kenapa aku jadi penasaran begini ya." Ucap Angga dalam hati.

"Kak Angga? Benarkah itu kak Angga?" Seru Anin dalam hati.

Bara merasa Angga dari tadi memperhatikan putri kedua dari Kyai Abdul Hamid. "Jaga pandangan kamu Angga." Bisik Bara di telinga Angga.

Angga sontak kaget lalu mengucap istighfar."

"Assalamu'alaikum." Ucap seorang laki-laki dari luar.

"Wa'alaikumussalam." Jawab semua orang yang berada di ruang tamu.

"Masya Allah banyak tamu ya Abah."

"Iya nak, kenalin ini Bara dan putrinya Arsyila serta Angga adalah adik ipar Bara. Bara adalah murid Abah waktu itu dan ayahnya dan ayah abah adalah teman sejak dulu. Putrinya akan menjadi santri disini."

"Kenalin nama saya, Alif Arsyad Ghazi."

"Iya gus."

Arsyila pun melirik Alif yang dari tadi hanya menunduk. Menurut Arsyila, Gus Alif sangatlah tampan, sebelas dua belas dengan kak Daffa. Melihat putrinya yang senyum sambil menatap Gus Alif langsung menyenggol lengan putrinya itu. "Nak, tidak boleh seperti itu. Kamu harus menjaga pandangan kamu!"

Sedangkan Arsyila hanya memutar bola matanya malas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!