Chapter 2: Serbet Bernoda Cokelat

Pintu otomatis Laboratorium Fisika Terapan Neo-Babel mendesis terbuka bahkan sebelum Ethan berhenti berlari. Dia melesat masuk, mengabaikan tatapan bingung dari beberapa peneliti pagi yang baru saja meletakkan mantel mereka.

Dia adalah komet yang terbakar menembus atmosfer pagi yang tenang.

"Aurora!" teriaknya saat pintu lab pribadinya terbuka.

"Ethan," suara A.I. itu terdengar, nadanya nyaris seperti teguran seorang ibu. "Detak jantungmu 135 BPM. Ini tidak sehat. Sensor biometrikmu menunjukkan kau belum tidur. Kau seharusnya berada di kapsul..."

"Lupakan biometrik!" Ethan berlari ke konsol utamanya, napasnya terengah-engah. "Buka simulasi 7.4. Hapus matriks penahanan. Kosongkan."

"Menghapus... tapi Ethan, data intinya..."

"Aku punya data intinya!" Dia membentangkan serbet kertas yang lecek itu dan menamparnya ke pemindai resolusi tinggi di mejanya. "Pindai ini! Resolusi penuh!"

Ada jeda 2.1 detik. Keheningan yang sarat akan keraguan digital.

"Ethan," kata Aurora, suaranya terdengar ragu—sebuah emulasi yang telah dia programkan bertahun-tahun lalu untuk menangani permintaan yang tidak logis. "Ini... serbet. Dengan noda glukosa, kafein, dan jejak... kacang."

"Itu adalah *jawabannya*," kata Ethan, matanya menari-nari di atas layar saat pemindaian muncul. "Abaikan residu organiknya. Analisis geometrinya. Lakukan dekonstruksi fraktal. Itu bukan seni. Itu matematika."

Dia menunjuk ke pola di layar. "Kau salah. Aku salah. Kita semua salah. Kita mencoba membangun sangkar. Kakekku... dia tahu. Ini adalah lensa."

Hening sejenak.

"Memproses," kata Aurora. "Geometri fraktal non-linear. Ini... rumit. Data dari manuskrip yang kau berikan padaku tidak lengkap."

"Lengkapi!" Ethan menarik kursi dan duduk, tubuhnya bergetar karena adrenalin dan kelelahan. "Ekstrapolasi polanya. Gunakan logika kuantummu. Kau melihatnya sebagai permukaan dua dimensi, Aurora. Itu salah. Lihat lekukannya. Setiap segi adalah prisma mikro. Tiga dimensi. Bahkan mungkin empat."

Dan kemudian, pekerjaan itu dimulai.

Layar-layar di sekitar Ethan menyala. Di satu sisi, gambar serbet itu. Di sisi lain, cetak biru Dyson Sphere yang gagal. Di tengah, sebuah kanvas kosong di mana Aurora mulai membangun model matematika baru.

Ini adalah tarian mereka. Tarian yang hanya mereka berdua yang tahu langkahnya.

"Tidak, Aurora," kata Ethan, menunjuk ke sebuah baris kode. "Algoritma itu terlalu kaku. Kau mencoba memaksanya. Biarkan dia mengalir. Seperti... seperti air yang mencari celah."

"Air tidak 'mencari', Ethan. Air menuruti gravitasi," balas A.I. itu.

"Kalau begitu, ini adalah gravitasinya!" Ethan mengetik dengan cepat, mengganti seluruh blok persamaan dengan sesuatu yang lebih mirip formula teoritis dari musik.

"Itu puitis," kata Aurora, "tapi secara matematis tidak sehat."

"Buat dia sehat," geram Ethan.

Matahari terbit di luar jendela, membanjiri laboratorium dengan cahaya pagi yang tajam. Ethan tidak menyadarinya. Peneliti lain mulai berdatangan.

Mereka berjalan melewati pintu kaca lab Ethan, melirik ke dalam, melihat sang jenius Tier-S itu dalam mode "penciptaan"—rambutnya acak-acakan, matanya terpaku pada layar, bergumam pada A.I.-nya. Mereka tidak berani mengganggu. Mereka hanya berbisik-bisik di pendingin air.

Jam berganti jam. Cangkir cokelat panas baru muncul di mejanya, dibawa oleh drone layanan, lalu mendingin, tak tersentuh.

Waktu menunjukkan pukul 09:00 pagi. Hari kerja resmi telah dimulai.

"Model selesai," kata Aurora. "Arsitektur Lensa Fraktal, Sim 7.5. Siap dijalankan."

"Jalankan," bisik Ethan.

Dia menahan napas. Hologram di tengah ruangan berkedip. Model Dyson Sphere yang baru, berdasarkan serbet itu, muncul. Kali ini, ia tidak berwarna emas yang sakit-sakitan.

Ia bersinar dengan cahaya putih yang stabil, murni, dan membutakan.

"Penahanan plasma... stabil," kata Aurora. "Keluaran energi... 90%... 95%..."

Ethan tersenyum lebar. Dia berhasil.

"Sembilan puluh sembilan persen," lanjut Aurora. "Semua sistem normal. Tidak ada kebocoran energi. Stabilitas penuh pada... Tiga puluh detik."

Dan kemudian itu terjadi.

Sebuah kedipan kecil. Satu segi heksagonal di kutub utara berkedip merah.

"Anomali terdeteksi," kata Aurora, suaranya datar.

"Tidak...," bisik Ethan.

Segi merah itu menyebar seperti virus. Merah. Merah. Merah. Seluruh hologram bergetar hebat.

"Peringatan!" seru Aurora. "Harmonik umpan balik yang tidak terkendali! Penahanan... gagal!"

Dengan suara robekan digital yang mengerikan, hologram putih cemerlang itu runtuh menjadi badai statis merah, lalu lenyap.

Keheningan total memenuhi laboratorium.

Ethan menatap ruang kosong tempat mimpinya baru saja mati.

"Simulasi 7.5," kata Aurora pelan, "gagal. Keruntuhan energi kaskade. Waktu stabilitas: 34.7 detik."

Ethan tidak bergerak. Dia hanya menatap. Dia begitu yakin. Dia mempertaruhkan segalanya pada satu momen "Eureka" itu. Dan itu gagal.

"Jalankan lagi," katanya, suaranya serak.

"Ethan, hasilnya akan sama..."

"JALANKAN LAGI!"

Aurora menjalankan simulasi itu lagi. Hologram putih menyala. Stabil. Indah. Dan tepat pada 34.7 detik, ia runtuh lagi.

"Sial!" Ethan menghantamkan tinjunya ke meja. "Kenapa? Kenapa gagal?"

"Itu adalah pertanyaan yang bagus, Peneliti Pradana."

Suara itu datang dari pintu. Suara yang tajam, menghakimi, dan terlalu bersih.

Ethan menoleh. Berdiri di pintu labnya yang terbuka, sambil memegang data-pad, adalah **Dr. Julian Frost**.

Frost adalah antitesis Ethan dalam segala hal. Jika Ethan adalah kekacauan intuitif, Frost adalah ketertiban yang kaku.

Rambut pirangnya yang dipotong sempurna, setelan abu-abu mahal yang pas di badan (bahkan di lab), dan tatapan mata biru pucatnya yang selalu terlihat seolah sedang mengoreksi kesalahan matematika seseorang.

Skor IQ-nya 190—sebuah angka yang brilian bagi siapa pun, tetapi sebuah penghinaan baginya karena itu 90 poin di bawah Ethan.

"Bermain dengan 'sihir' lagi, Pradana?" kata Frost, nadanya kering. Dia berjalan masuk tanpa diundang, matanya melirik ke meja Ethan. "Serbet? Sungguh? Itu sumber datamu?"

"Dr. Frost," kata Ethan, suaranya datar. Dia berusaha mengendalikan dirinya. "Ini model teoretis yang sedang saya kerjakan."

"Model yang gagal," Frost mengoreksi. "Dua kali, jika catatanku benar. Aku melihatnya dari observatorium."

Dia mengetuk data-padnya. "Arsitektur Lensa Fraktal. Indah. Puitis. Dan, seperti yang sudah kuprediksi, sangat tidak stabil. Kau menciptakan putaran umpan balik harmonik, Pradana. Fisika dasar. Kau memfokuskan energinya begitu sempurna hingga ia menghancurkan dirinya sendiri. Itu adalah bom, bukan reaktor."

"Itu stabil selama 34 detik," kata Ethan, nadanya defensif. "Model lama bahkan tidak bisa stabil selama satu nano-detik."

"Tiga puluh empat detik kegagalan *adalah* kegagalan," balas Frost tajam. "Itu tidak praktis. Itu tidak bisa diandalkan. Itu hanya pertunjukan kembang api yang mahal."

Frost berjalan mendekat, tatapannya meremehkan. "Sementara kau mengejar dongeng dari manuskrip kuno... timku"—dia menekankan kata 'timku'—"mencapai peningkatan efisiensi 0.5% pada model penahanan standar. Itu *nyata*. Itu bisa diverifikasi. Itu adalah sains, Pradana. Sesuatu yang seharusnya kau coba suatu saat nanti."

Wajah Ethan mengeras. "Sainsku berhasil."

"Benarkah?" Frost tertawa kecil. "Kalau begitu, aku tidak sabar menunggu presentasimu di depan Profesor Thorne. Aku yakin dia akan sangat terkesan dengan 'Sains Serbet'-mu."

Frost berbalik. "Omong-omong, Profesor ingin menemuimu. Sekarang."

Dia berjalan keluar, meninggalkan Ethan dalam keheningan yang lebih dingin dari sebelumnya.

Ethan menatap hologram yang gagal itu. Dia merasa dipermalukan. Dia tahu dia ada di jalur yang benar. Tiga puluh empat detik itu adalah keajaiban. Itu *mustahil*. Itu berarti dia hanya melewatkan satu variabel...

Tapi Frost benar. Di dunia ini, keajaiban yang gagal tetaplah kegagalan.

Dia bangkit dari kursinya. Dia mengabaikan serbet itu, membiarkannya tergeletak di pemindai seperti sampah.

Dia berjalan keluar dari labnya, menuju kantor administrator, merasa seperti anak kecil yang dipanggil ke kantor kepala sekolah.

Dia harus menemui Profesor Thorne.

Perjalanan dari laboratorium pribadi Ethan di Zona-S ke Sarang Administrator adalah perjalanan antar dunia.

Dia meninggalkan dunianya—dunia kekacauan kreatif, kabel, dan cokelat panas—dan memasuki dunia yang berbeda. Di sini, karpetnya tebal, menelan suara langkah kakinya. Udaranya lebih dingin.

Dindingnya tidak dilapisi papan data, melainkan karya seni modern yang disetujui perusahaan—lukisan-lukisan abstrak geometris yang mahal dan tidak berjiwa.

Tidak ada yang berlari. Para peneliti dan administrator yang berjalan di sini bergerak dengan tujuan yang pelan dan terukur, berbicara dalam bisikan yang sopan. Ini adalah dunia **Profesor Aris Thorne**.

Kantor Thorne berada di sudut, satu-satunya di lantai itu yang memiliki jendela asli yang menghadap ke taman di bawah, bukan hanya pemandangan kota. Pintu kayunya yang berat (bukan pintu geser otomatis) tertutup.

Ethan menarik napas, mencoba menenangkan detak jantungnya. Dia sudah lelah berdebat dengan Julian Frost. Sekarang dia harus berdebat dengan atasannya.

Dia mengetuk.

"Masuk."

Ethan mendorong pintu itu terbuka. Ruangan itu besar dan sempurna. Tidak ada satu pun data-pad yang salah tempat.

Rak-rak buku berisi buku-buku fisik yang dijilid kulit—bukan untuk dibaca, tapi untuk dipamerkan. Di belakang meja kayu mahoni yang besar, duduklah Profesor Aris Thorne.

Thorne berusia enam puluhan, dengan rambut perak yang disisir rapi dan mata abu-abu tajam yang seolah sedang menghitung anggaran bahkan saat dia tersenyum.

Dia mengenakan rompi rajut di balik jas labnya, sebuah sentuhan akademis kuno. Dialah yang menemukan Ethan—menariknya dari akademi setelah Ethan mempublikasikan makalahnya tentang fusi dingin pada usia 17 tahun. Thorne telah menjadi mentornya, pelindungnya.

Dan sekarang, secara teknis, Ethan adalah atasannya. Sebuah fakta yang tidak pernah dilupakan oleh mereka berdua.

"Ethan," kata Thorne, mengangkat kepalanya. Dia tidak tersenyum. Dia menunjuk ke kursi di seberang mejanya. "Duduk."

Ethan duduk.

Thorne mengatupkan jari-jarinya. "Aku baru saja mendapat laporan lengkap dari Dr. Frost. Dan juga data dari Sim 7.5-mu."

Dia menatap Ethan. "Apa yang harus kukatakan padamu, Nak?"

"Profesor," Ethan memulai, mencondongkan tubuh ke depan. "Saya tahu itu gagal. Tapi 34 detik itu! Itu mustahil! Model lama bahkan tidak bisa..."

"Aku tidak tertarik pada kegagalan yang mustahil, Ethan!" Suara Thorne memotong tajam, nadanya tidak lagi kebapakan. Itu adalah nada seorang administrator yang marah. "Aku tertarik pada hasil.

Senator Rostova meneleponku setiap pagi, menanyakan kemajuan. Dewan mengawasiku, menanyakan anggaran. Dan apa yang harus kuberikan pada mereka? Bahwa Peneliti Kepala-ku, si jenius Tier-S, menghabiskan 72 jam tanpa tidur untuk mengejar teori berdasarkan... coretan di serbet?"

Thorne bersandar di kursinya, memijat pangkal hidungnya. Dia tampak benar-benar lelah. "Kau membuatku terlihat bodoh, Ethan. Lebih buruk lagi, kau membuatku terlihat tidak kompeten."

"Tapi saya di jalur yang benar," kata Ethan pelan, menolak untuk menyerah. "Saya hanya butuh lebih banyak waktu. Jika saya bisa..."

"Waktu?" Thorne tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor. "Waktu adalah satu-satunya hal yang tidak kita miliki. Proyek ini sudah terlambat satu tahun dari jadwal. Dan terobosan 0.5% dari tim Dr. Frost adalah satu-satunya kemajuan nyata yang kita miliki dalam enam bulan."

Ethan merasa darahnya mendingin. "Apa yang Profesor katakan?"

Thorne menatap lurus ke arah Ethan, matanya sekeras baja. "Aku katakan, ini sudah selesai. Proyek 'Lensa Fraktal'-mu secara resmi ditangguhkan."

"Apa? Tidak!" Ethan berdiri. "Anda tidak bisa melakukan itu! Itu jawabannya!"

"Itu adalah kegagalan yang boros!" balas Thorne, suaranya naik. "Dan aku tidak akan mempertaruhkan seluruh proyek ini—karierku, kariermu—demi intuisi mistismu! Ini adalah perintah resmi, Peneliti Pradana. Kau dilarang membuang-buang waktu lab, sumber daya, atau kredit komputasi lagi untuk Arsitektur Lensa Fraktal. Mengerti?"

Ethan menatapnya, tertegun. Dia tidak pernah dibentak seperti ini oleh Thorne.

"Apa yang harus saya kerjakan?" bisiknya, merasa dikalahkan.

Thorne mengambil data-pad dan menggesernya ke seberang meja. "Mulai besok pagi, kau akan bergabung dengan tim Dr. Frost. Kau akan membantu mereka mengimplementasikan optimalisasi 0.5% itu ke dalam sistem utama."

Dunia Ethan seakan miring. "Bergabung... dengan tim Frost? Maksud Anda... melapor padanya?"

"Dr. Frost adalah pemimpin tim pada proyek itu, ya," kata Thorne datar, menghindari tatapan Ethan. "Aku menempatkan aset terbaiku di tempat yang paling menjanjikan. Kau adalah aset terbaikku, Ethan. Pergi dan buatlah itu menjanjikan."

Itu adalah penghinaan tertinggi. Bukan hanya menghentikan proyeknya, tetapi memaksanya bekerja *di bawah* satu-satunya orang yang paling membencinya, mengerjakan proyek yang dia tahu adalah jalan buntu.

Ethan berdiri diam untuk waktu yang lama. Dia bisa merasakan darah berdebar di telinganya. Dia ingin berteriak. Dia ingin melempar kursi ke jendela.

Tapi dia hanya mengangguk.

"Baik, Profesor," katanya, suaranya hampa. "Seperti yang Anda katakan."

Dia berbalik dan berjalan keluar dari kantor yang rapi itu, menutup pintu kayu berat di belakangnya. Dia berjalan melewati koridor administrator, melewati Julian Frost yang berdiri di dekat pendingin air, yang memberinya senyuman tipis dan penuh kemenangan.

Ethan tidak memedulikannya. Dia terus berjalan.

Dia kembali ke lab pribadinya. Di dalam, Aurora telah mematikan hologram yang gagal itu. Ruangan itu gelap dan sunyi. Dia menjatuhkan diri ke kursinya, menatap layar yang kosong.

Dia telah dikalahkan.

Dia dikalahkan oleh politik, oleh hierarki, oleh ketakutan. Dia sendirian. Benar-benar sendirian.

Dia menatap mejanya yang berantakan. Di sana, di antara cangkir-cangkir kosong, ada sebuah bingkai foto digital kecil. Foto satu-satunya yang dia miliki, dari kotak yang diberikan Nate tiga tahun lalu. Foto seorang wanita Indonesia tersenyum, dengan mata yang sama sepertinya. Ratna Pradana.

Dia menatap foto ibunya. Dia memikirkan Maya yang batuk di kegelapan. Dia memikirkan wanita pembersih yang ketakutan di terminal.

Dia menatap layar yang gelap.

"Aurora," katanya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Ya, Ethan?"

"Profesor Thorne benar," kata Ethan. "Itu gagal."

"Secara teknis, ya," jawab A.I. itu. "Simulasi 7.5 runtuh karena umpan balik harmonik." Jeda sejenak. "Namun... data 34.7 detik itu. Itu adalah data paling menarik yang pernah saya proses. Secara statistik, itu seharusnya tidak terjadi. Itu anomali yang indah."

Ethan mengangkat kepalanya perlahan. Sebuah percikan api kecil menyala di matanya yang lelah. "Sebuah anomali yang indah..."

Dia tersenyum tipis. "Profesor Thorne menangguhkan proyek *resmi*ku."

"Benar," kata Aurora. "Semua sumber daya terkait telah ditandai 'dilarang' dalam sistem."

"Tapi dia tidak bilang apa-apa tentang hobi," kata Ethan.

Jeda 1.5 detik. "Saya tidak mengerti, Ethan."

Ethan mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya kini terpaku pada layar. "Aurora. Matikan semua koneksi eksternal ke laboratorium ini. Mulai pukul 22:00 malam ini, kita akan bekerja secara *offline*. Kita akan beralih ke daya cadangan internal dan menggunakan server pribadiku."

"Ethan," kata Aurora, "itu adalah pelanggaran berat terhadap protokol keamanan. Jika ketahuan..."

"Jika ketahuan, aku akan bilang kau yang melakukannya," canda Ethan datar.

"Itu tidak lucu."

"Aku tahu," kata Ethan, senyumnya memudar, digantikan oleh tekad yang dingin. "Mereka ingin aku mengerjakan optimalisasi 0.5%? Baik. Aku akan memberikannya pada mereka di siang hari. Tapi di malam hari... malam hari adalah milik kita."

Dia mengambil serbet bernoda cokelat itu dari pemindai, melipatnya dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam saku dadanya.

"Kita akan memecahkan masalah 34 detik itu, Aurora," katanya. "Meskipun harus membakarku sampai habis."

Episodes
1 Chapter 1: Angka 280
2 Chapter 2: Serbet Bernoda Cokelat
3 Chapter 3: Di Bawah Garis Nol
4 Chapter 4: Sains yang Sesungguhnya
5 Chapter 5: Di Bawah Garis Nol
6 Chapter 6: Jalan Ilegal
7 Chapter 7: Tiga Puluh Detik
8 Chapter 8: Frekuensi yang Hilang
9 Chapter 9: Anomali di Dalam Sampah
10 Chapter 10: S.O.S.
11 Chapter 11: Langkah Sang Senator
12 Chapter 12: Sang Perisai dan Sang Pedang
13 Chapter 13: Orang Hantu
14 Chapter 14: Rumah
15 Chapter 15: Di Bawah Hujan
16 Chapter 16: Pahlawan yang Enggan
17 Chapter 17: Permainan Para Dewa
18 Chapter 18: Gema Stockholm
19 Chapter 19: Di Balik Tirai Emas
20 Chapter 20: Nyanyian Matahari
21 Chapter 21: Permainan Para Dewa
22 Chapter 22: Logistik Sang Iblis
23 Chapter 23: Bisikan dari Pasir Merah
24 Chapter 24: Tanda Tangan Sang Direktur
25 Chapter 25: Gema di Menara Gading
26 Chapter 26: Badai Pertama
27 Chapter 27: Debu Merah di Tangan
28 Chapter 28: Makan Malam yang Dingin
29 Chapter 29: Video Berdarah
30 Chapter 30: Tiket Satu Arah ke Mars
31 Chapter 31: Api di Pasir Merah
32 Chapter 32: Kambing Hitam
33 Chapter 33: Gema Tragedi
34 Chapter 34: Badai Media Mengamuk
35 Chapter 35: Saudara Melawan Saudara
36 Chapter 36: Penangkapan Sang Pahlawan Jatuh
37 Chapter 37: Pengadilan Sandiwara Dimulai
38 Chapter 38: Palu Kelalaian
39 Chapter 39: Dosa Asal Lawrence
40 Chapter 40: Nol Mutlak
41 Chapter 41: Nol Derajat Kelvin
42 Chapter 42: Air & Roti di Kegelapan
43 Chapter 43: Bisikan Sang Arsitek
44 Chapter 44: Mengetuk Pintu Neraka
45 Chapter 45: Catur Dua Jenius
46 Chapter 46: Sangkar Emas Baru
47 Chapter 47: Gema di Dalam Sangkar
48 Chapter 48: Langkah Pertama Cyclone
49 Chapter 49: Cahaya Pertama dari Sampah
50 Chapter 50: Harga Sang Penyihir
51 Chapter 51: Sang Tukang Sihir dari Zona-D
52 Chapter 52: Percakapan di Keheningan
53 Chapter 53: Utang Semakin Dalam
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Chapter 1: Angka 280
2
Chapter 2: Serbet Bernoda Cokelat
3
Chapter 3: Di Bawah Garis Nol
4
Chapter 4: Sains yang Sesungguhnya
5
Chapter 5: Di Bawah Garis Nol
6
Chapter 6: Jalan Ilegal
7
Chapter 7: Tiga Puluh Detik
8
Chapter 8: Frekuensi yang Hilang
9
Chapter 9: Anomali di Dalam Sampah
10
Chapter 10: S.O.S.
11
Chapter 11: Langkah Sang Senator
12
Chapter 12: Sang Perisai dan Sang Pedang
13
Chapter 13: Orang Hantu
14
Chapter 14: Rumah
15
Chapter 15: Di Bawah Hujan
16
Chapter 16: Pahlawan yang Enggan
17
Chapter 17: Permainan Para Dewa
18
Chapter 18: Gema Stockholm
19
Chapter 19: Di Balik Tirai Emas
20
Chapter 20: Nyanyian Matahari
21
Chapter 21: Permainan Para Dewa
22
Chapter 22: Logistik Sang Iblis
23
Chapter 23: Bisikan dari Pasir Merah
24
Chapter 24: Tanda Tangan Sang Direktur
25
Chapter 25: Gema di Menara Gading
26
Chapter 26: Badai Pertama
27
Chapter 27: Debu Merah di Tangan
28
Chapter 28: Makan Malam yang Dingin
29
Chapter 29: Video Berdarah
30
Chapter 30: Tiket Satu Arah ke Mars
31
Chapter 31: Api di Pasir Merah
32
Chapter 32: Kambing Hitam
33
Chapter 33: Gema Tragedi
34
Chapter 34: Badai Media Mengamuk
35
Chapter 35: Saudara Melawan Saudara
36
Chapter 36: Penangkapan Sang Pahlawan Jatuh
37
Chapter 37: Pengadilan Sandiwara Dimulai
38
Chapter 38: Palu Kelalaian
39
Chapter 39: Dosa Asal Lawrence
40
Chapter 40: Nol Mutlak
41
Chapter 41: Nol Derajat Kelvin
42
Chapter 42: Air & Roti di Kegelapan
43
Chapter 43: Bisikan Sang Arsitek
44
Chapter 44: Mengetuk Pintu Neraka
45
Chapter 45: Catur Dua Jenius
46
Chapter 46: Sangkar Emas Baru
47
Chapter 47: Gema di Dalam Sangkar
48
Chapter 48: Langkah Pertama Cyclone
49
Chapter 49: Cahaya Pertama dari Sampah
50
Chapter 50: Harga Sang Penyihir
51
Chapter 51: Sang Tukang Sihir dari Zona-D
52
Chapter 52: Percakapan di Keheningan
53
Chapter 53: Utang Semakin Dalam

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!