Dela mulai sadar dari pingsannya ketika samar-samar terdengar suara ricuh dari luar. Suara banyak orang bercampur dengan teriakan membuat kepalanya berdenyut hebat. Begitu matanya terbuka, pandangannya buram sejenak. Ia menatap sekeliling, dan betapa terkejutnya ia dirinya kini berada di sebuah rumah kosong yang remang-remang, dan di sana ada banyak orang berkerumun dengan wajah-wajah murka.
“Hey! Kalian berdua jangan berbuat mesum di sini ya!” Bentak seorang ibu dengan suara melengking.
“Dasar anak muda zaman sekarang, mau begituan aja gak tau tempat!” Timpal yang lain sambil menunjuk ke arah Dela dan lelaki yang berdiri gugup di sampingnya.
“Tau aja udara sedang dingin malah cari yang anget-anget!” Ujar seorang bapak sambil mendengus.
“Udah, ayo kita arak aja mereka keliling kampung!” Seru warga lain, disambut gemuruh setuju dari yang lain.
Suasana semakin ricuh. Beberapa warga bahkan sudah menyalakan senter dan lampu petromaks, menyorot wajah Dela dan lelaki itu dengan tatapan menghakimi. Dela yang baru saja siuman memegang kepalanya, meringis menahan nyeri akibat benturan di jalan tadi.
“Ada apa ini? Kenapa ramai-ramai begini?” Tanya Dela dengan suara gemetar, matanya masih berusaha menyesuaikan dengan cahaya.
Sementara lelaki yang tadi menolongnya pemuda berjaket lusuh dengan wajah panik mencoba menjelaskan dengan tergesa.
“Semuanya tolong jangan salah paham dulu! Ini gak seperti yang kalian tuduhkan! Saya cuma...”
“Halah mana ada maling mau ngaku!” Potong salah satu warga, suaranya tinggi dan penuh emosi.
“Udah, ayo kita arak aja biar kapok!”
Dela menatap sekeliling dengan bingung dan takut. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi. Tubuhnya masih lemah, tapi jantungnya berdetak cepat. Ia bisa menangkap bahwa para warga salah paham dan menganggapnya melakukan hal yang tak senonoh.
Ternyata semua bermula dari seseorang yang melihat lelaki itu menggendong tubuhnya yang pingsan dan membawanya ke rumah kosong untuk berteduh dari hujan. Orang itu salah paham, lalu berkoar-koar ke warga bahwa ada sepasang muda-mudi berbuat mesum di lingkungan mereka. Tanpa berpikir panjang, para warga pun beramai-ramai melakukan penggerebekan.
“Kalian jangan main hakim sendiri! Kami gak ngapa-ngapain sumpah!” Ujar lelaki itu lagi, suaranya memohon.
“Tadi aku cuma gak sengaja nabrak gadis ini di jalan. Dia pingsan aku panik, dan karena hujan mau turun, aku bawa dia berteduh di sini! Aku cuma mau nolong!”
Namun penjelasan itu tak membuat warga percaya.
“Halah, alibinya bagus! Buktinya gadis ini kamu baringkan di kursi, pasti habis kamu apain!” Seru seorang pria dengan nada menuduh.
Dela menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang sudah menggenang di pelupuk mata.
“Ya Tuhan apa salahku sampai Engkau terus memberiku cobaan seberat ini?” Batinnya, suaranya hanya terdengar di hati. Ia baru saja kehilangan cinta, kini dituduh berbuat tak senonoh.
“Aku cuma ingin menenangkan diri tapi malah begini,” gumamnya lirih, menunduk dengan air mata yang jatuh satu-satu.
Situasi semakin memanas hingga akhirnya kabar keributan itu sampai juga ke telinga Pak RT. Dengan napas ngos-ngosan, lelaki paruh baya itu datang menenangkan warganya.
“Sudah, sudah! Tenang dulu semuanya!” Teriaknya sambil mengangkat tangan.
“Kita selesaikan baik-baik. Jangan main hakim sendiri!”
Setelah berbicara cukup lama, akhirnya para warga setuju tidak akan mengarak Dela dan lelaki itu. Tapi ada syarat yang membuat Dela ternganga tak percaya mereka berdua harus dinikahkan malam itu juga.
Sebagian warga mengenali Dela sebagai anak dari kampung sebelah. Maka mereka segera membawa Dela dan lelaki itu yang diketahui bernama Arsen pulang ke rumahnya untuk dinikahkan. Arsen yang bukan orang kampung situ hanya bisa pasrah. Dalam hati, ia berpikir lebih baik menikah dari pada diarak keliling kampung dan dipukuli massa. Ia sama sekali tidak tau bahwa rumah yang mereka tuju adalah rumah tempat Dela baru saja menyaksikan lamaran kekasihnya dengan adiknya sendiri.
Malam itu, rumah keluarga Dela masih ramai sisa acara lamaran. Tapi tiba-tiba, suasana berubah drastis ketika rombongan warga datang sambil menyeret Dela dan Arsen.
“Bu Rena! Ini nih anak gadis Ibu!” Teriak seorang warga.
“Bisa-bisanya berbuat mesum di rumah kosong!”
“Iya! Kami gak rela lingkungan kami dicemari oleh perbuatan tak senonoh mereka! Kalau dibiarkan, kami semua bisa kena apesnya!” Tambah yang lain dengan wajah penuh amarah.
Rena, ibu Dela yang baru saja membereskan baki kue lamaran langsung membeku di tempat. Tika dan Eka yang berdiri di sampingnya ikut terkejut, nyaris tak percaya dengan tuduhan yang mereka dengar.
“Ya ampun Dela...” Rena menatap putrinya dengan pandangan penuh amarah dan kecewa.
“Kamu ini bener-bener ya! Gak pernah bikin Ibu bangga, malah bikin malu! Dasar anak gak tau diri!”
PLAKKK!
Tamparan keras mendarat di pipi Dela. Kepalanya menoleh ke samping, air matanya langsung menetes deras.
“Bu... bukan begitu Bu. Dela gak...”
“Diam!” Potong Rena dengan suara lantang.
“Udah cukup Ibu dengar dari warga!”
Tika yang berdiri di samping malah tersenyum miring. “Ya ampun Mbak Dela. Apa sebegitu kebeletnya ingin nikah sampai rela begitu? Atau karena frustasi ya gara-gara Mas Reza lebih pilih aku?” Ujarnya sinis, dengan nada yang seolah simpati tapi menusuk tajam.
“Cukup Tika!” Seru Dela dengan suara serak.
“Ini semua gak seperti yang kalian pikir! Aku gak ngapa-ngapain sama sekali!”
Laki-laki di sebelahnya Arsen ikut maju satu langkah.
“Iya Tante, kami gak melakukan apa-apa. Ini cuma salah paham!”
Rena melirik tajam ke arah Arsen, lalu menatapnya dari atas sampai bawah.
“Oh jadi ini laki-lakinya? Ya ampun penampilannya aja kayak gembel begitu. Tapi ya cocok sih sama Dela!” Ejeknya sinis.
Dela menunduk dalam-dalam, merasa seluruh harga dirinya diinjak di depan semua orang.
“Ya sudahlah,” saut Eka, kakaknya. “Dari pada kamu jadi perawan tua, mending nikah aja sama dia. Cocok banget sama-sama gak punya masa depan.”
Suara tawanya terdengar menampar telinga Dela berkali-kali.
Di tengah keributan itu, seorang lelaki tua muncul dari dalam kamar dengan langkah tertatih. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, tapi matanya penuh kasih. Dialah Surya, ayah Dela, yang mendengar semua kekacauan dari dalam.
“Dela ada apa ini Nak?” Suaranya lemah tapi tegas.
Begitu melihat ayahnya, Dela langsung berlari memeluknya sambil menangis keras.
“Pak Dela bisa jelasin ini cuma salah paham Dela dituduh berbuat mesum, padahal Dela cuma ditolong waktu pingsan. Dela gak salah Pak tolong percaya sama Dela!”
Surya mengelus kepala putrinya dengan lembut. “Iya Nak Bapak percaya. Bapak tau kamu gak mungkin melakukan hal kayak gitu.” Suaranya tenang, meneduhkan. Tapi sayangnya, warga tetap tak percaya.
“Percuma Pak,” sela salah satu warga.
“Kalau gak dinikahkan, nanti malah jadi bahan omongan sekampung.”
Surya memandang Arsen, lalu menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sedih tapi pasrah. Ia tahu, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan nama baik anaknya di mata masyarakat yang keras menilai.
“Nak nama kamu siapa?” Tanya Surya pelan.
“Arsen Pak. Nama saya Arsen,” jawab pemuda itu dengan sopan.
“Saya bersumpah gak ngapa-ngapain anak Bapak. Saya cuma mau nolong.”
Surya menatapnya dalam-dalam.
“Bapak percaya sama kamu Arsen. Tapi orang-orang gak akan berhenti ngomong. Mungkin ini takdir menurut Bapak lebih baik kamu terima saja pernikahan ini. Siapa tau memang Dela jodohmu yang sudah Tuhan pilih.”
Arsen terdiam lama. Ia menatap wajah Dela yang masih berlinang air mata. Ada rasa iba di sana juga tanggung jawab yang tiba-tiba tumbuh. Ia tidak ingin gadis ini terus dihina dan dihakimi.
Sementara itu, Rena melirik sinis ke arah suaminya.
“Belain aja terus anak kesayanganmu itu!” Katanya ketus. “Dari dulu juga kamu buta sama tingkah Dela!”
Surya tidak menggubris. Ia justru menatap Dela dengan lembut.
“Nak dengerin Bapak. Arsen ini kelihatannya anak baik mungkin Tuhan memang ngatur semuanya begini supaya kamu dapat seseorang yang benar-benar tulus. Relakan Riki buat adikmu percaya sama Bapak ini jalan yang terbaik.”
Dela terdiam, dadanya sesak. Dalam hati, ia masih ragu dan takut.
“Tapi aku gak kenal dia Pak gimana kalau dia orang jahat?” Batinnya lirih.
Namun sebelum sempat ia menjawab, Arsen menatap ke arah Surya dan berkata dengan mantap, “Baiklah Pak. Saya bersedia menikah dengan putri Bapak malam ini.”
Semua warga bersorak puas, menganggap keadilan sudah ditegakkan. Surya mengangguk pelan, menepuk bahu Arsen dengan haru.
“Terima kasih Nak. Semoga keputusan ini membawa kebaikan buat kalian berdua.”
Malam itu juga, di bawah sinar lampu minyak dan tatapan warga kampung, Dela dan Arsen dinikahkan dengan Surya sebagai wali, serta beberapa warga sebagai saksi.
Dela menunduk sepanjang ijab kabul, matanya berkaca-kaca. Bukan karena bahagia, tapi karena nasibnya terasa seperti dipermainkan takdir.
Rena, Eka, dan Tika hanya berdiri di belakang, menatap dengan tatapan sinis penuh kepuasan.
“Cocok banget,” bisik Eka pelan pada Tika.
“Dela sama si gembel itu benar-benar jodoh dari dunia bawah.”
Tika terkekeh pelan. “Biarin aja akhirnya Mbak Dela punya laki-laki juga meski cuma sisa.”
Sementara itu, Dela hanya bisa menatap Arsen sekilas. Lelaki itu memang tampak sederhana, tapi di balik matanya yang tenang, ada ketulusan yang belum pernah ia lihat pada siapa pun.
Dan di balik kesalahpahaman malam itu tanpa disadari, awal dari kisah hidup baru mereka pun dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments