Tiga Hari Sebelum Kematian Ki Anom
Malam tidak lagi membawa istirahat bagi Haji Slamet. Pengusaha singkong paling kaya di desa itu kini terbaring tak berdaya di atas kasur mewahnya. Tubuhnya berkeringat deras meski kipas angin di langit-langit berputar dengan kecepatan penuh. Matanya terbelalak menatap langit-langit kamar, namun yang ia lihat bukanlah plafon triplek, melainkan seringai mengerikan Ki Anom.
"Tanah yang kau injak... air yang kau minum... semua milikku..."
Bisikan serak itu berdengung di telinganya, datang dari segala arah namun tak terdengar oleh orang lain. Istrinya, Hajjah Romlah, yang sedang mengompres dahinya dengan air doa dari Ustadz Badrul, hanya melihat bibir suaminya bergerak-gerak ketakutan.
Hajjah Romlah:
"Istighfar, Pak... Istighfar... Sebut nama Allah..."
Haji Slamet menggeleng panik. Jemarinya yang gemuk mencengkeram sprei dengan erat.
Haji Slamet:
(Terbata-bata)
"Dia di sini... di sudut kamar... dia tertawa... Matanya merah, Romlah... Merah!"
Hajjah Romlah menoleh ke sudut kamar yang kosong dan gelap. Bulu kuduknya meremang. Ia tak melihat apa-apa, tapi hawa dingin yang tiba-tiba menyergap ruangan itu terasa sangat nyata.
Kondisi serupa dialami dua calon lainnya. Pak Tirtayasa mengeluh punggungnya serasa dipukuli dengan palu besi setiap malam, sementara Mas Bowo, sang guru muda, mulai sering berteriak-teriak dalam tidurnya, menyebut nama Ki Anom berulang kali.
Kabar tentang kondisi para calon yang makin parah menyebar lebih cepat dari api membakar ilalang kering. Desa Sukawaringin kini diliputi awan paranoia. Warga mulai saling curiga, dan semua tatapan menuduh kini mengarah ke satu titik: gubuk tua di ujung desa.
Di pertigaan jalan utama desa, di depan pos ronda yang kini selalu ramai bahkan di siang hari, sekelompok warga berkumpul. Bahar, kepala tim sukses Haji Slamet yang terkenal bermulut besar dan gampang panas, berdiri di atas bangku kayu, berorasi dengan penuh semangat.
Bahar:
"Saudara-saudara! Mau sampai kapan kita diam?! Calon pemimpin kita dibuat tak berdaya oleh iblis tua itu! Ini bukan lagi soal Pilkades! Ini penghinaan bagi seluruh warga Sukawaringin!"
Juna, yang kebetulan lewat hendak pergi ke sawah, berhenti sejenak. Ia menyandarkan motornya di bawah pohon nangka, menonton drama itu dengan minat setengah geli.
Seorang Warga:
"Tapi mau bagaimana lagi, Bahar? Melawan Ki Anom sama saja cari mati!"
Bahar:
"Mati?! Kita ini sudah seperti mati! Dihantui rasa takut di desa sendiri! Apa kita mau dipimpin oleh dukun sinting itu? Dia pikir ini zaman kerajaan?! Kalau kita diam saja, besok-besok anak istri kita yang jadi korban!"
Kata-katanya membakar emosi warga yang sudah terlanjur kalut. Wajah-wajah yang tadinya ragu kini mulai mengeras.
Di seberang jalan, Juna bertemu dengan Ustadz Badrul yang baru saja keluar dari masjid. Wajah sang Ustadz tampak prihatin melihat kerumunan itu.
Juna:
"Lihat, Pak Ustadz. Kompornya sudah mulai dinyalakan. Sebentar lagi juga meledak."
Ustadz Badrul menghela napas panjang.
Ustadz Badrul:
"Fitnah dan amarah itu seperti api, Juna. Sekali menyala, yang terbakar bukan hanya yang bersalah, tapi semua yang ada di sekitarnya. Termasuk yang menyulut api itu sendiri."
Juna:
"Terus Pak Ustadz mau diam saja? Itu orang-orang sudah mau main hakim sendiri."
Ustadz Badrul:
"Saya sudah menasihati mereka untuk bersabar dan berdoa. Tapi telinga yang sudah panas karena amarah sulit untuk mendengar, Juna. Hati-hatilah, jangan sampai kamu ikut terseret arusnya."
Ustadz Badrul berlalu, meninggalkan Juna yang mulai merasa sedikit cemas. Komedi yang ia tonton sejak pagi kini terasa mulai berubah menjadi tragedi.
Malam harinya, setelah kabar Haji Slamet muntah darah dan paku-paku kecil berkarat, kesabaran warga Desa Sukawaringin akhirnya habis.
Dipimpin oleh Bahar, puluhan lelaki berkumpul di alun-alun. Mereka tidak lagi membawa spanduk dukungan, melainkan obor, golok, cangkul, dan apapun yang bisa dijadikan senjata. Wajah mereka menyiratkan tekad buta.
Mang Udin ada di antara mereka. Jantungnya berdebar lebih kencang dari genderang marching band tujuh belasan. Ia memegang sebuah pentungan bambu, namun tangannya gemetar hebat. Ia ingin lari pulang dan sembunyi di bawah kasur, tapi tatapan tajam Bahar seolah menguncinya di tempat.
Bahar:
(Berteriak lantang)
"Malam ini! Kita bersihkan Sukawaringin dari iblis! Kita datangi sarangnya! Kita paksa dia menghentikan kutukannya! Siap?!"
"SIAAAAPPP!" koor massa menjawab, bergemuruh membelah keheningan malam.
Mang Udin:
(Bergumam pada dirinya sendiri)
"Siap... siap lari maksudnya..."
Kerumunan itu mulai bergerak. Barisan obor yang menyala-nyala itu tampak seperti seekor ular api raksasa yang merayap di kegelapan, menuju ke tepi desa, ke tempat di mana gubuk Ki Anom berdiri.
Arak-arakan itu melewati rumah Juna. Dari balik jendela kamarnya, Juna melihat pawai kemarahan itu dengan napas tertahan. Ia mengeluarkan ponselnya, berniat menelepon kepala polisi sektor di kecamatan, tapi sinyal tiba-tiba hilang. Hanya tulisan "PANGGILAN DARURAT" yang tertera di layar Sony Ericsson-nya.
Perasaannya mendadak tidak enak. Sangat tidak enak.
Rombongan massa akhirnya tiba di perbatasan rumpun bambu. Suara derap langkah dan teriakan marah mereka perlahan mereda, digantikan oleh suara desau angin yang meniup daun-daun bambu, menciptakan musik yang ganjil dan menyeramkan.
Di depan mereka, sekitar lima puluh meter jauhnya, gubuk reyot Ki Anom berdiri dalam keheningan total. Hanya satu titik cahaya oranye dari lampu teplok yang berkedip-kedip di jendela kecilnya, tampak seperti mata iblis yang sedang mengawasi.
Suasana yang tadinya panas membara kini berubah menjadi tegang dan dingin. Keberanian kolektif mereka seolah diuji oleh aura pekat yang dipancarkan oleh tempat itu.
Di dalam gubuk, Ki Anom menghentikan rapalan mantranya. Ia menoleh ke arah jendela, dan sebuah senyum tipis yang mengerikan tersungging di bibirnya.
Ia sudah menunggu mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments