Kamu Membuangku?

Gerakan Andra terlalu cepat, tetapi sudah terlambat. Meskipun ponselnya kini tertutup rapi dalam genggaman, kata ‘Mokondo’ dan kalimat 'Salam dari istrimu di Bogor' telah tertanam di retina Sella, seperti stempel kehancuran yang tak terhapuskan.

Sella menurunkan ponselnya yang masih terhubung dengan saluran telepon makelar, menatap Andra dengan mata melebar yang kini diselimuti kabut pengkhianatan.

“Siapa?” tanya Sella, suaranya pelan dan tajam, jauh dari nada bucin yang selama ini Andra dengar.

Andra membalas tatapan itu dengan wajah tertegun sesaat, namun hanya sepersekian detik sebelum topeng keramahannya kembali terpasang. Ia meletakkan ponselnya, kali ini ia memilih untuk tertawa kecil, tawa yang tidak sampai ke matanya.

“Kamu ini bicara apa, Sayang? Siapa? Tidak ada apa-apa,” jawab Andra, nada bicaranya ringan, mencoba menguapkan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi restoran Italia itu.

“Jangan coba-coba membohongiku lagi, Ndra!” desak Sella, kini ia merasa jantungnya berdenyut keras menuntut kejujuran. “Aku lihat! Aku lihat pesan itu! Istri? Di Bogor? Dan… ‘Mokondo’?”

Wajah Andra mengeras. Ia melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan perdebatan kecil mereka, lalu ia membungkuk ke depan, mengurangi jarak. Matanya kini tidak lagi ramah, melainkan dingin dan mendominasi.

“Oke, kamu lihat. Sekarang dengarkan aku baik-baik, Sella,” kata Andra dengan nada merendahkan, seperti guru yang berbicara pada murid yang lambat. “Itu namanya teror. Teror dari saingan bisnis gila!”

Sella mengerutkan kening, bingung. “Saingan bisnis? Yang bilang kamu punya istri?”

“Tentu saja!” Andra menaikkan suaranya, membiarkan kemarahan palsunya meluap. Ini adalah jurus andalannya: menyerang balik. “Mereka tahu kita sedang akan mengurus kontrak miliaran, Sella! Mereka berusaha menghancurkan citraku, mencoreng nama baikku! Mereka mengirim teror ke nomor pribadiku dengan kata-kata paling menjijikkan, bahkan menggunakan identitas palsu ‘istri’ segala!”

“Tapi kenapa ada fotonya juga? Aku sempat melihat ada foto… dan kenapa mereka menyebutmu ‘Mokondo’?” Sella tidak bisa berhenti bertanya. Logika Sella memberontak, meskipun sebagian besar hatinya masih ingin percaya pada ilusi Andra.

“Foto itu… itu foto lama dari mantanku yang tidak terima aku putuskan! Dia berusaha balas dendam! Ya ampun, Sella! Kamu lebih percaya pesan anonim daripada calon suamimu sendiri yang sudah dua bulan ini hidup mati bersamamu?” Andra menarik napas panjang, memasang wajah sangat kecewa yang terasa seperti tamparan bagi Sella.

“Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu, Sayang. Malam ini aku berjuang untuk mendapatkan investasi besar, demi vila kita, demi masa depan kita, tapi kamu malah menuduhku penipu hanya karena sebaris pesan murahan dari musuh-musuh bisnisku!” tuduh Andra, berhasil memutar balikkan fakta dan menjadikan dirinya korban dalam sekejap.

Perasaan bersalah mulai menyergap Sella. Benarkah ia sudah terlalu sensitif dan cemburu? Bukankah memang Andra sangat memesona, wajar jika ia punya musuh atau mantan yang posesif? Namun, bagian yang melihat tulisan 'Mokondo' masih berteriak kencang di benaknya.

“Lalu, kenapa kamu panik sekali tadi?” tanya Sella lagi, mencoba bertahan di benteng logika terakhirnya.

“Panik? Tentu saja panik! Kalau klienku tahu aku di teror seperti ini, mereka akan ragu dengan pribadiku! Mereka akan membatalkan dana jaminan lima ratus juta itu! Kamu tahu apa artinya, Sella? Itu artinya semua rencana kita hancur! Semua uang yang sudah kamu pinjamkan untuk beli jas, untuk biaya hotel, untuk jam tangan ini,” Andra menunjuk jam di pergelangannya dengan dramatis, “Semuanya hangus sia-sia!”

Andra memanfaatkan rasa takut terbesar Sella, ketakutan bahwa semua pengorbanannya selama ini hanyalah kesia-siaan. Jika Andra gagal, Sella benar-benar tidak punya apa-apa.

“Kamu harusnya membantuku fokus, Sayang. Bukan malah menginterogasiku seperti polisi! Sekarang lupakan pesan itu, anggap saja itu debu! Prioritas kita adalah dana jaminan! Kita harus jual ruko itu, SEKARANG,” tekan Andra, nada perintahnya kini mutlak.

Sella menelan ludah. Kepalanya sakit. Dalam situasi ini, jika ia menolak menjual ruko, ia bukan hanya kehilangan uangnya, tetapi ia juga akan kehilangan Andra, pria yang sudah ia cintai sampai di ambang kebodohan total. Kehilangan Andra terasa seperti kematian emosional baginya.

“B-baik. Aku minta maaf, Ndra. Aku cuma… cuma terkejut,” Sella menyerah, membiarkan dirinya ditarik kembali ke dalam perangkap. Ia merasa konyol telah meragukan Andra. Lagipula, jika Andra adalah penipu, tidak mungkin dia sesukses dan setampan ini, kan?

“Bagus. Begitu baru calon istriku,” puji Andra, senyum kemenangannya begitu cepat dan menular hingga membuat Sella merasa lega, seolah masalah besar baru saja teratasi. “Sekarang telepon makelarmu. Pastikan mereka memproses penjualannya paling lambat besok siang. Aku butuh uangnya besok pagi, jadi kamu harus pakai jurus wanita cantikmu itu untuk menekan mereka.”

Sella kembali meraih ponselnya. Kali ini, tanpa keraguan. Tekanan emosional yang diciptakan Andra lebih kuat daripada peringatan keras dari akal sehatnya.

Dua hari berlalu seperti mimpi buruk yang dingin. Di bawah tekanan dan arahan tegas Andra, Sella menjual ruko warisan satu-satunya itu dengan harga cepat yang jelas di bawah harga pasar, demi mendapatkan uang tunai lima ratus juta dalam waktu dua puluh empat jam.

Rasa kosong melanda Sella ketika uang itu mendarat di rekeningnya, dan dengan cepat, langsung ia transfer ke rekening Andra yang beralasan akan digunakan untuk dana jaminan kontrak miliaran.

Sella merasa ringan, bukan karena bahagia, melainkan karena ia benar-benar tidak memiliki beban finansial apa-apa lagi—tidak ada aset, tidak ada tabungan. Ia sudah mengosongkan diri seutuhnya untuk pria ini. Ia kini hanya menunggu hasil dari pengorbanan itu, kembalinya modal, bonus vila di Bali, dan pernikahan mewah.

Pagi itu, Sella menyiapkan sarapan di apartemen sewaan Andra, hatinya dipenuhi harapan. Hari ini adalah hari penting. Andra seharusnya membawa kabar baik tentang keberhasilan kontrak tersebut. Sella sudah membayangkan betapa bahagianya Andra saat mengucapkan terima kasih atas pengorbanan terakhirnya.

Ketika Andra keluar dari kamar, ia tidak mengenakan setelan jas mewah, melainkan kaus polo santai dan celana jeans. Wajahnya tampak aneh, ekspresinya tidak seperti orang yang akan merayakan kemenangan miliaran.

“Ndra! Kamu tidak ke kantor?” tanya Sella riang, menyodorkan piring berisi telur dan bacon.

Andra duduk, menyeruput kopi tanpa memandang Sella. Sikapnya dingin dan acuh tak acuh. Jauh dari pria bucin yang biasa mengecup kening Sella setiap pagi.

“Kenapa kamu memasak?” tanya Andra, alih-alih menjawab, nada suaranya terdengar jengkel.

“Tentu saja aku masak! Bukankah hari ini kita merayakan keberhasilanmu? Aku mau dengar kabar gembiranya. Bagaimana, Ndra? Dana jaminannya berhasil membuat klienmu menandatangani kontrak?” tanya Sella antusias.

Andra meletakkan cangkir kopinya dengan bunyi ‘kletak’ yang mengganggu. Ia mendongak, matanya yang selama ini penuh janji kini tampak kosong dan hampa.

“Berhasil, Sella. Berhasil,” jawabnya, tetapi suaranya datar, tanpa kebahagiaan.

Sella tersenyum lega. “Ya ampun, syukur! Aku tahu itu akan berhasil! Jadi, kapan kita beli vila di Bali, Ndra? Dan kapan kamu mengembalikan semua uang yang sudah kukeluarkan?”

Andra akhirnya menatap Sella lurus. Dan di mata pria itu, Sella tidak menemukan kekasih, tidak menemukan calon suami, hanya menemukan seorang predator yang baru saja selesai menghabisi mangsanya.

“Tidak ada vila di Bali, Sella,” kata Andra santai, meraih serbet untuk menyeka sudut bibirnya.

Jantung Sella mencelos. Senyum di wajahnya memudar perlahan. “Maksudmu?”

“Maksudku, selesai. Sudah cukup.” Andra bangkit berdiri, tangannya kini dimasukkan ke saku celana. “Lima ratus juta itu cukup untuk tiket dan deposit apartemen di luar negeri. Dan juga cukup untuk ganti ponsel, agar istriku di Bogor tidak bisa menerorku lagi.”

Kepala Sella berputar. Lima ratus juta itu… hanya untuk kabur? Dan ia akhirnya mengakui tentang istrinya?

“Kamu bilang apa? Tiket? Kamu mau kemana? Ndra, apa-apaan ini?! Ini uangku! Warisanku!” Sella berdiri, tubuhnya gemetar, mencoba meraih lengan Andra, tetapi pria itu mundur selangkah.

“Bukan uangmu lagi, Sayang. Sekarang ini uangku. Dan terima kasih untuk kerja sama yang baik, ya. Kamu benar-benar target paling bucin yang pernah aku temui.” Andra tersenyum mengejek, senyum yang Sella benci, yang membuat Sella tiba-tiba menyadari betapa jahatnya ia selama ini.

“Aku… kamu membuangku? Setelah semua yang kuberikan? Semua uangku?!” jerit Sella, air mata menggenang. Kenyataan pahit menamparnya. Ia benar-benar dibuang.

Andra menggelengkan kepala. “Kamu memberikannya, Sella. Aku tidak memaksa. Kamu bilang kamu cinta, kan? Sekarang pergilah. Apartemen ini masa sewanya habis hari ini. Aku tidak akan mengurus perpanjangan kontrak. Dan jangan coba-coba menghubungiku. Karena ponsel baruku, tidak akan menerima panggilan dari mantan korban.”

Andra berjalan menuju pintu. Ia sempat berhenti di ambang pintu, melihat sekilas ke belakang, ke arah Sella yang kini menangis tersedu-sedu, meratapi kebodohan dan kemiskinan total yang baru saja ia ciptakan.

“Oh, dan jangan cari aku. Karena sekarang aku bukan ‘Mokondo’ lagi. Aku pria kaya. Terima kasih padamu.” Andra menyeringai, lalu menghilang, meninggalkan Sella sendirian di apartemen yang hanya menyisakan masa sewa beberapa jam, tanpa uang sepeser pun, tanpa warisan, dan tanpa cinta.

Sella tersungkur ke lantai, menatap piring sarapan yang tak tersentuh. Ia kini resmi menjadi wanita yang terbuang. Air mata bercampur dengan rasa sakit yang pedih, rasa sakit akibat pengkhianatan paling telak yang ia alami. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Tidak punya rumah, tidak punya uang, tidak punya masa depan.

Dalam keputusasaan yang tak terperi, Sella berusaha bangkit, matanya sembab menatap kosong. Ia harus pergi dari sini sebelum diusir pemilik apartemen. Saat Sella mengumpulkan tenaga untuk meraih tasnya, ia mendengar suara kunci berputar di pintu masuk apartemen.

Sella menoleh panik. Siapa lagi yang datang? Andra sudah pergi.

Pintu terbuka, memperlihatkan siluet seorang pria tinggi dan tegap, mengenakan setelan kantor yang terlihat lebih mahal dan berkelas daripada semua jas Andra digabungkan. Pria itu tampak sangat rapi dan berwibawa, namun ekspresi wajahnya terlihat dingin.

“Anda… siapa?” tanya Sella gemetar, mengira ia adalah pemilik apartemen.

Pria itu menatap Sella, matanya yang tajam menelusuri Sella dari ujung rambut hingga kaki. Pria itu mengangkat alisnya sedikit, mengeluarkan selembar kertas tebal yang dicap perusahaan properti. Suaranya terdengar dalam dan profesional.

“Selamat pagi. Nama saya Edo, dan saya adalah CEO dari perusahaan yang baru saja membeli properti ini untuk dijadikan mess sementara,” ujar pria itu, bernama Edo, dengan senyum tipis yang tak mencapai mata. “Sepertinya Anda perlu segera keluar dari sini. Atau apakah Anda… yang dicari?”

“Dicari?” ulang Sella, kebingungan dan ketakutan menyelimutinya.

Edo melipat tangan, tatapannya kini berubah lebih intens, penuh analisis. “Ya. Kami sedang mencari seorang wanita bernama Sella. Ada seseorang yang meminta saya mencari Anda setelah saya mengakuisisi ruko kecil di kawasan X. Rupanya, Andra lupa menyelesaikan pembayaran atas perantara yang menjual ruko itu, dan dia meninggalkan alamat ini.”

Edo mencondongkan tubuh sedikit, memicingkan mata ke arah Sella yang kini berlumuran air mata dan trauma.

“Ruko yang baru Anda jual. Sekarang properti itu milik perusahaan saya,” lanjut Edo. “Jadi, mari kita bicara. Tentang aset Anda yang terbuang itu.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!