INTERAKSI SISTEM

Pagi menyambutku dengan sisa-sisa kemarahan malam. Tubuh Amara terasa lelah, tetapi adrenalin Kinara menolak untuk menyerah pada kantuk. #DOAmara. Hashtag itu terasa seperti luka bakar di tengkukku.

Aku mengambil jam tangan saku emas kuno itu dari laci. Dingin dan berat, jam itu adalah artefak dari masa lalu Amara yang bertanggung jawab, kontras dengan kekacauan yang kini mendefinisinya. Aku harus menjualnya, menjual warisan demi melunasi kebodohan.

“Sistem, berikan rute teraman untuk menjual ini sebelum pukul 10:00. Aku butuh anonimitas,” ujarku sambil mengenakan hoodie dan topi untuk menutupi wajah Amara yang terlalu mudah dikenali.

“Sistem telah mengidentifikasi jaringan pembeli barang antik yang tidak mengajukan pertanyaan di daerah Senayan. Anda harus bertindak cepat,” respons Sistem, memproyeksikan peta augmented reality di sudut pandangku.

Aku berhasil mendapatkan ojek daring dan menyelinap keluar dari apartemen tanpa menarik perhatian. Transaksi itu dilakukan di sebuah kedai kopi kumuh yang tersembunyi. Pria paruh baya yang kutemui terlihat sinis. Ia memutar jam itu di tangannya, matanya menilai kemewahan yang tersembunyi.

“Sepuluh juta, Nona Amara. Barang bagus,” katanya, nadanya datar. Aku terkejut dia tahu namaku, tetapi kemudian aku ingat, siapa yang tidak tahu Amara Nasywa?

“Aku hanya perlu tiga juta sekarang,” kataku, menahan diri untuk tidak terdengar memohon. “Sisanya bisa kau simpan sebagai deposit. Aku akan mengambilnya kembali dalam satu bulan.”

Pria itu tertawa. “Deposit? Ini bukan gadai, Nona. Ini penjualan. Kau sedang panik. Aku akan memberimu tiga juta tunai sekarang, sisanya aku simpan untuk diriku sendiri. Ambil atau tinggalkan.”

Kinara yang lama akan bernegosiasi keras, tetapi Amara yang sekarang sedang diburu waktu. “Ambil. Aku ingin uang tunai, sekarang.”

Setelah uang tunai berpindah tangan, aku bergegas kembali ke apartemen. Tangan dan hatiku terasa kotor. Aku baru saja membuang warisan berharga untuk membayar utang judi. Moralitas Kinara telah terkikis demi kelangsungan hidup Amara.

Tepat pukul 11:30, tiga juta rupiah telah ditransfer ke rekening sindikat judi online ilegal itu. Aku menunggu respons dari ponselku dengan napas tertahan.

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

STATUS UTANG: CICILAN AWAL (Rp 3.000.000,-) BERHASIL. ANCAMAN FISIK DITANGGUHKAN 7 HARI.

REPUTASI: -98 (Tidak Berubah. Perlu aksi positif signifikan.)

Tujuh hari. Itu adalah waktu bernapas yang berharga. Aku menyadari bahwa misi pelunasan utang ini akan menjadi maraton yang menyakitkan, bukan sprint.

“Baiklah, ancaman fisik sudah tertangani sementara. Sekarang, fokus pada misi utama. Akademis,” ujarku, mengambil tas kuliah Amara yang entah sejak kapan menjadi tempat sampah. “Aku butuh daftar misi harian, Sistem. Aku harus mendapatkan nilai A dari Pak Arka (Target 1) di Sosiologi Kritis.”

Sistem merespons dengan menampilkan daftar misi yang panjang, terbagi menjadi tiga kategori: Finansial, Akademis, dan Sosial.

[DAFTAR MISI HARIAN/MINGGUAN KINARA/AMARA]

Misi Akademis (Target 1):

Pertemuan Pertama: Hadiri Kelas Sosiologi Kritis Pak Arka (Hari Ini, 14:00).

Kuis Survival: Raih skor sempurna (100%) dalam Kuis Pendahuluan Sosiologi Kritis (Wajib, akan diadakan tanpa pemberitahuan).

Aksi Nyata: Dapatkan minimal dua pujian verbal dari Pak Arka di depan kelas sebelum akhir minggu.

Misi Finansial:

Pekerjaan Sah: Daftarkan diri sebagai Guru Privat Mandarin Daring. (Target Penghasilan: Rp 5.000.000,-/bulan)

Pelunasan: Cicil utang minimal Rp 5.000.000,- setiap akhir bulan.

Misi Sosial (Perbaikan Citra):

Debunk: Tolak tawaran pesta/minuman keras dari teman lama Amara minimal tiga kali minggu ini.

Interaksi Netral: Lakukan interaksi positif dengan minimal satu mahasiswa beasiswa (Target 2, Rendra, berada dalam kategori ini).

Skor sempurna di Kuis Pendahuluan? Pak Arka dikenal kejam. Kuisnya bahkan tidak bisa dijawab oleh mahasiswa berprestasi. Aku, dengan IPK 0.9, harus mendapatkan 100%.

“Itu misi yang mustahil, Sistem. Aku tidak punya waktu untuk menghafal semua teori Marxisme dan Foucault sebelum jam dua siang,” keluhku.

“Di sinilah bantuan Sistem diperlukan, Kinara. Anda membutuhkan adaptasi yang cepat, bukan kemampuan jangka panjang. Misi telah selesai dua kali (transmigrasi dan pembayaran utang awal). Anda mendapatkan satu putaran Randomizer Skill.”

Sebuah roda berputar muncul di pandangan mataku, dihiasi dengan kata-kata seperti ‘Retorika Cepat,’ ‘Penyamaran Sempurna,’ dan ‘Pemahaman Instan.’ Aku menyaksikan jarum itu berputar cepat, melintasi opsi yang menjanjikan.

Jarum itu melambat, dan berhenti di sebuah kata yang berkedip-kedip dengan cahaya biru neon.

[RANDOMIZER SKILL TERKUCI]

Skill: FOKUS ABSOLUT (Level 1)

Durasi: 60 Menit (Cooldown: 24 Jam)

Efek: Mengizinkan Kinara untuk mengabaikan semua stimulus eksternal (rasa lapar, sakit, distraksi lingkungan) dan memproses informasi visual/auditori dengan kecepatan 500% lebih cepat dan tingkat retensi 99%. Ideal untuk menghafal atau menyerap materi kompleks dalam waktu singkat.

Aku menatap nama skill itu. Fokus Absolut. Ironis. Di kehidupan lamaku, aku selalu kehilangan fokus, terlalu lelah dan terdistraksi oleh tuntutan hidup. Sekarang, aku diberi alat untuk mencapai fokus yang mustahil.

“Aku mengerti. Ini adalah cheat yang kubutuhkan untuk bertahan,” gumamku.

“Ini bukan cheat, Kinara. Ini adalah kompensasi. Jiwa Anda kelelahan. Tubuh Host tidak terbiasa bekerja keras. Ini adalah jembatan yang memungkinkan Anda untuk menyalurkan etos kerja Anda ke tubuh Amara yang rusak,” koreksi Sistem.

Waktu menunjukkan pukul 12:45. Aku punya waktu satu jam sebelum harus berangkat. Aku mengumpulkan semua diktat kuliah Sosiologi Kritis yang bertebaran di kamar Amara, yang terlihat belum pernah dibuka.

“Aktifkan Fokus Absolut, sekarang,” perintahku.

Begitu kata itu terucap, dunia di sekitarku lenyap. Suara AC, deru mobil di luar, rasa sakit kepala Amara—semuanya memudar. Mataku terasa dingin, fokus, dan tajam. Waktu seolah melambat.

Aku mengambil buku teks tebal Sosiologi Kritis. Kinara yang lama butuh dua hari untuk memahami satu bab. Kini, mataku melayang di atas baris-baris teks, dan setiap konsep—struktur, agensi, hegemoni, dialektika—langsung tertanam di korteks prefrontal. Aku membaca bab-bab penting tentang Kritik Institusional dan Kebijakan Publik dalam kecepatan yang absurd. Aku bisa merasakan materi itu terintegrasi dengan pengetahuanku yang lama.

Selama 60 menit itu, aku bukan Kinara, dan bukan Amara. Aku adalah mesin pembelajaran yang sempurna. Aku menyerap esensi pemikiran Pak Arka dari catatan kuliah yang dia posting di sistem daring. Aku tahu apa yang dia inginkan: bukan hafalan, tapi analisis yang tajam terhadap sistem yang korup.

Ketika 60 menit berakhir, sensasi tajam itu mereda, digantikan oleh kelelahan yang luar biasa. Namun, di dalam kepala Amara, kini tersimpan gudang data sosiologis yang siap digunakan.

“Kuis Survival 100%,” kataku dengan keyakinan baru. “Aku siap.”

Pukul 13:45. Aku berangkat ke kampus. Perjalanan itu terasa sangat berbeda dari malam sebelumnya. Setiap mata di koridor kampus terasa seperti laser yang menembak ke arahku. Mereka tidak melihat Kinara, mereka melihat Amara Nasywa—si perundung yang menjual IPK untuk pesta.

Aku mendengar bisikan. “Itu Amara. Kenapa dia masuk kuliah?”

“Gila, dia benar-benar datang ke kelas Arka? Itu bunuh diri.”

Aku mengabaikan mereka, berjalan dengan postur tegak. Aku tahu, jika aku menunjukkan keraguan, mereka akan merobekku berkeping-keping.

Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) terasa seperti labirin yang dingin, dipenuhi ambisi terselubung. Aku menuju ruang kelas Sosiologi Kritis yang terletak di lantai tiga.

Pintu kelas sudah tertutup, yang berarti aku terlambat, sesuai dengan citra Amara yang tidak bertanggung jawab. Aku menarik napas dalam-dalam. Ini adalah pintu gerbang menuju kehidupanku yang baru, atau pintu jebakan menuju kehancuran total.

Aku mendorong pintu itu. Ruangan yang luas dan gelap itu dipenuhi oleh sekitar empat puluh mahasiswa yang semuanya menoleh ke arahku, seolah aku adalah badut yang baru saja memasuki panggung.

Di depan, berdiri seorang pria. Rambutnya hitam dan rapi, mengenakan kemeja batik formal yang kontras dengan suasana kelas yang tegang. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata yang tajam, mampu menelanjangi semua kepura-puraan.

Dialah Pak Arka. Dosen Sosiologi Kritis. Target 1.

Dia berhenti bicara. Seluruh kelas hening. Tatapannya menembus topeng ketidakpedulian yang coba kupasang. Aku merasakan intimidasi intelektual yang kuat, jauh melampaui intimidasi fisik dari penagih utang.

“Nasywa,” suaranya berat, menyebut nama Host dengan penekanan yang sinis. “Terlambat. Saya kira mahasiswa dengan reputasi akademis seperti Anda sudah tidak repot-repot datang ke kelas yang menuntut pemikiran kritis.”

Aku berdiri tegak di ambang pintu. Jantungku berdebar kencang. Aku harus membalikkan argumen ini, di hadapan semua orang, tanpa terlihat defensif.

“Saya minta maaf, Pak,” jawabku, suaraku tenang dan tidak gemetar, mengejutkan diriku sendiri. “Tapi justru karena reputasi akademis saya yang buruk, saya merasa wajib hadir. Kritik adalah satu-satunya alat yang tersisa bagi mahasiswa yang telah gagal di dalam sistem ini.”

Seisi kelas tersentak. Pak Arka tidak mengatakan apa-apa, hanya memiringkan kepalanya sedikit, menganalisis respons yang sama sekali tidak seperti Amara Nasywa yang ia kenal.

Dia menunjuk kursi kosong di barisan depan. “Duduklah, Nasywa. Dan mari kita lihat apakah kegagalan Anda ini mampu menghasilkan kritik, atau hanya sekadar pemberontakan tanpa isi.”

Aku berjalan ke kursi, merasakan tatapan sinis dari mahasiswa lain, terutama dari seorang pria di barisan tengah yang aku kenali dari data Sistem: Rendra (Target 2), Ketua BEM otoriter yang Amara pernah rundung secara tidak langsung.

Begitu aku duduk, Pak Arka melanjutkan, tetapi matanya terus sesekali melirikku. Kemudian, tanpa diduga, ia tersenyum tipis—senyum yang bukan kehangatan, melainkan janji bahaya.

“Baik. Karena Nasywa telah bergabung, mari kita mulai. Saya tidak percaya pada formalitas jadwal,” katanya, mengambil selembar kertas dari mejanya. “Keluarkan pulpen. Kuis Pendahuluan. Sekarang.”

Semua mahasiswa mengeluh, tetapi Kinara/Amara hanya diam. Kuis Survival yang ditakuti itu datang lebih cepat dari yang diharapkan. Aku hanya bisa mengandalkan 60 menit Fokus Absolut yang baru saja berakhir. Ini adalah ujian pertama sistemku, dan Pak Arka akan menjadi juri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!