Kegelapan itu tidak total, melainkan kabur dan berputar-putar. Sensasi pertama yang dirasakan Megan adalah dinginnya udara malam yang menusuk kulitnya yang hanya dibalut piyama sutra. Ia mendengar suara-suara teredam—suara Jose yang berat, tawa Wina yang melengking, dan suara asing yang kasar.
Ia mencoba membuka mata. Kelopak matanya terasa berat seperti timah. Otot-ototnya menolak perintah. Ia tahu ia sedang diangkut, tubuhnya terasa seperti beban mati yang diseret di atas permukaan yang keras.
“Cepatlah, Rudi,” bisik Jose, suaranya terdengar tidak sabar. “Aku tidak mau ada yang melihat kita di lobi parkir ini.”
“Tenang, Tuan Jose,” jawab suara serak Rudi. “Dia cantik sekali. Harga yang Tuan dan Wina minta—uh, maksud saya, Nona Wina—sangat pantas untuk barang sekelas ini. VIP kita pasti senang.”
Megan merasakan tubuhnya didorong ke dalam kursi belakang mobil yang mewah. Bau kulit baru dan parfum mahal memenuhi hidungnya, membuat mualnya bertambah parah.
“Tentu saja dia pantas,” suara Wina terdengar bangga. “Megan tidak pernah disentuh oleh pria lain selain Jose. Dia ‘barang’ yang sempurna, Rudi. Dan ingat, kau harus pastikan dia berada di lantai VIP malam ini. Tuan yang memintanya harus terkesan. Ini adalah hadiah dari kami.”
Rudi tertawa kering. “Tentu, Nona. Tamu VIP kita adalah langganan terbaik. Kami akan memastikan Nyonya... eh, Megan, mendapatkan layanan yang sesuai. Dan ingat perjanjian kita: setelah ini, dia akan menghilang dari peta. Tidak ada yang akan mencarinya. Dia datang ke sini atas kemauan sendiri.”
“Itu yang kami inginkan,” sela Jose dengan nada final. “Pastikan saja dia tidak sadar sepenuhnya. Kita tidak ingin drama. Dia terlalu emosional.”
Rudi menutup pintu mobil dengan keras. Bunyi benturan itu bergema di kepala Megan, dan ia tergelincir kembali ke dalam jurang kekaburan.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti. Megan merasakan kehangatan yang mendadak, bersamaan dengan suara dentuman bass yang sangat keras, memompa seperti detak jantung raksasa. Mereka telah sampai di 'The Sovereign'.
“Sudah sampai,” kata Rudi, membuka pintu mobil. “Aku akan membawanya melalui pintu belakang karyawan. Kau tidak perlu ikut, Nona Wina. Tugasmu selesai. Nikmati bagianmu dari uang ini.”
“Oh, aku pasti akan menikmatinya,” jawab Wina riang. “Sampaikan salam kami pada Tuan VIP. Katakan padanya, hadiah ini akan sangat menyenangkan dan patut ditunggu.”
Megan merasakan tangan besar Rudi mengangkatnya. Ia diangkat melewati lorong sempit yang berbau alkohol dan asap rokok. Walaupun penglihatannya gelap, ia bisa merasakan kemewahan yang mengelilingi tempat itu—lantai yang dilapisi karpet tebal, dinding beludru, dan lampu kristal yang berkilauan di kejauhan.
“Hati-hati, Rudi!” bentak seorang wanita dengan aksen Eropa yang kental. “Jangan sampai dia terluka! Dia harus sempurna saat diantar ke suite Tuan X.”
Megan tersentak. Tuan X? Siapa dia? Ia berusaha mencerna informasi itu, namun otaknya bekerja terlalu lambat.
Rudi membawa Megan ke sebuah ruangan kecil, terisolasi dari keriuhan club. Ruangan itu hanya berisi sofa kulit hitam dan sebuah meja kecil. Megan dibaringkan di sofa dengan kasar.
“Dia terlalu sadar, Rudi,” kata wanita Eropa itu, yang kini berdiri di atas Megan, memegang botol kecil berisi cairan bening. “Wajahnya berkeringat. Kita tidak mau dia merusak malam VIP. Beri dia dosis kedua.”
Rudi menghela napas. “Aku bilang pada Wina, suntikan saja lebih efisien. Sekarang kita harus memaksanya menelan pil ini.”
Wanita itu berjongkok di samping Megan. Wajahnya yang tebal dengan riasan terlihat buram di mata Megan. Ia membuka mulut Megan dengan paksa.
“Telan ini, Sayang,” desis wanita itu, suaranya sama sekali tidak mengandung kelembutan. “Ini akan membuatmu tenang. Anggap saja ini malam tidur nyenyak termahal dalam hidupmu.”
Megan merasakan sesuatu yang pahit dan keras didorong ke tenggorokannya. Naluri perlawanannya masih ada, dan ia mencoba batuk, tapi tangan Rudi yang kuat menekan rahangnya, memaksanya menelan.
“Bagus,” kata Rudi, lega. “Sekarang kita tunggu lima belas menit. Setelah dia benar-benar 'tertidur' tapi masih responsif, kita antar ke Suite 101. Tuan Vega tidak suka menunggu.”
Nama itu. Vega. Sebuah nama yang berat, tajam, dan entah mengapa, terasa familiar di tengah kabut yang menyelubunginya.
“Apakah Tuan Vega tahu dia dibius?” tanya wanita itu, terdengar sedikit khawatir.
Rudi mendengus. “Dia tidak peduli dari mana barang itu berasal, selama itu sempurna. Tugas kita hanya memastikan dia tidak berteriak dan merusak suasana. Tuan Vega adalah pria yang sangat berkuasa. Dan kita tidak ingin dia marah.”
Obat yang ditelan Megan bekerja dengan cepat, jauh lebih kuat dari suntikan pertama. Kepalanya kini terasa seperti balon yang terbang menjauh. Rasa panik mulai muncul. Dia harus pergi. Dia tidak bisa menjadi ‘hadiah’ untuk siapa pun.
“Tutup pintunya dan awasi dia,” perintah Rudi, meninggalkan ruangan. “Aku akan memastikan semua sudah siap di atas.”
Megan sendirian dengan wanita asing itu. Wanita itu sibuk merapikan riasannya di cermin saku, mengabaikan Megan. Ini adalah kesempatannya.
Mengerahkan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, Megan perlahan menggerakkan ujung jarinya. Tubuhnya terasa berat, namun tekad untuk melarikan diri lebih kuat daripada efek obat bius. Ia berguling dari sofa, mendarat di karpet dengan bunyi gedebuk pelan.
“Hei!” teriak wanita itu, terkejut. “Kau tidak boleh bergerak!”
Wanita itu mencoba meraihnya, tapi Megan, meskipun sempoyongan, berhasil merangkak menjauh. Ia beringsut menuju pintu, yang untungnya tidak dikunci, hanya tertutup.
“Kembali ke sini, jalang!” teriak wanita itu, suaranya berubah panik.
Megan berhasil memutar kenop pintu. Ia menarik dirinya berdiri, menggunakan kusen pintu sebagai penopang. Suara musik club kini menyerbu pendengarannya, memekakkan telinga.
Ia terhuyung-huyung keluar, ke lorong club yang lebih luas. Lorong itu remang-remang, dihiasi lampu neon ungu dan merah. Tujuan Megan hanyalah keluar, menuju cahaya, mencari udara segar.
Ia berjalan tanpa arah, didorong oleh adrenalin yang cepat memudar. Ia menaiki tangga spiral berlapis emas yang terasa tak berujung, menuju area yang paling tenang dan terisolasi—lantai VIP.
Langkahnya semakin melambat. Penglihatannya berkedip-kedip. Obat bius itu akhirnya menang. Ia mencapai sebuah lorong sepi, hanya ada satu pintu besar di ujungnya, terbuat dari kayu gelap yang mewah, dihiasi ukiran naga perak.
Tepat di depan pintu itu, kakinya menyerah. Megan merosot, tubuhnya jatuh ke lantai dingin marmer. Ia mencoba berteriak, memohon bantuan, tetapi hanya bisikan lemah yang keluar dari bibirnya yang kering.
Ia pingsan, kepalanya bersandar pada panel kayu pintu megah itu, merasakan getaran pelan dari ruangan di baliknya.
Saat kegelapan hampir sepenuhnya menelannya, pintu di belakangnya terbuka. Cahaya hangat dan tajam menembus kegelapan. Sebuah bayangan tinggi dan kuat berdiri di ambang pintu, menghalangi cahaya. Megan merasakan aura dingin dan berbahaya yang luar biasa, aura kekuasaan yang tak terbantahkan, menyelimutinya.
Pria itu menatap Megan yang tak berdaya di kakinya. Matanya, setajam elang di malam hari, mengamati setiap detail: gaun sutra yang kusut, wajah yang pucat, dan air mata yang mengering di pipinya. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah mata Megan yang sayu, yang masih memancarkan kilau perlawanan, bahkan di ambang ketidaksadaran.
“Apa yang kau lakukan di sini, Gadis Kecil?” suara pria itu dalam, seperti guntur yang jauh, membelah kesadaran Megan yang tersisa.
Itu adalah suara Vega Xylos.
Pria itu berjongkok, mengulurkan tangan. Megan mencoba melawan, tetapi yang ia lakukan hanyalah mengeluarkan erangan samar.
“Menarik,” gumam Vega, senyum dingin tersungging di bibirnya. “Bahkan dalam kondisi seperti ini, kau masih mencoba melarikan diri.”
Tanpa ragu, Vega mengangkat tubuh Megan. Ia membawanya masuk, menjauh dari lorong club yang ramai, ke dalam kamar VIP terisolasi yang gelap, menjebaknya sepenuhnya dalam takdir yang baru dan mengerikan.
Pintu Suite 101 tertutup dengan bunyi ‘klik’ yang pelan, mengunci Megan bersama bos mafia paling berkuasa di dunia bawah yang paling ditakuti. Dia adalah sosok yang tak tersentuh....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments