...Illusion Fox vs The Mind Weaver...
...#1...
Langit di atas Colosseum yang tadi berkilau lembut kini kembali bergemuruh. Awan bergerak cepat, seolah langit itu sendiri ingin menyaksikan duel pertama yang akan menentukan arah dunia.
Di tengah keheningan yang menegangkan, monitor raksasa di setiap sudut tribun mulai berputar kembali. Tulisan perak berputar acak seakan mencari huruf yang tepat untuk menampilkan sebuah nama yang sepadan, sebelum akhirnya berhenti. Menampilkan sebuah nama yang tercetak tegas dari seorang wanita yang sebagian penduduk bumi tahu namamya.
[PERWAKILAN DARI UMAT MANUSIA : DR. ELAINA VOSS — THE MIND WEAVER]
Begitu nama itu muncul, suara dari tribun manusia pecah. Namun, bukan sorakan kegembiraan yang terdengar, melainkan gumaman, bisikan, dan tawa getir dari mereka yang mengenali nama itu.
Seorang pria berwajah bengis yang duduk di barisan bawah, dengan borgol di tangannya (salah satu tahanan yang diizinkan menonton pertandingan ini sebagai bentuk penebusan) tersenyum miring.
“Heh… dia, rupanya?” katanya dengan nada getir.
“Yang jadi lawan siluman rubah itu sungguh lawan yang sepadan.”
Dari sisi lain, seorang mantan politisi yang kini berstatus koruptor tertawa pendek sambil menatap layar.
“Benar,” gumamnya. “Aku dipenjara karena kelihaian perempuan itu… membongkar seluruh kasusku yang bahkan sudah kususun rapi selama bertahun-tahun.”
Sorak kagum, tawa getir, dan bisikan gentar menyatu menjadi satu suara ganjil di udara. Dr. Elaina Voss bukan sekadar nama. Ia adalah legenda di dunia manusia.
Dari sisi tribun manusia, langkah sepatunya terdengar mantap menapaki lantai arena. Ritmis, percaya diri, tanpa gentar sedikit pun. Ia berjalan melewati bayangan tribun, perlahan menampakkan sosoknya ke seluruh Colosseum.
Wanita itu mengenakan jas hitam elegan dengan celana panjang yang rapi, kemeja putih dengan kerah tinggi, dan dasi tipis yang terikat sempurna di lehernya. Rambut cokelat gelapnya disisir ke belakang, memberi kesan profesional, namun matanya, mata abu-abu yang dalam, menyimpan sorot yang sulit dibaca.
Setiap langkahnya membawa aura ketegasan, sekaligus misteri.
Saat tiba di tengah arena, ia berhenti. Tatapannya lurus ke arah Huli Jing, yang berdiri di seberangnya. Dua sosok wanita cantik, berbeda dunia, namun sama-sama berbahaya dalam caranya sendiri.
Huli Jing tersenyum lembut, ekor-ekornya bergoyang pelan, seperti menilai mangsanya.
“Ah… jadi manusia yang akan menari denganku adalah kau, wanita logika,” ucapnya manja, suaranya seperti bisikan madu.
Elaina tersenyum tipis, tenang namun menusuk.
“Menarik. Kau memakai tipu daya untuk membingungkan pikiran orang…”
Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata Huli Jing.
“Sayangnya, aku hidup dari membaca kebohongan.”
Kalimat itu membuat penonton manusia bersorak. Sebagian dengan kagum, sebagian lain dengan gugup.
Virgo, yang berdiri di tengah arena sebagai pengadil, memperhatikan keduanya dengan mata penuh rasa ingin tahu. Timbangan emasnya bergetar, memantulkan dua warna cahaya berbeda. Ungu lembut dari arah Huli Jing, dan abu kebiruan dari arah Elaina.
The Ancient One bersandar di singgasananya, sayapnya melipat perlahan.
“Pertarungan antara pikiran dan ilusi…” gumamnya dengan nada berat. “Dunia ini akan belajar bahwa tidak semua perang dimenangkan oleh kekuatan otot.”
Virgo mengangkat tangannya perlahan. Cahaya dari langit jatuh menyoroti dua sosok yang kini berdiri berhadapan di tengah Colosseum. Udara menjadi dingin, waktu seolah berhenti, dan dunia menahan napas.
“Pertarungan pertama…”
Suara Virgo bergema indah, melingkupi seluruh arena.
“Antara Huli Jing, sang Penipu Bayangan, dan Dr. Elaina Voss, sang Penenun Pikiran.”
Timbangan emasnya terangkat tinggi, memancarkan sinar yang menyentuh langit dan bumi.
“Bertarunglah dengan kehormatan, dan biarkan kebenaran menemukan jalannya sendiri.”
Cahaya meledak lembut di antara mereka.
Ilusi dan logika kini bersiap saling menguji. Tipu daya melawan kebenaran, mimpi melawan kesadaran.
Sebelum itu....
...****************...
Di atas singgasana dengan kontras yang jelas. Di hadapan ribuan penonton dari ras manusia dan mitologi, Presiden Amerika Serikat dan The Ancient One duduk bersandingan. Di antara mereka, Virgo berdiri tenang. Menjadi saksi diam antara dua makhluk yang kini menanggung nasib dunia.
Ancient One mengibaskan satu sayap emasnya perlahan, dan dari telapak cakar tangannya, muncul secercah cahaya yang berubah menjadi secarik gulungan perkamen berhiaskan huruf-huruf kuno yang bersinar lembut. Ia meletakkannya di atas meja batu.
“Di sinilah tercatat nama-nama para wakil kami. Mereka yang akan bertarung demi kehormatan ras mitologi,” ucap Ancient One dengan nada dalam dan berwibawa.
Presiden memberi isyarat, dan Johan, asisten sekaligus pengawal pribadinya, maju perlahan mengambil gulungan itu. Kertasnya terasa hangat, seolah masih mengandung energi magis dari tangan sang garuda raksasa.
Saat Johan membukanya, huruf-huruf bercahaya muncul satu per satu, seperti bintang yang menyala di langit gelap:
“Medusa. Centaur. Siren.”
Nama-nama itu membuat suasana terasa semakin berat. Johan menatap Presiden dengan wajah tegang, lalu menunduk hormat sambil menyerahkan gulungan itu. Presiden mengambilnya dan membacanya pelan, bibirnya bergetar tanpa sadar.
“Untuk Medusa dan Centaur... mungkin aku akan mengirim Jenderal Markus dan Letnan Nakamura,” gumamnya lirih. “Untuk Siren, kita punya operator sonar kapal selam terbaik yang pernah kita latih… tapi…”
Ia berhenti, menatap satu nama di baris pertama.
“Makhluk ini… Huli Jing, sang penipu. Siapa yang cocok untuk melawannya?”
Presiden mengusap wajahnya pelan, pikirannya berpacu mencari jawaban.
“Mungkin seorang veteran perang yang kebal terhadap ketakutan… atau seseorang yang tak bisa diperdaya oleh kenangan…” bisiknya dalam kebimbangan.
Dari sisi kanan, Johan yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya angkat bicara.
“Apakah Anda yakin, Pak Presiden, untuk langsung mengerahkan semua orang terbaik dari ras kita? Ingat, tidak semua harus dilawan dengan kekuatan.”
Presiden menoleh, menatap bawahannya itu dengan sorot mata penat.
Johan melanjutkan dengan nada tenang namun penuh keyakinan:
“Kita memang lemah, tidak memiliki sayap, taring, atau kulit bersisik baja. Tapi kita masih punya satu hal yang tak dimiliki mereka. Yaitu sains.”
Kata itu menggema seperti bara yang menyala di dalam dada Presiden. Ia terdiam beberapa saat, lalu perlahan berdiri dari singgasananya. Tatapan lelah di matanya berubah menjadi nyala tekad.
“Kau benar, Johan… manusia masih punya cara lain untuk bertahan. Ambilkan ponselku. Aku akan menghubungi dia. Aku yakin dia bisa menghadapi makhluk ilusi itu.”
Johan tersenyum samar.
“Akan kulakukan, Pak. Dan mungkin… dia sudah berada di antara penonton.”
Beberapa menit berlalu. Di tengah riuh rendah tribun manusia, sebuah ponsel berdering. Seorang wanita berjas hitam dan berwajah tegas menatap layar ponselnya dan seketika membeku. Nama yang tertera di sana membuat jantungnya berdegup cepat.
“Pak Presiden?” suaranya tercekat, nyaris tak percaya.
Dari seberang, suara berat namun lembut menjawab,
“Elaina… dari semua tugas yang pernah kutitahkan, ini yang paling berat. Tapi aku tahu, kau satu-satunya yang bisa.”
Wanita itu menatap ke arah arena, napasnya perlahan stabil.
“Suatu kehormatan, Pak Presiden. Dan sebuah tanggung jawab besar… karena kali ini, yang saya wakili bukan hanya negara, tapi seluruh umat manusia.”
“Aku berdoa semoga kau menang di sana, Elaina,” jawab sang Presiden lirih. “Aku berharap besar padamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments