BAB 2- CAHAYA YANG MENYEMBUNYIKAN LUKA

Sementara itu, di sisi lain kota, Shenzhen.

dunia yang tak tersentuh oleh publik berdetak dengan ritme yang berbeda.

Gedung kaca milik Han Star Entertainment berdiri megah, tapi di balik dinding-dindingnya, banyak yang dikubur dalam diam.

Sang aktor Yu Lian baru saja keluar dari ruang latihan. Wajahnya tampan tapi lelah, napasnya berat, matanya kehilangan cahaya.

“Latihanmu bagus hari ini,” kata sang manajer, Chen Wei, dengan senyum tipis yang dingin.

Yu Liang hanya menunduk.

Ia tahu senyum itu berarti sesuatu bukan pujian, tapi peringatan halus untuk patuh.

“Besok malam ada pertemuan dengan investor besar,” lanjut Chen Wei sambil menyerahkan ponselnya.

“Kau tahu apa yang harus dilakukan.” Yu Liang diam.

Suara ponsel yang bergetar di saku terasa seperti jerat yang makin kencang.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar: wajah yang dikenal jutaan orang, tapi jiwanya sendiri terasa asing.

Yu Liang melangkah perlahan di antara peralatan kamera yang berserakan, setiap langkahnya terasa berat. Kru sibuk memeriksa lampu dan mikrofon, suara-suara mereka bersaing dengan dentuman musik latar yang diputar untuk latihan adegan.

Seorang asisten mendekat, menyalakan monitor kecil di tangannya. “Yu Liang, adegan berikutnya akan dimulai sebentar lagi,” ucapnya.

Suaranya datar, tapi penuh ketegangan, sama seperti yang Yu Liang rasakan sekarang.

Ia mengangguk, menyesuaikan posisi tubuhnya, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin cepat. Mata Yu Liang menangkap bayangan kamera yang bergerak, fokus kru yang tajam, dan para penonton yang mulai menahan napas.

Sementara itu, rasa lapar dan lelahnya mulai menumpuk. Tapi Yu Liang menepisnya. Tidak ada waktu untuk menyerah. Setiap gerakan, setiap ekspresi, harus sempurna. Meski tubuhnya menuntut istirahat, pikiran yang haus kontrol tetap harus berjalan tanpa jeda.

Cek!

Blitz kamera kembali menyambar.

Kali ini Yu Liang menundukkan kepala sebentar, menutup mata, lalu membuka kembali dengan tatapan penuh fokus. Ia tahu, ini baru permulaan dari hari yang panjang.

Lampu sorot menyala, mengarah tepat ke posisi Yu Liang. Ia menarik napas panjang, merasakan energi yang sedikit pulih dari gigitan makanan terakhir.

Tubuhnya masih lelah, tapi matanya kini lebih fokus, penuh konsentrasi.

“Kamera satu, aksi!” teriak sutradara dari jauh.

Yu Liang bergerak, mengikuti ritme adegan dengan ketelitian. Setiap gestur, setiap tatapan, ia berikan sepenuh hati.

Blitz kamera menyambar beberapa kali, tapi kali ini ia tidak lagi terganggu. Ia menemukan ritme sendiri, seakan lelahnya sementara lenyap oleh tuntutan profesionalisme.

Para kru mulai berbisik di belakang layar. Mereka kagum pada ketekunan Yu Liang, bagaimana ia mampu tampil memukau meski sepanjang hari belum banyak istirahat.

Bahkan seorang asisten kecil pun menatapnya dengan kekaguman, tanpa sadar memberi senyum kecil pada Yu Liang.

Dalam hati, Yu Liang tersenyum tipis. Energi kecil itu cukup untuk melewati adegan ini. Ia tahu, setelah ini masih ada adegan lain yang menunggu, tapi untuk sesaat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam fokus dan aliran kerja.

Di balik sorot lampu dan kamera, dunia seakan mengecil menjadi satu titik: Yu Liang dan adegannya. Lelah boleh ada, tapi semangat dan ketekunan jauh lebih kuat.

Yu Liang menunduk di depan monitor kecil, mencoba menyamarkan rasa lelahnya. Setiap detik di lokasi syuting seakan menjadi ujian yang tak ada habisnya.

Blitz kamera terus menyambar, kru berlarian, dan suara sutradara menuntut kesempurnaan di setiap adegan.

Di belakangnya, Chen Wei, manajer yang terkenal galak, berdiri mengamati dengan mata dingin. Setiap gerakan Yu Liang seakan diperiksa, setiap jeda dianggap kelalaian.

“Yu Liang! Lagi-lagi kau terlalu lambat!” teriak Chen Wei dari seberang ruangan. Suaranya nyaring, tajam, membuat beberapa kru menahan napas.

Yu Liang menghela napas pelan, menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, membantah hanya akan menambah masalah. Setiap arahan dari Chen Wei terasa seperti ujian psikologis, tiap komentar menusuk, tiap tatapan menekan.

Saat Yu Liang melangkah untuk mengambil posisi berikutnya, Chen Wei melangkah lebih dekat, menyeringai. “Kau pikir aku tidak tahu kau belum makan? Tubuhmu lemah, aktingmu juga akan lemah. Jangan buatku menyesal memberimu peran ini.”

Jantung Yu Liang berdegup kencang, tapi ia menelan rasa takut dan sakitnya. Dengan napas yang bergetar sedikit, ia tetap melangkah, mengikuti koreografi adegan berikutnya.

Setiap kata dari Chen Wei seperti batu yang menekan pundaknya, tapi ia menahan diri untuk tidak jatuh.

Di sela-sela adegan, Yu Liang mencuri pandang ke meja makanan yang masih terselip di sudut. Nafasnya tercekat, ia ingin sekali mengambil sedikit energi dari situ, tapi Chen Wei seolah tahu dan berdiri di dekat meja, menunggu setiap gerakannya. Tekanan itu membuat Yu Liang semakin sadar: di dunia ini, ia tak boleh lengah sedikit pun.

Setelah hampir dua belas jam berada di lokasi syuting, udara di dalam studio terasa semakin berat. Lampu-lampu panas menyorot tanpa henti, membuat keringat menetes dari pelipis Yu Liang. Namun tak ada jeda.

Chen Wei memastikan itu.

“Ulang!” suara sutradara itu menggema lagi.

“Kau kehilangan emosi di detik dua belas! Aku sudah bilang, ekspresinya harus runtuh, bukan kosong!” Yu Liang memejamkan mata sejenak.

Helaan napasnya tertahan di tenggorokan, tapi ia tersenyum tipis sebelum kamera kembali merekam. Dalam dunia ini, wajah tenang adalah senjata, bukan perlindungan.

Adegan dimulai ulang.

Satu… dua… tiga detik.

Tatapannya jatuh pelan, bahunya menegang, air mata buatan jatuh tepat di waktu yang sama.

Sempurna.

Tepuk tangan kecil terdengar dari kru di belakang layar. Tapi sebelum sempat ia menarik napas lega, suara Chen Wei menimpali dingin,

“Bagus. Tapi jangan pikir kau sudah cukup. Adegan luar masih menunggumu.”

Yu Liang mengangguk pelan, senyum samar yang dipaksakan kembali terukir di wajahnya. Dalam hati, ia menertawakan kejamnya dunia hiburan ini. Ia tahu, rasa sakit dan lelah bukan alasan untuk berhenti, justru bahan bakar agar tetap hidup di bawah sorotan.

Ketika Chen Wei sibuk memeriksa jadwal berikutnya, Yu Liang mencuri kesempatan. Ia berpura-pura mencari naskah yang “hilang,” padahal tangannya menyelip ke balik meja properti. Dari sana, ia menemukan sepotong roti kering yang tadi disimpannya.

Dengan cepat ia menggigit sedikit, mengunyah tanpa suara sambil menunduk di balik kursi sutradara.

Rasa gurihnya hambar, tapi cukup untuk membuat perutnya berhenti protes.

Kau masih bisa bertahan hari ini, Liang, batinnya.

Di kejauhan, Chen Wei masih menatap tajam tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi.

..

Malam merayap pelan.

Studio mulai lengang, hanya tersisa beberapa kru yang membereskan peralatan dan lampu-lampu yang mulai dipadamkan satu per satu. Aroma debu bercampur dengan sisa parfum dan keringat, menandai akhir dari hari panjang yang melelahkan.

Yu Liang duduk di ruang ganti, menatap bayangannya di cermin. Cahaya redup dari lampu rias memantul di matanya yang memerah.

Make-up-nya sudah luntur, menyisakan garis lelah di bawah mata dan sisa foundation di rahang yang pecah karena keringat.

Ia menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat membuka botol air mineral di meja, seteguk kecil air mengalir melewati tenggorokannya, tapi dinginnya justru menimbulkan rasa perih. Terlalu banyak menahan lapar, terlalu sedikit tidur, terlalu banyak kata-kata tajam dari Chen Wei yang ia telan hari ini.

Suara notifikasi ponsel terdengar, pesan dari Chen Wei.

“Besok pagi jam enam, lokasi baru. Jangan terlambat. Dan kurangi ekspresi lembekmu itu.”

Yu Liang menatap layar tanpa ekspresi, lalu mematikan ponselnya tanpa membalas. Ia bersandar di kursi, menatap ke arah langit-langit ruang ganti yang catnya mulai mengelupas.

Dunia di luar mungkin menganggapnya sempurna. Tampan, sukses, penuh cahaya. Tapi di ruangan ini, hanya ada seorang pria muda yang sedang berjuang menahan diri untuk tidak runtuh.

“Besok… cuma satu hari lagi,” bisiknya, meski ia tahu kata itu sudah ia ucapkan berulang kali setiap malam.

Ia menunduk, menarik napas panjang, lalu menutup mata.

Kesepian terasa akrab, seperti teman lama yang tak pernah benar-benar pergi. Di luar, hujan mulai turun pelan, mengetuk jendela ruang ganti seolah ikut menyanyikan kelelahan yang tak terdengar.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Yu Liang membiarkan dirinya terdiam. Bukan karena kuat, tapi karena terlalu lelah untuk melawan.

..

Yáng Tiansheng Hospital, Hangzhou.

Setelah memeriksa pasien terakhirnya, Yang Xia menarik napas panjang. Lelah terasa menjalar dari ujung jari hingga tengkuk. Di sampingnya, sang asisten perawat tersenyum hangat.

“Dokter Xia, Anda sudah bekerja sangat keras hari ini.”

Yang Xia membalas dengan senyum tipis. “Apakah itu pasien terakhir?” tanyanya pelan.

“Ya, Dokter.”

“Baiklah, kalau begitu pergilah beristirahat,” ucap Xia lembut.

Perawat itu mengangguk cepat. “Terima kasih, Dokter. Anda juga jangan lupa istirahat. Oh ya… apakah Anda ingin saya belikan sesuatu sebelum pulang?”

Xia menggeleng pelan. “Tidak perlu, sebaiknya kau pergi dan isi perutmu. Kau juga pasti lelah.”

Perawat itu tertawa kecil. “Ya, ya, baiklah, Dokter Xia. Kalau begitu saya pamit.”

Yang Xia hanya mengangguk, menatap kepergian perawat itu hingga suara langkahnya menghilang di lorong.

Ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar dengung lembut dari mesin monitor di sudut. Ia meregangkan tubuhnya, menatap kosong pada berkas-berkas di meja.

Sesaat, pikirannya melayang.

Lalu suara itu datang lagi.

“Kau… bisa melihatku?”

Suara lemah itu bergema di benaknya, begitu jelas, seolah berasal dari dekat telinganya.

“Tolong aku…” Yang Xia membeku.

Jantungnya berdetak cepat, dingin menjalar di ujung jarinya.

Mimpi itu lagi.

Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi pertanyaannya kembali muncul di kepalanya.

Apa maksudnya?

Apakah dia tahu aku bisa melihatnya?

Xia menggigit bibir bawahnya. “Tidak mungkin,” bisiknya. Tapi keraguan itu tetap ada. Kalau begitu… apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Terpopuler

Comments

Om Ganteng

Om Ganteng

Thor... apa ini Yu Menglong?

2025-10-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!