Setelah beberapa lama duduk di samping pria yang masih pingsan, aku akhirnya memutuskan untuk mencari tahu di mana sebenarnya aku berada. Tidak ada jalan, tidak ada tanda kehidupan selain pepohonan yang menjulang dan kabut yang menutupi pandangan.
Udara di sini aneh.
Setiap kali aku menarik napas, ada semacam rasa dingin yang merambat dari dada hingga ke ujung jari—seperti hawa halus yang mengalir di dalam tubuhku.
Bukan oksigen… bukan udara biasa.
Entah apa, tapi rasanya hidup.
Aku berjalan perlahan menyusuri hutan, masih mengenakan jubah pinjaman itu. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar betapa anehnya tempat ini.
Cahaya samar berpendar di antara semak-semak.
Ketika kudekati, ternyata berasal dari tanaman kecil yang tumbuh di tanah lembap—batangnya transparan, daunnya berkilau seperti kaca, dan di ujungnya memancarkan cahaya biru lembut.
Bukan lampu. Bukan jamur fosfor. Tapi sesuatu yang... memancarkan energi sendiri.
“Kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku,” gumamku, antara kagum dan takut.
Seekor burung melintas di atasku, tapi bentuknya lebih mirip campuran antara rajawali dan ular. Sayapnya panjang, tubuhnya bersisik halus, dan di lehernya berdenyut cahaya hijau.
Aku terpaku menatapnya terbang di antara kabut, meninggalkan jejak cahaya seperti bintang jatuh.
“Ya ampun… ini bukan Bumi.”
Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, lirih tapi pasti.
Aku terus berjalan, mengikuti suara air mengalir. Hutan ini tampak begitu indah sekaligus berbahaya. Setiap langkah seperti memasuki lukisan hidup yang bernafas. Tapi semakin dalam aku melangkah, semakin berat udara yang kuhirup, seolah tekanan di sekitarku meningkat.
Sampai akhirnya—
Aku melihatnya.
Seekor kadal raksasa.
Tubuhnya setinggi dua manusia dewasa, kulitnya hijau kelam dengan duri di sepanjang punggungnya. Matanya berwarna kuning, berkilat tajam seperti bara.
Makhluk itu tengah melahap sesuatu—seekor rusa besar, atau mungkin makhluk setempat yang serupa. Suara daging disobek dan tulang retak terdengar jelas di udara.
Aku berdiri mematung di balik semak, menahan napas.
“Jangan lihat aku… jangan lihat aku…” bisikku pelan.
Namun nasib lagi-lagi menertawakanku.
Kakiku menginjak ranting kering.
Crack!
Kadal itu berhenti makan.
Kepalanya berputar perlahan ke arahku.
Tatapan matanya menembus kabut—dan tepat mengenai mataku.
“Oh tidak…”
Aku langsung berbalik dan berlari sekencang mungkin.
Tanah bergetar di belakangku, ranting patah, dan suara langkah berat mengikuti. Setiap kali aku menoleh, aku melihat mulut raksasa itu terbuka, lidahnya menjulur, air liur menetes dari taringnya yang panjang.
“Aku cuma manusia biasa! Aku nggak enak, sumpah!!” teriakku tanpa sadar.
Angin menghantam wajahku, napasku memburu, dadaku panas terbakar kelelahan. Tapi makhluk itu terus mengejar, tanpa tanda akan berhenti. Sampai akhirnya—di sela pepohonan, aku melihat sebuah rumah kecil di kejauhan.
Rumah kayu tua, berdiri miring tapi utuh, dengan atap berlumut dan pintu yang setengah terbuka.
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke sana, hampir tersandung akar, dan menerobos masuk sambil membanting pintu.
BRAK!
Aku bersandar di dinding, napas tersengal-sengal. Jantungku berdebar kencang, keringat menetes deras.
Dari jendela kecil di samping, aku bisa melihat bayangan kadal raksasa itu mendekat… langkahnya berat, suaranya seperti gemuruh.
Tapi anehnya, ketika jaraknya tinggal beberapa meter—makhluk itu berhenti.
Ia menatap rumah itu beberapa detik. Kepalanya miring ke satu sisi, mengeluarkan suara rendah seperti geraman… lalu perlahan, berbalik dan pergi.
Hanya itu.
Aku masih berdiri terpaku, tidak berani bergerak.
Butuh waktu beberapa menit sebelum aku yakin makhluk itu benar-benar sudah hilang.
Aku menatap sekeliling rumah itu. Debu tebal di mana-mana, sarang laba-laba di sudut, tapi… ada sesuatu yang aneh.
Udara di sini berbeda. Lebih hangat, lebih tenang, dan anehnya... terasa seperti melindungi.
Seolah rumah ini bukan sekadar bangunan tua—tapi tempat yang dijaga oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Aku menghembuskan napas panjang, tubuhku masih gemetar.
Baru dua jam sejak aku tiba di dunia ini, dan aku sudah hampir mati dua kali.
Aku tersenyum pahit, menatap langit di luar jendela yang kini mulai gelap.
“Selamat datang di dunia baru, Shen Hao,” bisikku pelan.
“Semoga besok aku masih hidup.”
Hari demi hari berlalu.
Aku tidak tahu pasti berapa lama aku bertahan di hutan itu — mungkin tiga, mungkin lima hari. Di dunia ini, siang dan malam tidak selalu terasa sama seperti di Bumi. Kadang malam datang terlalu cepat, kadang pagi terasa terlalu lama.
Aku bertahan dengan hal-hal sederhana: air dari sungai kecil di belakang rumah tua itu, buah-buahan yang kukumpulkan dari pohon, dan… beberapa umbi yang kupikir bisa dimakan. (Catatan penting: dua di antaranya tidak bisa. Aku tahu setelah perutku menolak keras dan memaksaku bertapa di belakang rumah seharian.)
Rumah tua itu menjadi tempat perlindunganku.
Entah kenapa, tidak ada makhluk besar yang berani mendekat. Bahkan burung-burung aneh yang suka teriak di malam hari pun tak pernah hinggap di atapnya. Setiap kali aku menyalakan api kecil di dalam, udara hangatnya seolah menyelimuti tubuhku dengan lembut — tidak seperti api biasa.
Ada saat di mana aku hanya duduk di depan rumah itu, menatap hutan yang diselimuti kabut keperakan. Cahaya di antara pepohonan kadang membentuk pola aneh, seperti pusaran kecil yang menari pelan di udara. Kalau aku fokus, aku bisa melihat debu cahaya mengalir seperti arus sungai — seolah dunia ini bernapas.
“Jadi begini rasanya hidup di dunia fantasi…”
Aku terkekeh kecil, setengah tidak percaya.
Malam keempat, aku mulai mencoba berbicara pada diri sendiri hanya agar tidak gila.
“Shen Hao, kamu hebat juga. Lima hari di dunia lain, belum mati, belum jadi santapan kadal.”
Lalu, setelah jeda panjang, aku menatap ke atas dan menambahkan lirih,
“Tapi… kalau kamu bisa makan mie instan sekarang, kamu pasti menangis bahagia.”
Tawa kecilku terputus saat terdengar suara dari luar.
Sebuah langkah kaki, berat tapi tenang, mendekat perlahan dari arah hutan.
Refleks, aku meraih sebatang kayu di samping perapian. Satu-satunya “senjata” yang kupunya — sekaligus alat pengaduk api. Aku menahan napas.
Suara ranting patah.
Lalu… bayangan seseorang muncul di depan rumah.
Seorang pria tua, dengan rambut abu-abu yang diikat ke belakang, janggut pendek, dan pakaian sederhana berwarna cokelat kusam. Di pundaknya tergantung keranjang anyaman penuh tanaman obat. Tatapannya tenang tapi tajam, seperti orang yang sudah lama hidup di alam liar.
Ketika matanya bertemu denganku, aku refleks berujar:
“Jangan makan aku! Aku… manusia!”
Pria tua itu memiringkan kepala, seolah berusaha memahami. Lalu, dengan nada datar, ia menjawab dalam bahasa yang asing — namun anehnya, aku bisa merasa maknanya.
“Kalau aku mau makan manusia, sudah dari dulu.”
Aku membeku.
Bukan karena takut, tapi karena sadar: aku mengerti kata-katanya. Padahal aku yakin itu bukan bahasa Bumi mana pun.
Ia menatapku dari ujung kaki sampai kepala, lalu menunjuk jubah biru yang kupakai.
“Itu pakaian murid sekte… dari mana kau dapatkan?”
“Uh… pinjam,” jawabku jujur. “Sementara.”
Ia menghela napas panjang, lalu menatap langit sebentar. “Anak muda bodoh yang tersesat, rupanya. Ayo, ikut aku sebelum malam datang.”
Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik, berjalan perlahan menyusuri jalan kecil di antara pepohonan. Entah kenapa, kakiku bergerak sendiri mengikuti.
Mungkin karena aku sudah terlalu lelah sendirian.
Atau mungkin, naluriku tahu — pria tua itu bukan orang biasa.
Begitulah aku bertemu Tuan Bao.
Pria tua aneh yang kemudian menjadi guruku, pelindungku… dan orang pertama yang memberiku alasan untuk tetap hidup di dunia yang menolak logika ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments