Kantor Pratama Group — pukul sebelas siang
Langit siang tampak terik di luar jendela kaca besar kantor Pratama Group. Di ruangan luas yang rapi dan modern itu, Bayu duduk di balik meja kerjanya, memandangi layar laptop tanpa benar-benar melihat apa pun.
Berlembar-lembar laporan keuangan menumpuk di meja, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Tangan kirinya menekan pelipis rasa nyeri itu kembali, sama seperti pagi tadi sebelum ia pingsan.
Seharusnya ia masih di rumah, beristirahat seperti saran Sekar. Tapi Bayu tak tahan berada di sana terlalu lama. Ia tahu Sekar memperhatikannya dengan tulus, dan justru itulah yang membuatnya semakin sesak karena ia tahu, ada rahasia yang ia sembunyikan dari wanita yang begitu tulus mencintainya itu.
Ia menarik napas panjang. Udara kantor yang biasanya menenangkan terasa begitu berat hari ini.
“Pak Bayu?”
Suara sekretarisnya, Dira, memecah keheningan.
Bayu mengangkat kepala pelan. “Ada apa, Dira?”
“Ini dokumen kontrak dari pihak Aruna Textile, Pak. Mereka minta tanda tangan Bapak hari ini.”
Bayu mengangguk, mengambil map itu. “Baik. Taruh saja di meja.”
“Baik, Pak.”
Dira berbalik hendak pergi, namun sempat menoleh lagi. “Oh, ya… ada seseorang yang ingin bertemu Bapak. Katanya dia teman lama.”
Bayu mengerutkan dahi. “Teman lama? Siapa namanya?”
Dira membuka catatan di tangannya. “Dia hanya bilang… Alira.”
Bayu langsung terdiam.
Seketika, jantungnya berdegup kencang terlalu cepat, terlalu keras. Seolah darahnya berhenti mengalir untuk sesaat.
“Bapak ingin saya suruh menunggu atau,”
“Tidak.” Bayu segera memotong, nadanya tajam namun terkontrol. “Katakan padanya, saya tidak bisa ditemui. Apa pun urusannya, suruh kirim lewat email.”
Dira tampak ragu, tapi segera mengangguk. “Baik, Pak.”
Ia keluar dengan langkah cepat, meninggalkan ruangan yang kini kembali sunyi.
Bayu menutup matanya. Nafasnya terasa berat.
Alira lagi.
Kenapa wanita itu tidak berhenti mengusiknya?
Bukankah sudah cukup ia hancurkan semuanya dulu?
Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin wajah itu muncul di benaknya, wajah cantik dengan senyum licik, mata tajam yang selalu tahu bagaimana menekan titik lemahnya.
“Bayu…”
Suara itu menggema lembut tapi menghantui.
Bayu membuka mata, menatap sekeliling. Ruangannya kosong, tapi suara itu jelas terdengar.
“Kau masih berpura-pura kuat, ya?”
“Padahal aku tahu kau masih takut akan malam itu…”
Bayu berdiri mendadak, kursinya berderit. “Cukup!”
Tapi suara itu tak berhenti. Ia mendengar tawa pelan, samar, seperti berasal dari balik dinding kaca.
“Kau pikir kau bisa menyingkirkan ku semudah itu, Bayu? Aku masih di sini…”
Bayu menatap ke arah kaca besar yang memantulkan bayangannya sendiri tapi kali ini, bukan hanya dirinya yang terlihat.
Di belakang pantulan tubuhnya, samar-samar terlihat sosok wanita bergaun merah, berdiri dengan kepala sedikit miring dan senyum di bibirnya.
Alira.
Bayu terpaku. Matanya melebar. Tubuhnya terasa kaku seolah darahnya membeku.
“Kau berhutang padaku, Bayu,” suara itu berbisik. “Dan aku akan menagihnya, satu per satu…”
Bayu menatap kaca itu lebih dekat. Tapi sesaat kemudian sosok itu menghilang.
Hanya pantulan dirinya sendiri yang tersisa.
Ia memegang kepalanya, tubuhnya gemetar. Nafasnya memburu.
Keringat dingin menetes dari pelipis, menodai kemeja kerjanya yang rapi.
“Tidak… ini hanya bayangan…” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.
Pintu diketuk lembut.
“Pak Bayu?” Dira masuk lagi, wajahnya sedikit cemas. “Bapak baik-baik saja? Saya dengar Bapak bicara sendiri.”
Bayu buru-buru menegakkan tubuh. “Aku… aku baik, Dira. Hanya pusing sedikit. Kau boleh keluar.”
Dira menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk dan menutup pintu kembali.
Begitu pintu tertutup, Bayu duduk di kursinya, menunduk dalam. Ia menekan pelipis lebih keras.
Rasa sakit itu kini berdenyut lebih tajam, disertai suara tawa kecil yang samar, menggema di benaknya.
“Kau pikir bisa lari dariku, Bayu?”
“Kau tidak tahu apa yang menunggumu…”
Bayu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya benar-benar kehilangan kendali.
Dan entah kenapa di tengah semua kekacauan itu satu wajah lain muncul dalam pikirannya. Wajah Sekar.
Tatapan lembut, penuh kejujuran, dan kasih yang tidak layak ia balas dengan kebohongan.
“Sekar…” bisiknya lirih, penuh penyesalan.
Namun dalam bayangan di benaknya, suara Alira kembali berbisik dengan nada sinis:
“Istrimu? Dia tidak akan pernah mengenal Bayu yang sebenarnya…”
Bayu menatap ke luar jendela, matanya kosong.
Di kejauhan, langit mulai mendung. Ia tahu, badai yang lebih besar akan datang bukan hanya di luar sana, tapi juga di dalam dirinya sendiri.
...
Mobil hitam berhenti perlahan di depan halaman rumah megah itu. Dari dalam, Sekar melangkah turun dengan langkah pelan, membawa tas kecil di tangannya. Sopir pribadinya, Pak Seno, segera menutupkan pintu dan menunduk sopan.
“Terima kasih, Pak Seno,” ucap Sekar lembut.
“Sama-sama, Bu Sekar. Mau saya parkirkan mobilnya?”
“Ya, silakan. Saya masuk dulu.”
Langit sore berwarna jingga pucat. Burung-burung kembali ke sarang, dan udara mulai terasa dingin. Tapi entah kenapa, Sekar merasakan hawa aneh begitu ia melangkah masuk ke rumah. Suasana hening terlalu hening.
Biasanya, kalau Bayu belum pulang, rumah itu terasa sepi tapi damai. Tapi sore ini, ada sesuatu yang lain.
Langkahnya terhenti di ruang tamu.
Suara pintu kamar kerja terbanting dari arah dalam. Sekar terkejut, dan sebelum ia sempat memanggil, Bayu sudah muncul dari sana mengenakan kemeja putih yang tampak kusut, rambut sedikit berantakan, wajahnya pucat dan mata sayu.
Namun yang paling membuat Sekar terdiam bukanlah lelahnya Bayu, melainkan tatapan dingin di mata pria itu.
“Mas…” Sekar mencoba tersenyum. “Baru pulang?”
Bayu hanya melirik sekilas. “Kau dari mana?” tanyanya datar.
Sekar tersentak kecil. “Aku… aku dari butik Tante Susan. Ada urusan sebentar.”
“Tanpa bilang?” potong Bayu cepat. Nada suaranya tidak tinggi, tapi jelas ada emosi yang ia tahan. “Kau pergi begitu saja, Sekar. Sopir pribadi menjemput, dan aku bahkan tidak tahu ke mana istriku pergi.”
Sekar menunduk. “Aku minta maaf, Mas. Aku cuma takut kalau aku bilang, Mas tidak mengizinkan… jadi aku langsung pergi.”
Bayu mendengus pelan, menatap Sekar lama seolah menimbang sesuatu dalam benaknya. “Kau bahkan masih memikirkan izin, Sekar. Tapi tidak memikirkan waktuku di kantor yang hancur hari ini.”
“Kenapa, Mas? Apa ada masalah di kantor?” tanya Sekar hati-hati.
Bayu tak menjawab. Ia hanya melewati Sekar begitu saja, menuju tangga. Langkahnya berat, tapi cepat.
Sekar sempat ingin menyentuh lengan suaminya, tapi Bayu menghindar.
“Mas…” panggilnya lirih.
Bayu berhenti sebentar di anak tangga pertama, tanpa menoleh.
“Sekar, aku sedang tidak ingin bicara,” ucapnya dingin.
Lalu ia naik ke lantai atas, membuka pintu ruang pribadinya, dan menutupnya dengan suara keras.
Keheningan kembali memenuhi rumah.
Sekar berdiri di tempat yang sama cukup lama, menatap tangga kosong dengan dada sesak.
Baru kali ini… aku melihat Mas Bayu seperti itu.
Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar.
Biasanya Bayu selalu lembut. Ia jarang bicara kasar, selalu sopan, bahkan jika sedang kesal. Tapi hari ini ada sesuatu yang lain di sorot matanya.
Kelelahan, ketegangan… dan sesuatu yang tak bisa Sekar pahami.
Perlahan Sekar melangkah ke kamar, duduk di tepi ranjang. Ruangan itu dingin, sunyi, hanya terdengar suara detik jam di dinding.
Matanya memandang kosong pada foto pernikahan mereka di atas meja. Senyum Bayu dalam foto itu tampak hangat berbanding terbalik dengan dinginnya pria yang ia temui barusan.
Ia menunduk.
Mas Bayu selalu baik… tapi tak pernah menyentuhku. Tak pernah sekalipun mendekat seperti suami lain pada istrinya. Kini bahkan bicara pun enggan.
Air mata mulai menggenang di pelupuknya.
Sekar tahu, meminta uang pada Bayu dalam keadaan seperti ini… mustahil.
Bahkan sekadar menyebut nama Tante Susan pun tadi sudah membuatnya terasa bersalah.
Malam pun datang perlahan.
Lampu ruang tamu dimatikan satu per satu oleh pembantu rumah. Sekar duduk di kamar, masih mengenakan pakaian yang sama, menatap jendela yang gelap.
Dari kamar Bayu di seberang lorong, tidak terdengar suara apa pun.
Pintu masih tertutup rapat sejak sore.
Sekar menggenggam ponselnya erat.
Jarinya sempat menulis pesan pada Ibu mertuanya, yang kini tinggal di Jepang.
“Bu, Mas Bayu kelihatannya sedang tidak baik…”
Tapi ia hapus lagi.
Ia takut membuat sang ibu cemas.
Ia tahu, ibu mertuanya sayang sekali pada Bayu, dan jika mendengar anaknya sakit atau marah, ia pasti langsung kepikiran.
Sekar menarik napas panjang, menatap layar kosong.
Ia juga sempat ingin menghubungi Rama, kakak Bayu pria dewasa yang selalu terlihat damai bersama istrinya, Tania.
Tapi Sekar tahu betul, rumah tangga Rama dan Tania begitu harmonis, dan ia tak ingin membawa beban ke sana.
Akhirnya ia meletakkan ponselnya di meja, menatap langit-langit kamar. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh.
Sunyi.
Hanya suara hujan yang mulai turun pelan di luar jendela.
“Mas Bayu…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”
Ia memejamkan mata, tubuhnya bergetar pelan.
Dalam keheningan itu, hanya satu hal yang ia tahu:
Bayu menyimpan sesuatu.
Dan rahasia itu perlahan sedang mengubah segalanya termasuk cinta yang selama ini ia jaga dengan ketulusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Sharah ArpenLovers Khan
Kasihan Sekar bingung harus gmn karena Bayu tidak mau bicara 🥲🥲
2025-10-11
2
Sharah ArpenLovers Khan
Di Tunggu updatenya Author kesayangan kuuu semangat terus yaa 🥰🥰🤗🤗💪💪
2025-10-11
1
Wang Lee
Semangat🌹
2025-10-21
1