SUARA DI KAMAR TANTE

Lampu kembali menyala, Kemala yang menyadari jika dirinya kini terlalu dekat, bahkan tak berjarak dengan Tama.

"Ma-maafkan aku, Om. A-aku gak bermaksud..."

"Gak apa-apa, Mala. Sudah nyala lagi, kamu jangan takut ya!" ucap Tama seraya memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah akibat rasa gugup dan juga menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Bahkan juniornya masih berdiri tegak gara-gara pelukan erat gadis itu.

"Kalau gitu Om ke kamar dulu. Kalau ada apa-apa, panggil saja! Mie nya dihabiskan, tuh sudah mekar," ucap Tama. Ia pun bergegas menuju kamar, tanpa menoleh lagi pada Kemala yang merasa gugup dan salah tingkah.

Di dalam kamarnya, Tama langsung membuka cela na. Rasanya begitu sesak.

"Huffhh, akhirnya kau bebas juga," ucap Tama seraya mengelus ular piton yang masih berdiri tegak itu.

Wajah pria itu memerah. Antara kesal dan malu, semoga saja Kemala tidak menyadari hal ini.

"Aarghh, sial! Erina kemana sih? Lama banget gak pulang-pulang? Gak tahu apa suaminya tersiksa seperti ini?"

Dengan kesal, ia pun masuk ke dalam kamar mandi di kamarnya. Tama meraih sabun kemudian mulai bermain dengan benda yang sengaja ia lubangi itu.

"Aaahhh..." lirih Tama, suaranya terdengar begitu menikmati. Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Kemala yang polos namun sangat menggoda.

Langkah kaki Kemala terdengar pelan dan ragu saat memasuki gerbang kampus Universitas Pakuan, Bogor. Matahari pagi menyinari blouse putih dan celana bahan gelap yang membentuk penampilannya yang sederhana. Rambut hitam panjangnya hanya diikat seadanya, tanpa aksesoris mencolok seperti kebanyakan mahasiswi lainnya. Ia menggenggam erat tali ranselnya, menunduk sepanjang jalan menuju gedung Fakultas Management ekonomi dan bisnis.

Hari kedua, dan rasanya masih sama canggungnya dengan kemarin. Gedung-gedung tinggi yang modern, papan digital pengumuman yang silih berganti, hingga mahasiswa-mahasiswi yang lalu-lalang dengan outfit stylish, laptop mahal, earphone wireless, dan tumbler bermerek. Ini dunia yang jauh dari kampung tempat Kemala dibesarkan.

Meski ia anak juragan kebun teh dan peternakan di kampung, hidupnya selalu bersahaja. Di sana, ia terbiasa mengenakan sandal jepit saat ke warung dan nongkrong bareng teman-temannya yang mayoritas berasal dari keluarga sederhana.

Saat ia masuk ke ruang kelas Manajemen Sumber Daya Manusia B, percakapan riuh langsung mereda.

Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Kemala pura-pura tidak melihat dan mempercepat langkahnya menuju kursi kosong di barisan dekat jendela, berharap bisa larut dalam suara lalu lintas atau semilir angin pagi.

Tapi harapan itu buyar saat dua mahasiswa berjalan mendekat.

"Eh, Lo anak pindahan itu ya?" tanya salah satu dari mereka dengan rambut disasak dan kemeja oversize.

Namanya Reno, dan senyum genitnya langsung bikin risih.

"Gaya Lo kampungan banget, tapi mukanya manis juga.

Nama Lo siapa?"

"Kiwww... jangan mau sama dia, mending ngobrol sama gue aja," timpal yang satunya, Adit, memakai jaket varsity meski suasana kelas cukup panas. Ia tertawa kecil, menunjuk Reno sambil nyengir.

Kemala menunduk, tak tahu harus membalas apa.

Wajahnya memerah. Bukan karena tersipu, tapi karena malu dan canggung bercampur jadi satu. Ia hanya ingin tenang, belajar, lalu pulang.

Beberapa mahasiswa lain mulai menoleh, sebagian ikut menyahut, tertawa, dan menggodanya.

"Halah, kampung banget! Rambut panjang polos, diiket doang. Diwarnain dikit dong, biar cocok sama vibes kampus kita!" cibir yang lain, dengan suara setengah bercanda tapi menusuk.

"Eh, lo punya pacar gak sih? Mukanya tuh tipe-tipe yang bisa bikin cowok susah move on. Kayak kembang desa gitu," goda yang lainnya. Dan candaan itu berhasil membuat seisi kelas tertawa. Kemala makin menunduk, tangannya saling menggenggam di pangkuan. Ia ingin menghilang dari dunia ini.

"BRAK!!"

Suara gebrakan keras di atas meja memecah suasana. Semua terdiam. Bahkan Kemala tersentak dan menoleh.

Di depannya berdiri seorang mahasiswi dengan rambut pendek berantakan dan hoodie yang hanya dililitkan di pinggang. Wajahnya tajam, dengan tatapan menusuk. Di belakangnya berdiri dua mahasiswi lain, satu berkacamata dan satu lagi dengan rambut lurus panjang yang tampak rapi.

"Serius? Lo gangguin cewek baru? Dasar gak punya otak," ucap gadis itu tajam. Suaranya dingin tapi membungkus amarah.

Reno melotot. "Yola lagi. Sok heroik banget sih lo!"

"Karena lo kebanyakan nonton TikTok misoginis!"

balas Yola sengit, mengepalkan tinjunya ke arah Reno.

"Mau gua viralin lo, ha?!"

Suasana makin tegang, sampai Adit buru-buru menarik Reno. "Udah, bro. Gak usah bikin ribut. Ntar kena laporan ke prodi."

Reno akhirnya mundur, meski masih melirik sinis.

Teman-temannya pun bubar perlahan, meninggalkan Kemala yang masih terpaku di tempat.

Yola berbalik, menatap Kemala dengan sorot yang tetap tajam namun kini lebih bersahabat. "Gue benci cowok yang suka nyari muka pakai cara murahan. Lo gak salah, ngerti?" Kemala mengangguk kecil. "Makasih... ehm..."

"Yola. Gue Yola. Ini Kiren," katanya sambil menunjuk gadis berkacamata. "Dan itu Sintya."

Kiren mengangguk sopan. Sintya tersenyum kecil. Mereka jauh dari bayangan Kemala soal mahasiswa kota yang angkuh dan sok eksklusif.

Kemala menyodorkan tangannya, pelan. "Aku... Kemala."

Yola menyambutnya dengan mantap. "Mahasiswa pindahan ya?"

"Iya... dari Cipanas. Aku pindah karena sekarang tinggal sama Tanteku di perumahan A," ujarnya menunduk malu.

"Gak usah malu. Gua juga dulu dari pinggiran Cileungsi, gak punya siapa-siapa. Tapi sekarang? Setidaknya gua punya nyali," ucap Yola, setengah bercanda.

"Kamu hebat...," lirih Kemala.

Yola nyengir. "Gak juga. Cuma gak pengin diinjak. Di kampus ini banyak yang cuma jago branding doang. Kalau lo diem, mereka bakal nginjak terus."

Kemala tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak kemarin. "Makasih, Yola..."

"Nanti pas break, duduk bareng kita aja, ya? Lo butuh support system."

"Dan mental kuat," timpal Kiren.

"Tenang. Hari ini mereka ngomongin lo, besok

Mereka lupa," kata Sintya sambil mengipas wajahnya santai.

Hari itu, suasana kelas terasa lebih ringan. Meskipun masih ada lirikan aneh dari beberapa mahasiswa, Kemala merasa tidak sendirian lagi. Ia punya tiga orang teman baru yang mungkin terlihat urakan, tapi nyata dan tulus.

Saat jam istirahat tiba, Yola menggandeng tangan Kemala keluar kelas.

"Ayo, gua ajak ke kantin paling enak dan paling murah se-kampus. Lo harus nyobain pecel lele sambel ijo-nya," ujar Yola semangat.

Kemala tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak datang ke kota ini, ia merasa bisa bernapas lebih lega.

Ternyata, tidak semua orang kota itu dingin dan arogan.

Langit mulai meredup. Halaman kampus yang tadinya ramai kini mulai lengang. Beberapa mahasiswa masih duduk di taman atau menunggu jemputan. Di antara mereka, Kemala berdiri canggung di pinggir jalan kampus, memeluk ransel di dada. Penampilannya tetap sederhana, kontras dengan teman-teman seangkatannya yang tampil seperti selebgram.

Kiren melirik ke arah jalan dan mengerutkan kening. Sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan gerbang utama. Seorang pria turun dari kemudi-tinggi, berkulit bersih, potongan rambut fade modern, mengenakan kemeja hitam yang digulung rapi hingga siku, memperlihatkan lengan berurat.

"Kiwww... gaya lo kayak anak kost hemat, tapi

Dijemput cogan," bisik Kiren geli.

Kemala merona. "Itu... Om aku."

Kiren mengangkat alis, hendak bertanya lebih lanjut, tapi Kemala buru-buru melambaikan tangan dan berjalan cepat

Tama menyambutnya dengan senyum. "Udah makan?"

Kemala menggeleng pelan. "Belum, Om..."

"Makan di café aja, yuk. Sekalian Om mau mampir ke sana cek operasional."

"Gak usah repot-repot, Om..."

"Bukan repot. Sekalian jalan. Yuk."

Kemala hanya mengangguk, pasrah. Di dalam hatinya, ia masih canggung. Tapi entah kenapa, sosok Tama yang tenang membuatnya merasa sedikit lebih aman.

Perjalanan menuju café hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. D'Lux Café berdiri di sebuah sudut kota Bogor yang cukup strategis, meski suasananya tampak sepi saat mereka tiba. Beberapa kendaraan terparkir di depan, namun suasana dalam café terlihat lengang.

Tama membuka pintu, dan aroma kopi langsung menyambut hidung Kemala. Café itu tak terlalu besar, namun interiornya nyaman bernuansa kayu hangat dengan sentuhan lampu gantung industrial yang mempermanis suasana.

"Ini Kemala," ucap Tama begitu mereka masuk. Dua

Perempuan yang sedang mengelap meja dan satu perempuan muda yang berdiri di balik meja kasir menoleh. "Keponakan Erina. Mulai hari ini, dia akan sering mampir ke sini, jadi tolong bantu kalau dia butuh apa-apa!"

Mbak Yanti, perempuan dewasa itu langsung tersenyum ramah. "Wah, cantik ya. Mirip Mbak Erina waktu muda."

"Halo, Kemala. Aku Anis. Ini Kiki," sahut salah satu perempuan muda, menyodorkan tangan.

Kemala hanya tersenyum sopan dan menunduk, menjabat tangan mereka satu per satu dengan gerakan kikuk. Dunia ini benar-benar berbeda dari kesehariannya di kampung.

Setelah memperkenalkan staf dapur-Idoy dan Wandi, Tama lalu meminta Idoy menyiapkan masakan spesial untuk Kemala.

"Masakan spesial? Wah, aku jadi gak enak," gumam Kemala pelan.

"Biasa aja. kamu harus sering kemari dan cobain semua menu di sini," jawab Tama santai sambil menarik kursi untuknya.

Obrolan di antara mereka berjalan pelan. Kemala sesekali menjawab dengan anggukan atau jawaban pendek. Tama memperhatikan raut wajah keponakannya itu. Ada keengganan, sekaligus kerapuhan, yang terpancar dari setiap lirikan mata Kemala.

"Betah di kampus baru?" tanya Tama sembari menyeruput air mineral. Kemala menunduk. "Masih... belajar menyesuaikan diri, Om."

"Ada yang usil?"

Kemala menggeleng pelan, meski dalam hatinya ia mengingat jelas godaan dari Reno dan kawan-kawan tadi siang. Ia enggan membuat keributan.

Beberapa menit kemudian, Idoy datang membawa sepiring nasi steak lada hitam dan semangkuk sup krim jagung.

"Wah... banyak sekali, Om," ucap Kemala terbelalak.

"Biar kenyang," jawab Tama sambil tersenyum tipis.

Ia sendiri hanya memesan secangkir kopi hitam.

Selama beberapa menit, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Kemala makan perlahan, berusaha tidak tampak rakus meski perutnya sudah keroncongan sejak jam pelajaran terakhir tadi. Selain karena harus jaga image, ia juga kurang berselera dengan menu yang disajikan itu.

Ya, meskipun orang tuanya banyak uang, namun Kemala tak biasa makan makanan dengan menu ke barat-baratan itu.

'Nympe rumah, aku harus bikin mie instan nih yang super pedes,' gumamnya.

Setelah makan hampir selesai, barulah Tama kembali angkat bicara.

"Erina mungkin akan sedikit sibuk karena harus bolak-balik ke Puncak. Ngurusin surat-surat hak asuhmu, katanya. Jadi mungkin beberapa hari ini, Om yang bakal antar jemput kamu sekolah. Nggak papa, ya?"

Kemala tertegun sejenak sebelum mengangguk pelan. "Iya, Om. Maaf ya kalau malah nyusahin..."

"Enggak kok, Mala. Erina senang banget kamu tinggal sama kita. Dia udah nganggep kamu kayak adiknya sendiri."

Kemala tersenyum, meski terasa sedikit pahit di ujung lidahnya. Sejak kematian orang tuanya satu bulan yang lalu akibat kecelakaan, hidupnya terasa seperti perahu hanyut di tengah samudra. Ia rapuh dan terpuruk setiap kali mengingat itu.

"Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan. Ngerti?" ujar tama lagi, kali ini suaranya lebih lembut.

Kemala kembali mengangguk, tidak berani menatap pria di hadapannya itu terlalu lama. Ada sesuatu dalam sorot mata Tama yang membuatnya gelisah, meskipun pria itu selalu bicara dengan nada tenang dan perhatian. Ia tahu, hubungan mereka bukan darah langsung-Tama hanya suami dari tante kandungnya. Tapi tetap saja, perhatian Tama akhir-akhir ini terasa... berlebihan.

Yang tidak Kemala tahu, adalah bahwa Tama sendiri sedang berjuang dengan pikirannya. Ia yang awalnya menolak keinginan Erina untuk mengasuh Kemala, kini tak punya banyak pilihan. Ekonominya sedang kritis. Investasinya di bisnis digital gagal, utang mulai menumpuk, dan café ini pun merugi setiap bulan.

Malam itu, saat Erina menyodorkan berkas surat warisan dari orang tua Kemala, ia terpaksa menyerah.

"Kita nggak akan bisa ambil warisannya, Mas," kata

Erina lembut, sambil menyesap teh hangat di beranda rumah mereka. "kekuatan hukum atas warisan itu sangat kuat. Kemala adalah ahli waris satu-satunya. Tapi kalau Kemala tinggal sama kita, kita kan bisa bantu kelola. Peternakan dan perkebunan itu bisa kasih pemasukan. Lagi pula, dia nggak punya siapa-siapa lagi..."

"Jadi maksud kamu...?"

"Anggap saja dia ATM berjalan," lanjut Erina tanpa ragu.

Ucapan itu membuat hati Tama bergeremat, ia tentu tak suka dengan sikap istrinya yang culas. Tapi pria itu tahu, kondisi keuangan mereka sudah di ambang kehancuran. Jika mau selamat, satu-satunya jalan adalah membuat Kemala betah.

"Jangan memanfaatkannya berlebihan. Kita harusnya mensupport dan menyayanginya dengan tulus. Kemala sekarang yatim piatu, dia butuh kita, keluarganya!" tegas Tama malam itu.

"Iya tenang aja. Aku tahu kok. Mana mungkin aku memanfaatkannya berlebihan. Dia anak dari kakakku, tentu aku sangat menyayanginya," ucap Erina penuh intrik. Tapi sebenarnya dalam hatinya sedang menyusun rencana. Meskipun tidak bisa secara instan, namun Erina akan membuat Kemala betah bersamanya lalu secara perlahan, menguasai aset-aset milik gadis itu.

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu teras masih menyala remang, menyoroti sosok Tama yang berdiri dengan jaket telah rapi membungkus tubuhnya. Satu koper kecil berada di tangan kanannya. Di depannya, Erina mengantar dengan wajah datar tapi penuh perhitungan.

"Ibu sakit, Mas harus pulang kampung, Dek!" ujar Tama terburu-buru sambil mengecek ponselnya yang baru saja berdering beberapa menit lalu.

"Oh yaudah, Mas. Berangkat aja. Salam ya untuk ibu

dan semua yang ada di sana. Maaf aku nggak bisa ikut, kasihan Kemala kalau ditinggal," jawab Erina, pura-pura menyayangkan, padahal sorot matanya justru tampak lega.

Tama mengangguk. Ia terlihat ragu, seperti

menimbang sesuatu. Namun keadaan membuatnya tidak

punya banyak pilihan.

Erina masuk ke dalam kamar, lalu keluar lagi sambil membawa segepok uang yang dibungkus amplop cokelat.

"Ini, Mas."

Tama mengerutkan dahi. "A-apa ini?"

"Ini uang sepuluh juta. Kamu bawa ya buat jaga-jaga,"

ucap Erina ringan seolah memberi uang jajan.

Tama memicingkan mata, curiga. "Dari mana kamu

dapat uang sebanyak ini?"

Erina tersenyum kecil, seolah sudah menyiapkan jawaban sedari tadi. "Dari siapa lagi kalau bukan dari Kemala, Mas. Mang Asep tadi sudah mencairkan seratus juta untuk kebutuhan Kemala selama di sini. Katanya kalau ada keperluan lain, tinggal bilang aja. Asal jelas pengeluaran dan pemasukannya."

Nada bicara Erina begitu enteng, seperti tidak sedang membicarakan anak yatim piatu yang baru beberapa hari tinggal di rumah mereka. Dan dari caranya menatap uang itu, terlihat jelas ia tidak berniat menggunakannya semata-mata untuk kebutuhan Kemala.

"Kamu benar-benar memanfaatkannya, Dek. Kita tidak seharusnya seperti ini..." ucap Tama pelan, nadanya menurun, kecewa.

Udahlah, Mas," sela Erina cepat. "Kita butuh uang.

" Kamu juga butuh uang. Ibumu sakit, pasti butuh biaya. Sudahlah, cepat berangkat! Jangan lupa beli oleh-oleh dulu di jalan buat ibu dan keluargamu di sana."

Tama diam. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ini salah, bahwa uang milik anak yatim bukan untuk diselewengkan seperti ini. Tapi akhirnya ia hanya mengangguk dan mengambil amplop itu. Ada banyak hal yang lebih mendesak sekarang, dan Erina tahu itu. Perempuan itu selalu tahu cara membuat Tama tak bisa berkata apa-apa.

Malam itu, Tama pamit untuk pulang ke kampung halamannya dan akan menginap selama 2 hari. Ia mengecup kening istrinya yang berdiri di ambang pintu, namun matanya tertuju pada ruang tamu. Tidak ia lihat Kemala di sana, mungkin gadis itu sudah tidur, pikirnya.

Tak lama, suara mobil terdengar dari luar. Tama pergi. Rumah itu kembali senyap, menyisakan Erina yang berdiri di depan pintu dengan senyum samar.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika Kemala

Terbangun dari tidurnya. Dahaganya terasa mengganjal di tenggorokan. Ia bangkit pelan, tidak ingin menimbulkan suara. Rambutnya berantakan, dan langkah kakinya masih limbung menuju dapur.

Kemala mengambil segelas air putih dari dispenser.

Saat hendak kembali ke kamarnya, ia melewati kamar Om dan tantenya. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap sesuatu.

"Ah... ouchh, enak sayang."

Kemala terdiam. Matanya membulat. Ia

menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar itu. Hatinya berdebar keras. Bukan karena takut, tapi karena rasa aneh yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

Ia dengar lagi. Suara era ngan pelan, samar... lalu semakin keras. Kemala membeku.

Keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya. Ia memang gadis kampung, namun ia cukup dewasa untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kemala mengigit bibir bawahnya, bukannya buru-buru kembali ke kamarnya, ia malah mematung kemudian menempelkan telinganya di depan pintu kamar itu. Ia menguping, seolah ingin larut dalam suasana panas yang terjadi di dalam sana.

Namun semakin jelas terdengar, tiba-tiba Kemala menyadari sesuatu. Suara itu-suara pria itu... bukan suara Om Tama Ia yakin betul. Kemala menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan napas. Suara itu sangat dekat, sangat nyata. Ia tidak salah dengar. Ia kembali menempelkan telinganya ke pintu, berusaha menahan emosi yang bergejolak. Tapi justru di situlah suara itu makin jelas.

"Ah... Enak banget, Honey. GO ya nganmu benar-benar nikmat!"

Deg.

Itu bukan suara Om Tama. Bahkan sangat jauh dari suara pria yang ia dengar saat mengajaknya ngobrol di cafe siang tadi.

Terpopuler

Comments

✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳

✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳

Ngakak banget!

2025-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!