Udara pagi terasa lebih nyata dari sebelumnya. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruang makan keluarga Aruna, berpadu dengan sinar matahari yang menembus tirai renda berwarna putih.
Ayahnya duduk di ujung meja, membaca koran seperti kebiasaannya setiap pagi, sementara ibunya sibuk menuangkan susu ke dalam cangkir Aruna. “Kau tampak lebih segar hari ini, Sayang,” ucap sang ibu sambil tersenyum lembut. “Kupikir setelah kejadian semalam kau akan beristirahat lebih lama.”
Aruna membalas senyuman itu dengan tenang. “Aku tidur cukup, Bu.” Suaranya lembut, tapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang berbeda—ketegasan halus yang membuat ibunya sempat menatap dua kali.
Ayahnya menurunkan koran dan menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih. “Kau sudah dengar kabar dari keluarga Adikara? Mereka mengirim pesan tadi pagi. Sepertinya mereka ingin segera membicarakan tanggal lamaran resmi.”
Aruna mengangguk pelan. “Ya, Ayah. Aku sudah siap kapan pun mereka memutuskan.”
Senyum di wajah ayahnya mengembang, sementara ibunya tampak lega. Tidak ada yang menyadari bahwa di balik ketenangan itu, Aruna sedang menyusun strategi baru dalam benaknya—tentang bagaimana ia akan menghadapi masa depan yang kini berubah.
Namun ketenangan itu pecah ketika seorang pelayan berlari kecil memasuki ruang makan. Nafasnya sedikit memburu. “Permisi, Nona Aruna,” katanya sopan tapi gugup. “Tuan Andrian dan Nona Naya… sudah menunggu di depan. Mereka bilang ingin berangkat kerja bersama, seperti biasa.”
Suara kursi yang bergeser pelan terdengar, tapi bukan karena Aruna terkejut—melainkan karena Ayah dan Ibunya menatapnya heran.
“Andrian dan Naya?” tanya ibunya sambil menoleh. “Bukankah mereka teman kantormu, Sayang? Wah, perhatian sekali sampai menjemput pagi-pagi begini.”
Aruna menatap kosong sesaat, sebelum bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. “Iya… mereka memang perhatian.”
Namun di balik senyum itu, hatinya bergejolak. Nama-nama itu—dua orang yang dulu menjadi alasan akhir dari hidupnya. Dua orang yang ia percaya sepenuh hati.
Dulu, ia selalu berlari tergesa keluar rumah, menjemput pagi dengan semangat hanya agar bisa satu mobil dengan mereka. Dulu, ia rela duduk di kursi belakang, menahan canggung, dan berpura-pura tidak merasa kecil di hadapan dua orang yang diam-diam menertawakannya.
Ia masih ingat bagaimana setiap hari ia menunduk di kantor, berusaha keras agar dianggap cukup baik oleh senior-seniornya. Semua karena Naya, sahabat yang katanya “membuka jalan” untuknya agar bisa magang di sana.
Padahal, sekarang ia sadar—itu hanyalah permainan halus untuk menekan dirinya perlahan.
Tidak kali ini.
Aruna meletakkan sendok dengan tenang di atas piringnya. “Ayah, Ibu… aku akan berangkat sebentar lagi,” ucapnya lembut sambil berdiri.
Ibunya tersenyum. “Baik, hati-hati di jalan.”
Langkah Aruna terdengar lembut di lantai marmer saat ia berjalan keluar rumah. Setiap detik terasa seperti gema masa lalu yang ingin ia patahkan satu per satu.
Begitu pintu utama terbuka, ia melihat mereka.
Andrian—dengan jas rapi dan senyum menawan yang pernah membuatnya jatuh hati. Dan di sampingnya, Naya—dengan blus putih dan rok pastel, wajah manisnya tersenyum seperti biasa, seolah dunia belum pernah melihat sisi kelamnya.
“Andrian, Naya,” sapa Aruna datar, tanpa senyum seperti dulu. “Kalian sudah datang.”
Andrian tertawa kecil, menatapnya dengan mata penuh pesona. “Kau masih suka terlambat, Ru. Kami hampir berangkat tanpamu.”
Dulu, Aruna akan tertawa kecil, meminta maaf, dan berlari masuk mobil lebih dulu agar tidak menimbulkan suasana canggung. Tapi kali ini ia hanya berdiri diam, menatap Andrian dengan pandangan tenang tapi menusuk.
“Kalau begitu, kalian duluan saja,” ucapnya datar. “Aku ada urusan sebentar dengan Ayah sebelum ke kantor.”
Naya menatapnya bingung, sedikit tersenyum kaku. “Eh, tapi biasanya kita bareng kan, Ru?”
Aruna menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya, Naya melihat sesuatu yang berbeda di mata sahabatnya—bukan kelembutan, bukan kebingungan, tapi dingin yang dalam dan sulit dijelaskan.
“Biasanya,” jawab Aruna singkat. “Tapi mulai hari ini, tidak ada yang ‘biasanya’ lagi.”
Udara pagi yang tadi lembut mendadak terasa tegang. Andrian menatapnya tajam sejenak, seolah mencoba menebak sesuatu. Namun Aruna sudah berbalik, meninggalkan keduanya di depan pintu rumah tanpa memberi kesempatan bicara.
Dari dalam rumah, pelayan menatap ke arah mereka dengan canggung, sementara Naya berusaha menyembunyikan kegelisahan dengan senyum palsu.
Dan di kamar atas, dari balik tirai yang bergerak perlahan karena angin, Aruna berhenti sejenak, menatap bayangan mereka di halaman.
Tangannya mengepal pelan.
Dulu aku menunduk di depan kalian.
Kali ini, kalian yang akan menunduk di depanku.
...----------------...
Suara langkah hak Aruna menggema di lantai marmer koridor lantai sembilan. Cahaya lampu putih memantul di rambut hitamnya yang terurai rapi di atas bahu. Semua mata menoleh tanpa sadar setiap kali ia lewat. Entah kenapa, aura gadis itu kini berbeda—tajam tapi memikat, berwibawa tanpa harus berbicara.
“Pagi, Aruna.”
Beberapa rekan kerja menyapa, nada mereka terdengar hati-hati, seolah takut salah ucap.
Aruna hanya mengangguk tipis. Di dalam matanya, ada ketenangan yang membuat orang lain tak berani menatap terlalu lama. Dulu ia hanyalah pegawai magang biasa, selalu tersenyum sopan bahkan pada orang yang meremehkannya. Kini, senyumnya terasa lain—seperti garis halus dari seseorang yang tahu persis siapa dirinya.
Dan hari ini, mereka semua akan tahu juga.
Rapat besar dijadwalkan pukul sepuluh pagi. Seluruh divisi pemasaran berkumpul di ruang konferensi utama, sebuah ruangan luas berdinding kaca dengan meja oval panjang di tengahnya. Di depan, layar besar menampilkan logo perusahaan: Suryantara Corporation.
Suasana terasa tegang. Bahkan suara bisik-bisik pun terdengar jelas.
“Aku dengar direksi utama akan datang sendiri.”
“Serius? Jarang banget Tuan Surya mau turun tangan langsung.”
“Katanya mau membahas restrukturisasi divisi pemasaran, siapa tahu ada pergantian posisi.”
Nama itu—Tuan Surya—bergaung di kepala Aruna seperti gema masa lalu. Ayahnya. Sosok yang di kehidupan sebelumnya ia sembunyikan dari semua orang atas saran… atau lebih tepatnya, bujukan licik dari Naya.
‘Percayalah, Ru,’ Naya pernah berkata lembut di masa lalu. ‘Kalau mereka tahu kau anak pemilik perusahaan, mereka akan menjauhimu. Lebih baik kau tetap jadi orang biasa, biar aku bantu kau berbaur.’
Dan Aruna, yang polos dan tulus waktu itu, percaya. Ia tidak tahu bahwa alasan sebenarnya sederhana: Naya tidak ingin bayangannya tertutup oleh cahaya Aruna.
Kini, semua akan berubah.
Pintu ruang rapat terbuka perlahan. Naya masuk lebih dulu, diikuti Andrian yang seperti biasa menampakkan senyum profesionalnya. Naya menatap sekeliling, memastikan semua mata tertuju padanya, sebelum duduk di kursi tengah depan—tempat yang biasanya disiapkan untuk orang-orang berpengaruh di divisi itu.
Aruna datang tak lama setelahnya, langkahnya tenang, tanpa menoleh ke arah siapa pun. Namun keheningan mendadak terasa lebih berat ketika ia berjalan melewati Naya tanpa berhenti.
“Pagi,” ucapnya datar.
Naya menatapnya sekilas, tersenyum tipis tapi tegang. “Pagi, Aruna. Duduk di depan, ya? Supaya bisa dengar lebih jelas.”
Aruna hanya menatapnya, lalu berkata pelan namun tajam, “Aku memang berencana duduk di depan.”
Ia kemudian menarik kursi di sisi kanan ruang rapat—persis di samping kursi utama yang masih kosong. Kursi itu biasanya diperuntukkan bagi tamu kehormatan atau anggota direksi. Beberapa orang saling berpandangan, bingung, tapi tak berani berkata apa pun.
Naya tertawa kecil, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. “Sepertinya ada yang salah tempat, Ru. Kursi itu—”
Pintu terbuka lagi, dan suara bariton berwibawa terdengar:
“Tidak ada yang salah tempat, Nona Naya.”
Semua kepala menoleh.
Seorang pria paruh baya berjas abu-abu masuk, langkahnya tegap, matanya tajam. Rambutnya sudah memutih di sisi, tapi auranya memancarkan otoritas yang membuat semua orang berdiri spontan.
“Tuan Surya!” seru Pak Reno, supervisor mereka, segera menunduk memberi salam hormat.
Naya ikut berdiri, wajahnya tampak gugup. “S-selamat pagi, Tuan Surya. Kami tidak tahu Anda akan hadir langsung—”
Namun kalimatnya terputus saat pria itu melangkah ke depan dan berhenti tepat di samping Aruna. Ia menepuk pundak putrinya lembut, lalu berkata dengan suara tenang namun penuh kebanggaan.
“Tidak perlu berdiri terlalu kaku. Kalian semua di sini pasti sudah tahu, mulai minggu ini, Nona Aruna Surya akan menjadi bagian dari dewan evaluasi internal perusahaan. Mulai hari ini, laporan dari divisi pemasaran akan diserahkan langsung padanya.”
Hening.
Suara detik jam di dinding terdengar jelas. Beberapa karyawan menatap satu sama lain, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“...Nona siapa, Pak?” bisik salah satu staf dengan wajah pucat.
Tuan Surya tersenyum tipis. “Nona Aruna Surya—putri saya.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah ruang rapat.
Naya membeku. Senyum palsunya menghilang seketika.
Andrian, yang biasanya selalu mampu menguasai situasi, kini kehilangan ekspresi sama sekali.
Sementara itu, Aruna hanya duduk diam. Tatapannya tenang, tapi dalam keheningan itu, matanya menatap lurus ke arah Naya. Tidak dengan marah, tapi dengan sorot tajam yang penuh makna—aku tahu semua kebohonganmu.
Pak Reno tergagap. “A-ah, tentu saja! Kami sangat berterima kasih atas kehadiran Tuan Surya dan… Nona Aruna. Sungguh kehormatan bagi kami—”
Tuan Surya mengangguk singkat. “Lanjutkan rapatnya. Saya ingin melihat bagaimana divisi ini bekerja di bawah pengawasan langsung Aruna.”
Sepanjang rapat, suasana menjadi aneh. Setiap kali Aruna berbicara, orang-orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan mereka yang dulu suka memotong kalimatnya kini hanya menunduk, mencatat dengan cepat.
“Bagian promosi media sosial masih memakai metode tahun lalu,” ucap Aruna tenang, menatap grafik di layar. “Saya ingin laporan analitik real-time dikirimkan ke meja saya sore ini.”
“B-baik, Nona,” jawab salah satu staf dengan cepat.
Ia berbicara dengan kejelasan yang sama seperti biasanya, tapi kali ini semua kata-katanya membawa bobot kekuasaan yang nyata. Tidak ada lagi tawa kecil yang menertawakannya dari sudut ruangan. Tidak ada lagi bisikan mengejek seperti dulu.
Naya hanya duduk diam. Tangannya dingin. Pikirannya berputar—kenapa Aruna tidak memberitahunya? Kenapa Tuan Surya sendiri yang datang? Bukankah dulu… dulu ia sudah memastikan Aruna tidak akan pernah mengungkapkan identitasnya?
Ingatan masa lalu berkelebat di kepalanya.
‘Sembunyikan saja, Ru. Aku hanya takut mereka menjauhimu. Kau tahu sendiri dunia kantor seperti apa.’
‘Kau yakin, Naya?’
‘Tentu. Kau percaya padaku kan?’
Dan Aruna memang percaya—hingga akhirnya, semua orang menertawakan dirinya, memperlakukannya seperti asisten pribadi Naya. Semua karena kebohongan yang satu itu.
Kini, kebohongan itu hancur di depan matanya.
Rapat berakhir setengah jam kemudian. Semua orang menunduk hormat saat Tuan Surya berdiri.
“Saya menitipkan divisi ini pada Aruna,” katanya singkat. “Saya yakin kalian semua akan bekerja lebih baik di bawah pengawasan langsungnya.”
Begitu pria itu keluar dari ruangan, suasana menjadi hening untuk beberapa detik. Lalu, perlahan-lahan, suara bisik-bisik mulai terdengar lagi—lebih pelan, lebih berhati-hati.
“Jadi dia anak bos besar itu?”
“Pantas aja… gayanya berubah.”
“Gila, kita selama ini—”
“Dia tahu, nggak, ya… kita suka ngomongin dia di belakang?”
Aruna berdiri. Semua suara langsung terhenti.
Ia menatap mereka satu per satu, bibirnya melengkung kecil. “Kalian tidak perlu khawatir,” katanya lembut. “Saya tidak punya kebiasaan mengungkit masa lalu. Tapi saya juga tidak pernah lupa siapa yang dulu suka mempermainkan saya.”
Senyumnya tetap lembut, tapi dinginnya menusuk. Beberapa orang menelan ludah, lalu cepat-cepat berkemas.
Naya mencoba menenangkan dirinya, lalu melangkah mendekat. “Aruna… maksudku, Nona Aruna… aku—aku tidak tahu kalau kau ingin merahasiakan identitasmu. Aku hanya—”
Aruna menatapnya datar. “Kau tidak perlu berbohong di hadapanku, Naya. Aku tahu semuanya.”
Wajah Naya memucat. “A-apa maksudmu?”
“Dulu kau yang menyuruhku menyembunyikan siapa aku,” ujar Aruna pelan tapi tajam. “Kau bilang itu demi kebaikanku. Tapi nyatanya, itu hanya agar aku tak lebih tinggi darimu.”
Andrian berdiri, mencoba memotong suasana. “Aruna, jangan salah paham. Naya hanya—”
“Diam, Andrian.”
Suara Aruna begitu tenang, tapi tajam seperti pisau.
Untuk pertama kalinya, pria itu menutup mulutnya tanpa berani menatap balik.
Naya menelan ludah, wajahnya benar-benar tegang. “A-Aruna, aku cuma ingin kita tetap seperti dulu. Aku sahabatmu, aku—”
“Tidak, Naya.” Aruna menatap lurus ke matanya. “Sahabat tidak menusuk dari belakang. Sahabat tidak menjatuhkan demi terlihat lebih tinggi. Dan yang paling penting, sahabat tidak mengajarkan kebohongan.”
Udara di ruangan terasa berat.
Naya tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Aruna melangkah mendekat, berhenti hanya satu langkah di depan Naya. “Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Ru’ lagi di kantor ini,” bisiknya. “Kau bisa panggil aku sesuai jabatanku.”
Ia lalu berbalik, mengambil map di meja, dan berjalan keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Langkahnya tenang, mantap, seolah seluruh dunia menunduk di bawah iramanya.
Di belakangnya, semua orang masih terpaku—antara kagum dan takut. Naya berdiri kaku di tempat, wajahnya pucat, sementara Andrian menatap punggung Aruna dengan tatapan rumit yang tak bisa dijelaskan.
Sore hari, langit di luar mulai memerah. Aruna berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya yang baru—ruangan yang dulunya milik supervisor, kini miliknya. Dari sini, ia bisa melihat seluruh kota terbentang di bawah sana.
Ia menyentuh kaca dengan ujung jarinya, melihat pantulan dirinya sendiri.
Wajah yang sama, tapi bukan gadis yang sama.
“Dulu aku menunduk karena takut,” bisiknya pelan. “Sekarang, mereka akan menunduk karena hormat.”
Suara ketukan pintu terdengar.
“Masuk,” ucapnya tanpa menoleh.
Seorang staf muda masuk, membawakan map laporan. “Ini laporan hari ini, Nona Aruna.”
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Saat pintu menutup lagi, Aruna menatap laporan itu sebentar, lalu tersenyum kecil.
Perjalanan balas dendamnya baru dimulai. Tapi kali ini, ia tidak akan membalas dengan darah atau air mata—melainkan dengan kekuasaan, kecerdasan, dan ketenangan yang membuat musuh-musuhnya hancur tanpa sadar.
Dan di luar sana, di ruangan mereka masing-masing,
Naya dan Andrian mulai merasakan ketakutan pertama dari apa yang akan datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
2025-10-09
0