Bab 3 THTM

Bel sekolah berbunyi nyaring. Suasana SMA itu ramai dengan obrolan dan tawa para murid, namun bagi Nayara semua terdengar seperti gema jauh. Langkahnya terasa berat saat melewati koridor, tas di punggung terasa lebih membebani dari biasanya.

Semalam ia hampir tidak tidur. Bayangan tubuh asing itu, napas berat, aroma parfum maskulin samar, dan rasa sakit di tubuhnya masih begitu nyata. Nayara menggigit bibir bawah, mencoba mengusir ingatan itu, tapi semakin berusaha melupakan, semakin jelas potongan kejadian itu muncul.

Ia menunduk, berjalan cepat menuju kelas. Saat masuk, seorang gadis menyapanya riang.

“ Nayaraaaaaaaa! Kamu datang juga, aku kira sakit!”

Nayara mendongak, dan melihat Elara—sahabatnya. Rambut panjang hitam berkilau, kulit putih bersih, senyum lembut. Elara adalah sahabatnya selama dua tahun terakhir, gadis dari keluarga kaya yang justru sederhana dan tulus.

Nayara berusaha tersenyum, meski wajahnya pucat. “Enggak kok, cuma capek aja.”

Elara mengerutkan kening, memperhatikan wajah Nayara yang sedikit sembab. “Kamu nangis semalam?” tanyanya polos.

Deg. Jantung Nayara berdegup kencang. Ia cepat-cepat menggeleng. “Nggak, cuma… belajar sampai malam.”

“Dasar, kamu terlalu keras sama diri sendiri,” gumam Elara sambil menepuk bahu Nayara. Lalu ia mengajaknya duduk bersama di bangku belakang, seperti biasanya.

Hari itu, pelajaran biologi membahas sistem reproduksi manusia. Nayara langsung merasa perutnya mual. Setiap kali guru menjelaskan, otaknya seperti dilempar kembali pada kejadian semalam di hotel itu.

Kenapa harus topik ini? keluhnya dalam hati, menunduk sambil mencoret-coret buku agar terlihat sibuk.

Sementara itu, Elara dengan semangat menyalin catatan. “Nayara, nanti kita belajar bareng lagi, ya? Aku nggak terlalu ngerti bagian ini.”

Nayara menoleh, matanya berkaca-kaca tanpa Elara sadari. Ia mengangguk pelan. “Iya… nanti sore aku mampir ke rumahmu.”

Kata-kata itu membuat hatinya kian sesak. Rumah Elara… rumah besar tempat ayahnya bekerja sebagai tukang kebun dan ibunya sebagai pembantu.

Namun untuk saat ini, Nayara hanya bisa berusaha menata wajahnya. Menjadi gadis SMA biasa. Menjadi sahabat yang baik. Menyembunyikan luka yang ia simpan sendirian.

———

Sore itu, langit jingga menyelimuti kota kecil. Nayara berjalan menuju rumah besar sahabatnya, membawa buku biologi dan beberapa catatan. Langkahnya pelan, seolah kaki enggan bergerak, tapi janji dengan Elara membuatnya tetap maju.

Gerbang tinggi rumah keluarga Elara terbuka lebar. Satpam menyapanya ramah, sudah hafal dengan wajah Nayara yang sering datang ke sana. Begitu melewati taman depan, aroma bunga mawar dan anggrek menyapa. Ayah Nayara tampak dari kejauhan, sibuk memangkas pohon, berkeringat tapi tetap fokus.

Nayara menahan napas sebentar. Ada rasa bersalah yang menyesakkan dada setiap kali melihat ayahnya bekerja keras di tempat ini, sementara dirinya menyimpan rahasia besar yang kelak bisa meruntuhkan segalanya.

“Naay!” suara ceria Elara terdengar dari beranda lantai dua. Ia melambai dengan senyum lebar. “Cepetan naik, aku udah siapin camilan!”

Nayara mengangguk dan segera masuk. Pelayan rumah menyapanya sopan, menuntunnya ke kamar Elara. Kamar luas itu penuh dengan boneka, rak buku, dan lampu gantung indah. Meski tinggal di rumah mewah, Elara tetap terlihat seperti gadis sederhana yang ceria.

Mereka duduk bersebelahan di meja belajar. Buku biologi dibuka, dan Elara langsung menunjuk bagian sistem reproduksi. “Aku nggak ngerti bagian ini, Na. Bisa jelasin nggak?”

Deg.

Nayara tercekat. Kata “reproduksi” saja sudah membuat kakinya gemetar di bawah meja. Tapi ia menahan diri, mencoba tersenyum. “I-iya, jadi… ini tuh proses tubuh manusia buat menghasilkan keturunan…”

Suaranya bergetar, sementara pikirannya melayang pada kejadian malam itu. Sentuhan asing, desahan, dan rasa sakit—semua menyerbu kembali.

Elara menatapnya curiga. “Kamu beneran nggak apa-apa? Mukamu pucat banget.”

Nayara cepat-cepat menunduk, merapikan bukunya. “Aku cuma… capek. Tapi aku bakal jelasin sebisa aku.”

Elara menggenggam tangan Nayara, menatap dengan tulus. “Kamu sahabatku, Na. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendirian.”

Kata-kata itu membuat air mata hampir jatuh. Nayara menunduk, berpura-pura membuka catatan, menahan isakan yang hampir pecah.

———

Malam menjelang. Lampu kristal di kamar Elara menyinari meja belajar yang penuh dengan buku, kertas catatan, dan camilan manis yang sudah setengah habis.

“El, kalau kamu bener-bener mau paham materi ini, kamu harus rajin nulis ulang. Kayak gini nih,” kata Nayara sambil mencontohkan coretan diagram di bukunya.

Elara memandanginya dengan kagum. “Aku beruntung banget punya kamu, Na. Kalau nggak ada kamu, nilai biologi aku pasti merah terus.”

Nayara tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa hancur di hatinya. “Kamu kan rajin juga, cuma perlu lebih sabar aja.”

Mereka tertawa kecil. Obrolan pun beralih ke hal-hal ringan: musik, film, bahkan gosip kecil di sekolah. Elara begitu terbuka, sementara Nayara hanya sesekali menimpali. Di balik tawanya, ada rasa iri kecil—bagaimana rasanya hidup tanpa beban seperti Elara, tanpa harus menyembunyikan rahasia kelam?

“Nayara…” suara Elara melembut. “Aku seneng banget kamu jadi sahabatku. Kamu tahu nggak? Dari semua teman di sekolah, cuma kamu yang bener-bener ngerti aku.”

Hati Nayara bergetar. Ia tahu, kalau suatu hari Elara mengetahui kebenaran, semuanya akan hancur. Persahabatan yang begitu indah ini bisa berubah jadi kebencian.

Ia menggenggam tangan Elara pelan. “Aku juga ngerasa gitu, El. Kamu sahabat terbaikku.”

Tiba-tiba, suara pintu berderit dari koridor membuat mereka menoleh. Langkah sepatu terdengar semakin jelas. Elara menoleh sekilas ke arah pintu, lalu tersenyum santai.

“Mungkin kakakku pulang. Padahal dia jarang banget ke rumah…” gumam Elara, lalu kembali fokus ke catatannya.

Nayara membeku. Kata “kakak” seolah menyalakan alarm dalam dirinya, meski ia belum tahu siapa orang itu.

Tapi entah kenapa, hatinya merasa sesuatu yang mengerikan sedang mendekat—bayangan dari malam gelap yang ingin ia lupakan selamanya.

Pintu kamar Elara terbuka perlahan. Sosok pria tinggi dengan setelan rapi berdiri di ambang pintu. Wajahnya tegas, tatapannya dingin, tapi ada sesuatu yang sulit diartikan—seolah auranya memerintah ruangan tanpa harus berkata-kata.

“El, kamu masih begadang belajar?” suaranya berat dan dalam.

Elara mendongak, senyum lebar terlukis di wajahnya. “Kak! Akhirnya kamu pulang! Aku pikir kamu nggak akan sempet mampir.”

Pria itu masuk beberapa langkah, pandangannya melintas sekilas ke arah Nayara yang duduk di samping meja.

Nayara terdiam. Ada sesuatu yang aneh dalam hatinya saat mata itu menyapunya—dingin, tajam, namun seperti menyimpan rahasia yang ingin ditutupi.

“Oh iya, kenalin ini sahabatku. Namanya Nayara,” kata Elara sambil menarik lengan Nayara agar berdiri.

Untuk sepersekian detik, ruangan terasa hening. Nayara menunduk sopan. “Selamat malam, Kak.”

Alaric—yang namanya belum terucap di depan Nayara—hanya mengangguk singkat. Tatapan matanya sulit ditebak, seolah menimbang sesuatu dalam diam.

“El, aku nggak mau ganggu. Jangan belajar terlalu larut,” ucapnya akhirnya, lalu berbalik hendak keluar.

Namun sebelum benar-benar menutup pintu, matanya sekali lagi menatap Nayara. Kali ini lebih lama, membuat Nayara menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Ada perasaan tak nyaman, seakan pria itu bisa menembus semua pertahanan yang ia bangun.

Begitu pintu tertutup, Nayara menghela napas panjang. Tangannya sedikit gemetar.

“Nay, kamu kenapa? Wajahmu pucat,” tanya Elara sambil menatap curiga.

Nayara tersenyum kaku. “Nggak… nggak apa-apa. Mungkin kecapean.”

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu—tatapan pria itu bukan tatapan biasa. Ada sesuatu yang familiar, sesuatu yang ingin ia lupakan, tapi kini justru datang kembali menghantui.

———

Setelah pria itu pergi, kamar kembali hening. Elara asyik menumpuk buku di meja belajar sambil bercerita tentang betapa sibuk kakaknya dengan pekerjaan dan urusan keluarga.

Nayara hanya mendengarkan setengah hati. Di kepalanya, wajah pria tadi terus terbayang. Tatapan itu… dingin, tapi di baliknya seperti ada bara yang menyala.

“Nay, serius deh, kamu pucat banget. Jangan bilang kamu takut sama kakakku?” goda Elara sambil terkekeh.

Nayara cepat-cepat menggeleng. “Bukan… bukan takut. Hanya… entahlah, aku merasa tatapannya aneh.”

Elara menoleh sebentar, lalu tersenyum santai. “Ah, memang begitu dia. Orangnya kaku, susah senyum. Tapi sebenarnya dia perhatian, kok. Kamu jangan salah paham dulu.”

Nayara mencoba tersenyum, meski hatinya tetap gelisah. Ia tidak tahu kenapa, tapi sosok pria itu terasa berbeda. Seakan ada garis takdir yang menghubungkan mereka, meski ia tak berani mengakuinya.

Malam semakin larut. Setelah Elara tertidur, Nayara berbaring di sofa kecil dekat jendela. Bulan menggantung pucat di langit, dan sekali lagi bayangan wajah pria itu menyelinap dalam pikirannya.

“Siapa sebenarnya dia?” bisiknya lirih.

Sementara itu, di kamar lain, pria tadi berdiri lama di depan jendela, memandang pekatnya malam. Ujung bibirnya terangkat tipis, nyaris tak terlihat.

Tatapannya tidak lagi hanya dingin—ada obsesi yang mulai tumbuh, meski belum ia akui.

Dan tanpa sadar, malam itu menjadi awal dari ikatan yang takkan mudah terputus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!