Sebelum bekerja Rania menyempatkan diri untuk mampir membeli bubur ayam dan teh hangat dipinggir jalan untuk sarapan, letaknya tidak jauh dari toko bunga tempatnya bekerja.
Walaupun tidak bisa menikmati makanan, Rania tetap memaksa setiap sendok bubur tertelan agar ia tidak lemas nantinya.
Rania sedikit menyayangkan bagaimana ia mengawali hari dengan suasana hati kurang baik. Padahal, hari ini adalah hari terakhir Rania bekerja.
Lonceng toko terdengar pertanda pintu dibuka dari luar. Ajeng, si pemilik toko yang sudah bersiap sejak tadi pun menoleh, ia segera mengulas senyuman begitu mendapati Rania berjalan mendekat.
"Tumben sedikit telat. Apa jalan raya sudah macet?"
Bergerak melepaskan tas selempang. "Tidak. Aku mampir sarapan diwarung bubur ayam depan sana sebelum ke sini, mungkin itu yang membuatnya lama. Buburnya sangat panas," Bisiknya diakhir kalimat.
Ajeng tertawa mendengar bisikan Rania. "Bagus, dong! Itu tandanya baru dimasak, bukan sisa kemarin yang dijual lagi."
"Ya, mungkin. Tapi enak kok, tidak mengecewakan sama sekali, mungkin juga karena aku dalam keadaan lapar," Tak lama, Rania mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempang miliknya, lalu ia taruh diatas meja tepat didepan Ajeng.
"Apa ini?" Seraya mengambil keras diatas meja dan membuka untuk melihat isinya. "Kamu akan menikah? Besok?"
"Bukan besok juga, mbak. Itu sudah ada hari, jam, dan tanggalnya yang tertera."
"Iya, tapi sama saja! Ini tidak lama lagi."
Mengulas senyuman. "Aku mengundang mbak Ajeng untuk datang. Jangan sampai lupa?"
"Tentu saja aku tidak akan melupakannya!" Ajeng berdiri dan memeluk tubuh Rania. "Selamat, ya? Semoga lancar sampai hari H."
"Terimakasih."
"Oh, dan apakah kamu juga akan berhenti bekerja setelah menikah?" Tanya Ajeng setelah pelukan ke-dua-nya terlepas.
"Sepertinya iya. Hari ini aku akan bekerja sekalian meminta ijin untuk berhenti bekerja, jadi, hari ini adalah hari terakhir aku bekerja."
Mendadak Ajeng menekuk wajahnya. Rasanya jadi sedih, karena sudah lama ia dan Rania bekerja bersama dibawah atap yang sama. Tidak akan lagi Ajeng temui karyawan baik dan bertanggung jawab seperti Rania, kalaupun ada, pasti rasanya akan berbeda. Ajeng mengusap sudut mata yang tiba-tiba saja dibasahi likuid bening.
"Kenapa berhenti? Tunda saja punya momongan, dan bekerja lebih lama untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu mengandalkan laki-laki."
"Tapi aku sudah cukup lelah untuk bekerja. Mbak Ajeng sendiri juga tahu, 'kan? Aku bekerja sejak lulus sekolah menengah pertama. Jadi, aku rasa sudah cukup, saat ini tinggal menikmati nafkah dari suami."
Sedikitnya Ajeng juga tahu apa alasan Rania bekerja setelah lulus sekolah menengah pertama dibanding melanjutkan sekolah lebih jauh, alasannya adalah orang tua Rania hanya ingin membiayai putri bungsunya. Katanya karena Rania tidak sepintar adiknya.
Ya, mungkin memang benar. Tapi menurut Ajeng, Rania adalah anak pekerja keras, mau berusaha, dan tidak malu bertanya. Awal-awal bekerja, Rania sedikit kesusahan, dan terkadang menangis di toilet belakang toko. Ajeng tahu sebenarnya, tapi tidak pernah membahas lebih lanjut pada Rania.
Rasa lelah dan tertekan saat hari pertama bekerja memang ada, Ajeng juga pernah merasakannya dulu saat bekerja ikut orang, tepatnya sebelum mendirikan toko bunga.
"Terserah kamu aja, deh. Lagipula kalau memang suami kamu bisa menanggung semua kebutuhan dan menafkahi dengan baik, ya, lebih baik santai dirumah saja. Aku juga kalau punya suami yang mau menanggung semua biaya hidupku, sudah pasti aku akan menutup toko."
"Tapi aku tidak yakin mbak Ajeng akan rela menutup toko hanya untuk bersantai dirumah," Katanya sambil tertawa renyah. "Orang yang terbiasa bekerja keras, lalu santai, pasti badannya akan terasa sakit karena terlalu banyak tidur."
"Termasuk kamu?"
"Aku tidak. Aku bukan pekerja keras seperti mbak Ajeng."
Ajeng mengibaskan tangan kanannya diudara, hidungnya kembang-kempis karena malu. "Kamu juga pekerja keras, jangan memujiku secara berlebihan, nanti aku akan jadi orang sombong karena terlalu banyak menelan pujian."
Rania tertawa melihat ekspresi Ajeng, terlihat merah seperti kepiting rebus. Padahal dipuji sesama perempuan. Bagaimana kalau Ajeng dipuji seorang pria? Rania tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Ajeng.
"Jadi, harus mulai darimana aku bekerja?"
Mendengar hal itu, spontan pandangan Ajeng menyapu sekitar, coba melihat pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Rania.
"Aah. Kamu membereskan tangkai ini saja, sudah berserakan dimana-mana. Nanti tidak enak kalau ada pelanggan datang tapi keadaan toko masih berantakan."
Kepala Rania mengangguk-angguk dan mulai mengerjakan perintah Ajeng. Baru menyentuh sapu, suara Ajeng kembali terdengar.
"Setelah selesai membersihkan ruangan bagian dalam, bagian depan juga, ya? Setelah itu baru merangkai bunga untuk pesanan nanti siang."
"Siap!"
...----------------...
[Ibu: Saat pulang tolong belikan martabak telur untuk Ambar. Hari ini dia kurang enak badan, belum makan dari siang dan menginginkan martabak telur untuk dimakan.]
Rania langsung menghela napas begitu selesai membaca pesan dari ibunya. Ini pukul enam sore, Rania baru keluar dari toko dan akan pulang sebentar lagi. Berharap mendapatkan pesan dari Bumi, Rania malah membaca pesan dari Mina yang tidak jauh-jauh berhubungan dengan Ambar.
Tanpa membalas pesan, Rania menyimpan ponsel didalam tas selempang, lalu bergerak memakai helm. Meki begitu Rania akan membelikan martabak telur dipinggir jalan nanti. Ya, daripada harus menghadapi situasi menyebalkan karena pesanan Ambar tidak ia bawa.
Sekitar lima menit berkendara, Rania berhenti dipinggir jalan untuk membeli martabak telur. Selain martabak telur, Rania juga membeli terang bulan, jaga-jaga kalau keinginan Ambar berubah. Siapa yang tahu?
"Baru pulang kerja, neng?"
Rania yang tadinya melamun menatap jalanan, kini maniknya bergulir pada penjual yang sedang membuatkan pesanan miliknya.
"Iya, pak."
"Sepertinya kamu masih muda, seumuran dengan anak saya. Bedanya dia tidak mau bekerja dan memaksa ingin kuliah. Untung saja jualan selalu ramai setiap hari, jadi saya bisa menuruti keinginan dia," Jeda sejenak. "Tapi akhir-akhir ini saya pusing. Entah lihat dari siapa, tiba-tiba dia meminta handphone baru. Yang mahal itu, loh. Mana mampu saya, neng."
Jujur saja Rania tidak tahu harus merespon bagaimana. Yang pasti, Rania sedikit iba kepada bapak penjual itu. Sudah terlihat renta namun masih harus berjualan dan berjuang untuk anaknya.
"Memangnya bapak tidak menolak?" Setelah menimbang sedikit lama, Rania memutuskan untuk bertanya.
Bapak penjual itu memutar setengah tubuhnya untuk menatap Rania sejenak. "Bagaimana caranya menolak? Kalau menolak pasti anak saya akan mengamuk dan barang dagangan saya pasti akan diacak-acak."
"Saya tidak punya anggota keluarga yang lain, hanya dia yang saya punya. Jadi sebisa mungkin saya ingin membahagiakan anak saya," Sambungnya.
Rania sedikit terenyuh mendengar penuturan bapak penjual. Terlepas dari sikap anaknya yang kurang ajar, tapi bapak itu masih mau berusaha membahagiakan anaknya, mengusahakan apapun bagaimana caranya.
Tidak seperti Rania. Dia benar-benar dilepas dan tidak dipedulikan lagi oleh ayahnya. Merelakan satu anak demi anak yang lain, membiarkan salah satu anaknya bekerja keras sendirian.
"Neng, ini pesanannya sudah selesai."
"Ah, iya," Rania segera berdiri dan menerima uluran plastik berisi pesanannya. "Ini uangnya. Untuk bapak saja semua, tidak perlu dikembalikan."
Manik penjual itu melebar melihat kertas berwarna merah yang diberikan, ia menatap Rania dengan pandangan tak percaya.
"Ini terlalu banyak. Sebentar, saya ambilkan kembalian—,"
"Tidak perlu, sudah tidak perlu. Anggap saja itu rejeki bapak dari Tuhan dengan saya sebagai perantara."
Penjual itu tersenyum dan membungkukkan badannya beberapa kali. "Makasih, neng. Semoga Tuhan mengganti lebih banyak."
"Terimakasih, pak. Dan, do'akan semoga pernikahan saya lancar, ya?"
"Amin! Semoga kamu dan calon suami kamu diberikan rejeki lebih banyak. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments