Begitu selesai menata buku-buku di rak terakhir, Irvan menuruni tangga sambil mengelap keringat di pelipisnya. Rumah itu terasa lebih tenang kini, hanya suara lembut jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Ia tak melihat Raisa lagi__ mungkin gadis itu sedang bersama ayahnya di bawah.
Begitu kakinya menapak di lantai bawah, ia melihat Darwis sudah duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih rapi dengan lengan yang digulung sampai siku. Wajahnya tenang namun berwibawa, seperti biasa.
"Sudah selesai, Nak?" tanya Darwis sambil menatap putranya.
Irvan mengangguk. "Sudah, Dad. Ternyata buku Nenek Ratna banyak sekali. Untung Raisa bantu."
Senyum kecil muncul di wajah Darwis. "Neneknya Raisa memang kolektor buku lama. Dan Raisa-- dia gadis yang sopan, Daddy bisa lihat dari caranya bicara padamu tadi."
Irvan hanya membalas dengan anggukan kecil. "Iya, Dad."
Belum sempat mereka lanjut bicara, dari arah ruang tengah terdengar suara Dharma, ayah Raisa, yang sedang berbicara dengan beberapa orang stafnya. Suaranya terdengar mantap, khas seorang pemimpin yang disegani.
"Pastikan semua bahan makanan datang siang ini. Setelah itu kita akan mulai pembagian di alun-alun. Aku ingin masyarakat tahu, kemenangan ini bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk mereka," ujar Dharma lantang.
Darwis dan Irvan spontan menoleh. Darwis lalu melangkah pelan mendekati Dharma, diikuti Irvan di belakangnya.
"Selamat sekali lagi, Dharma," ucap Darwis dengan ramah sambil menjabat tangan sahabat lamanya itu. "Kemenangan ini sudah pantas kau dapatkan."
Dharma tersenyum hangat. "Terima kasih, Darwis. Tapi kemenangan ini bukan akhir, justru awal tanggung jawab besar. Karena itu, siang ini kita akan adakan acara makan gratis untuk yatim piatu dan warga kurang mampu."
"Langkah yang bagus," sahut Darwis mantap. "Kalau begitu, biar saya dan Irvan ikut membantu di sana. Kami juga ingin terlibat."
Mata Dharma sedikit berbinar. "Wah, tentu saja! Kehadiran kalian akan sangat berarti. Sekalian nanti bisa ikut mendampingi saya di lapangan."
Irvan menunduk sopan. "Saya senang bisa ikut, Om."
Dharma menepuk bahu Irvan ringan. "Terima kasih, Nak. Anak sepertimu dibutuhkan banyak orang__ muda, tangguh, dan masih punya empati."
Darwis menatap putranya dengan bangga kecil yang disembunyikan di balik senyum.
Sementara itu, dari kejauhan, Raisa muncul dengan pakaian yang sudah rapi dan sopan. Ia sempat berhenti di ambang pintu, memperhatikan pemandangan itu__ ayahnya, Darwis, dan Irvan berbincang dalam suasana hangat.
Ada sesuatu di dadanya yang hangat pula, entah kenapa.
...
Siang itu, langit tampak cerah, angin berhembus lembut di halaman luas panti asuhan "Harapan Mulia ". Beberapa mobil berhenti di depan gerbang, dan dari salah satunya turun Dharma, Darwis, Irvan, serta Raisa.
Anak-anak panti sudah berbaris rapi, wajah mereka ceria menyambut rombongan itu. Para warga dan relawan juga tampak sibuk mengatur meja makan, menyiapkan air minum, dan membagikan nasi kotak.
Dharma berdiri di depan, mengenakan kemeja biru tua dan topi sederhana. Wajahnya sumringah, aura kepemimpinannya begitu kuat. Ia menatap anak-anak di hadapannya lalu tersenyum tulus.
"Anak-anakku semua," ucap Dharma melalui mikrofon kecil yang dipegang seorang staf. "Hari ini bukan tentang kemenangan, tapi tentang berbagi kebahagiaan. Semoga acara kecil ini membawa senyum untuk kalian semua."
Tepuk tangan bergema. Raisa yang berdiri di sisi ayahnya menatap bangga, sementara Darwis dan Irvan sibuk membantu membagikan kotak makan ke barisan anak-anak.
Suasana berjalan hangat. Anak-anak tertawa, beberapa bahkan menyapa Irvan dengan polos, membuat pemuda itu tersenyum lebar. Tapi di antara keramaian itu, ada satu sosok remaja laki-laki di pinggir barisan yang tampak berbeda. Pandangannya tajam, sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak biasa.
Ia menunduk saat Dharma mendekat, seolah hanya ingin menerima kotak makan seperti lainnya. Tapi begitu Dharma berpaling untuk melayani anak berikutnya__
Gerak cepat, tajam, hampir tak terdengar.
Remaja itu melangkah ke arah Darwis yang sedang membungkuk membagikan makanan. Dalam sekejap, kilatan pisau muncul dari balik lengannya, melesat ke arah dada sang pria paruh baya itu.
"DADDY!" teriak Irvan, suaranya memecah suasana yang semula riuh.
Tanpa pikir panjang, Irvan melompat ke depan, menahan tangan si penyerang tepat sebelum pisau itu menembus dada Darwis. Tapi ujungnya tetap sempat menggores ringan dada ayahnya hingga mengeluarkan darah.
Darwis mundur setapak, terkejut.
Irvan tak memberi kesempatan. Dengan tenaga penuh ia memutar tubuh penyerang itu, merebut pisaunya, lalu menghantamkan lutut ke perut remaja itu hingga terjatuh. Tapi amarahnya belum berhenti__ pukulan demi pukulan menghantam wajah dan tubuh si remaja tanpa ampun.
"Berani kau sentuh ayahku?!" bentaknya dengan suara serak penuh emosi.
Beberapa relawan berlari menahan Irvan. Anak-anak panti menangis ketakutan, sementara Raisa menatap penuh kagum dengan senyum tipis di bibirnya.
Dharma segera menarik Irvan ke belakang dengan tenaga kuat, menahannya sebelum ia memukul lagi. "Irvan! Cukup! Sudah cukup, Nak!"
Nafas Irvan tersengal, matanya merah menatap si remaja yang kini tergeletak tak berdaya di tanah. Pisau sudah diamankan salah satu petugas keamanan.
Darwis mendekat, menepuk bahu putranya dengan tenang meski sedikit terluka. "Daddy tidak apa-apa-- tenang, Irvan. Kau sudah menyelamatkan Daddy."
Irvan berbalik, matanya masih penuh gejolak. Ia menatap tangan kanannya yang berlumur darah__ bukan miliknya, tapi darah orang lain.
Sementara itu, Dharma menatap kejadian itu dengan wajah tegang. "Bawa anak itu ke mobil! Jangan sampai kabur!" perintahnya kepada staf. "Kita harus tahu siapa yang menyuruhnya."
Suasana yang tadinya hangat berubah drastis menjadi kacau. Sirene patroli mulai terdengar dari kejauhan.
Raisa mendekati Irvan perlahan. "Kau-- tidak terluka, kan?"
Irvan hanya diam, menatap kosong ke tanah. "Aku tidak apa-apa--" suaranya pelan, tapi rahangnya masih mengeras menahan emosi. "--tapi dia hampir membunuh ayahku."
Raisa menatapnya semakin kagum mendengar jawaban Irvana.
Di balik semua kegemparan itu, satu hal pasti__hari yang seharusnya menjadi simbol kemenangan dan kebaikan, berubah menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih kelam.
.
Setelah polisi membawa pergi remaja penyerang itu, suasana panti kembali sunyi. Anak-anak sudah diamankan di dalam, dan staf sibuk menenangkan warga. Namun bagi Irvan, dunia seolah masih berputar cepat__dadanya sesak oleh adrenalin dan kemarahan yang belum sepenuhnya padam.
Ia berdiri di tepi halaman, napasnya masih berat, matanya menatap kosong ke arah tempat kejadian. Tangannya gemetar halus, masih terasa dingin akibat cengkeramannya pada pisau tadi.
"Van-- Ayo kita pulang." suara Darwis terdengar pelan dari belakang, tapi Irvan tak menoleh.
"Daddy pulang duluan saja," ucap Irvan lirih. "Aku butuh waktu-- untuk menenangkan diri."
Darwis menatap putranya lama, memahami bahwa amarah dan ketakutan yang bercampur barusan bukan hal mudah untuk dihapus. Ia menepuk bahu Irvan ringan. "Baiklah, Nak. Tapi jangan biarkan amarah menguasaimu terlalu lama."
Irvan hanya mengangguk pelan, lalu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan kerumunan. Langkahnya panjang dan tegas, tapi dari sorot matanya jelas__ia masih berperang dengan perasaannya sendiri.
...----------------...
Next Episode...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Deyuni12
hmm
2025-10-06
1