Bab 5
Fajar baru menyingsing ketika Yasmin bangun dengan mata sembab. Semalam, perkataan Nek Wan terus terngiang di kepalanya. Ayahnya—lelaki yang selama ini ia kenal hanya lewat foto buram di lemari tua—ternyata punya kaitan dengan keluarga Ziyad. Luka lama yang begitu dalam, yang sampai sekarang tak pernah sembuh.
Yasmin duduk di tepi ranjang, menatap lantai kayu yang dingin. “Ayah… apa sebenarnya yang terjadi dulu?” gumamnya lirih.
Dari luar kamar, suara Nek Wan terdengar memanggil. “Min, cepat keluar. Kita harus bicara lagi,” ujar Nek Wan tegas.
Dengan langkah berat, Yasmin keluar. Di ruang depan, cahaya matahari pagi masuk lewat celah dinding bambu. Nek Wan duduk di kursi tua, tangannya bergetar memegang tasbih. Wajahnya keras, tapi matanya menyimpan kepedihan.
“Kau tidak boleh lagi mendekati Ziyad,” ucap Nek Wan tanpa basa-basi.
Yasmin terdiam, lalu menggenggam tangannya sendiri. “Nek… kenapa ayahku disebut korban? Apa yang sebenarnya terjadi dulu?” tanyanya lirih.
Nek Wan menunduk, bahunya gemetar. “Ayahmu… meninggal karena sebuah tragedi. Keluarga Ziyad ada di balik semua itu,” jawabnya berat.
Yasmin menelan ludah, dadanya sesak. “Tapi Nek… Ziyad tidak bersalah. Aku lihat sendiri bagaimana ia merawat ibunya. Ia bukan orang jahat,” balasnya dengan suara bergetar.
“Itu karena kau belum melihat sisi gelap mereka. Luka yang mereka tinggalkan di keluarga kita tidak akan pernah hilang,” ujar Nek Wan dingin.
Air mata Yasmin kembali jatuh. “Aku… aku hanya ingin percaya kalau ada kebaikan di balik semua ini,” bisiknya lirih.
“Percaya boleh. Tapi jangan menyerahkan hatimu. Itu akan menghancurkanmu, Min,” balas Nek Wan tegas.
***
Siang menjelang, Yasmin memberanikan diri untuk pergi ke ladang sendirian. Ia butuh menenangkan pikiran. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Ziyad sedang berdiri di tepi sawah, menatap hamparan hijau dengan wajah letih.
Angin berhembus pelan, membuat rambut Yasmin menutupi sebagian wajahnya. Ia menarik napas panjang, lalu mendekat.
“Dokter…” panggilnya pelan.
Ziyad menoleh, tatapannya dingin tapi sarat lelah. “Kau seharusnya tidak di sini,” ujarnya datar.
“Aku hanya ingin bicara,” jawab Yasmin gugup.
“Bicara tentang apa? Tentang apa yang kau lihat semalam?” tanya Ziyad tajam.
Yasmin menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. “Aku lihat bagaimana kau merawat ibumu. Aku tahu… kau bukan lelaki dingin seperti yang orang-orang kira,” ucapnya lirih.
Ziyad terdiam, rahangnya mengeras. “Jangan jatuh dalam ilusi, Yasmin. Aku memang dingin. Aku memang keras. Karena itulah aku bertahan,” balasnya dingin.
“Tapi aku melihat yang berbeda,” ujar Yasmin dengan suara gemetar.
Ziyad mendekat, jarak mereka hanya beberapa langkah. “Kalau kau terus melihat ke arahku, kau akan ikut tenggelam dalam luka yang tidak akan pernah sembuh,” ucapnya berat.
Air mata Yasmin menetes. “Kalau itu luka, biarkan aku ikut merasakannya. Aku tidak ingin kau memikul semuanya sendirian,” balasnya tulus.
Ziyad menutup mata sejenak, lalu menoleh ke arah lain. “Kau tidak tahu apa yang kau katakan,” jawabnya lirih.
***
Sore itu, kabar buruk beredar di desa. Ibunda Ziyad kembali kritis. Orang-orang mulai berbisik-bisik, sebagian menyalahkan dosa lama keluarga mereka, sebagian lagi merasa iba.
Yasmin mendengar kabar itu dari tetangga. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju rumah Ziyad. Nafasnya memburu, dadanya seakan pecah.
Di dalam rumah, ia melihat Ziyad duduk di samping ibunya, menggenggam tangan kurus itu erat. Wajah Ziyad pucat, matanya merah.
“Ibu… bertahanlah. Aku masih butuh Ibu,” ucapnya lirih.
Ibunya tersenyum lemah. “Nak… kalau nanti Ibu pergi, jangan simpan semua ini sendirian. Bukalah hatimu. Jangan biarkan dendam membunuhmu,” bisiknya pelan.
“Aku tidak bisa, Bu. Terlalu banyak yang terjadi,” balas Ziyad patah.
“Ibu percaya, ada satu cahaya yang bisa menyelamatkanmu,” ucap ibunya lirih.
Ziyad menunduk, air matanya jatuh deras. Yasmin yang berdiri di ambang pintu ikut menangis, dadanya sakit melihat pemandangan itu.
Namun tiba-tiba, Ziyad menoleh dan melihatnya. Wajahnya langsung berubah tegang.
“Kenapa kau ada di sini lagi?” ucapnya tajam.
“Aku… aku hanya ingin tahu kabar ibumu,” jawab Yasmin terbata.
“Pulang, Yasmin! Jangan campuri urusan keluargaku!” ujar Ziyad keras.
Yasmin menggigil, air matanya semakin deras. “Aku tidak bisa diam saat melihatmu menderita,” balasnya gugup.
“Kalau kau peduli padaku, jauhi aku. Itu satu-satunya cara kau bisa menolongku,” ucap Ziyad berat.
***
Malam turun. Yasmin kembali ke rumah dengan langkah gontai. Nek Wan menunggu di teras, wajahnya penuh kekecewaan.
“Kau lagi-lagi ke sana, ya?” tanya Nek Wan tegas.
Yasmin menunduk, tidak menjawab.
“Min, dengarkan Nek. Keluarga itu telah mengambil ayahmu dari kita. Kalau kau terus mendekat, kau akan kehilangan lebih banyak lagi,” ujar Nek Wan lirih.
Yasmin menangis, bahunya bergetar. “Tapi Nek… aku sudah jatuh hati padanya. Aku tidak bisa lagi berpura-pura membenci,” ucapnya patah.
Nek Wan terdiam, lalu menatap cucunya dengan mata berkaca-kaca. “Kau akan menyesal, Min. Percayalah,” bisiknya sendu.
***
Di rumah Ziyad, ibunya kembali menggigil, tubuhnya semakin lemah. Ziyad duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat.
“Ibu… jangan tinggalkan aku. Aku belum siap,” ucap Ziyad lirih.
Ibunya menatapnya dengan senyum samar. “Nak… jangan biarkan masa lalu mengikatmu selamanya. Ada masa depan yang harus kau jalani,” bisiknya pelan.
Ziyad menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah. Untuk pertama kalinya, lelaki itu runtuh tanpa bisa menahan.
Di luar, Yasmin berdiri, mendengar tangisan itu menembus dinding rumah. Ia menutup mulutnya agar tidak terisak keras, tapi air matanya terus mengalir deras.
Hatinya hancur. Ia tahu, ia tidak bisa lagi berpaling dari lelaki itu.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments