Bab 2 : Waktunya Berburu

Waktunya Berburu

“Ok stop!!” teriak Ovi.

Maka para mahasiswi baru yang tengah berlari itu berhenti dan seketika luruh duduk di lapangan tanah dengan dada yang terengah-engah. Tubuh mereka begitu letih. “Heh siapa suruh duduk?! Bangun!” teriak Ovi diikuti kating lain yang bergerak menarik para mahasiswi baru itu untuk berdiri. Semua bangun dari duduknya dengan malas, salah seorang mahasiswi jatuh lagi tak sanggup untuk berdiri. “Bawa dia ke tenda senior, suruh istirahat sebentar kalau masih lemah siram air ke wajahnya!” perintah Boba. Maka mahasiswi itu pun digotong menuju tenda senior.

“Sekarang turunkan beban kalian!” teriak Ovi, semua mahasiswi itu meletakkan batu-batu tersebut seraya menghela nafas lega. “Anggap kalau beban kalian itu adalah sampah, bukan batu … jadi kalian harus bisa menemukan cara untuk me-reduksi sampah agar tidak menjadi beban lingkungan … jadi itu maksud dari tugas lari keliling lapangan sambil menggendong batu ini … nah sekarang siapa yang berani bilang kalau tugas yang kami perintahkan tidak nyambung dengan jurusan yang kalian ambil hah!?” sindir Ovi seraya melirik tajam pada Anggi. Anggi hanya menunduk diam tak berkomentar. “Ga banyak bacot lo ya sekarang,” gumam Evelyn menatap Anggi yang tertunduk.

“Ok, sekarang balik ke tenda masing-masing … istirahat lima menit setelah itu balik lagi ke lapangan sini … dan pakai jaket kalian!!” perintah Ovi. Maka semua mahasiswi baru itu pun bubar. Dina segera merebahkan tubuhnya di atas matras ketika sampai di dalam tenda. “Hufffhhh … kalau tau gini sumpah deh gue ga akan mau ikut ini orientasi,” cetusnya sembari meregangkan tubuh. Anggi memeriksa telepon genggam yang disimpannya di tas. Ia membaca sms dari mamanya lalu membalasnya. “Nggi, kenapa lo sekarang banyak diam?” tanya Dina. “Kalau gue banyak ngomong gue takut kalian yang kena imbasnya,” sahut Anggi lalu merebahkan tubuhnya di samping Dina.

“Lo bener Nggi … lo juga harus hati-hati … perasaan gue bilang, lo lagi diincer sama mereka,” bisik Dina. “Coba aja … selama gue benar, gue ga takut Din … itu yang diajarin Mama gue ke gue,” balas Anggi. “Mama gue juga bilang gitu … tapi tetep aja gue takut … gue penakut sih orangnya … nyali gue ga seberani lo Nggi,” sahut Dina. Anggi tersenyum, berbisik, “Mereka juga berani karena banyakkan … soalnya di jurusan kita ini ceweknya sedikit jadi mereka merasa bisa seenaknya … coba kalau angkatan kita ini ceweknya banyak … bisa kita gulung mereka.”

“Waktu istirahat selesai! Semua keluar!! Semua kumpul di lapangan!” teriak Boba. Mendengar perintah Boba maka para kating lainnya segera menyeruak masuk ke dalam tenda-tenda untuk menarik membangunkan semua mahasiswi baru yang belum lama beristirahat itu. “Cepat! Cepat! Jangan kebanyakan mager! Dasar generasi pemalas!” seru mereka. Anggi dengan cepat memakai jaketnya yang anti air, dan menyelipkan telepon genggamnya di kantong dalam dekat dada. Kemudian ia keluar dari tenda. Suara gemuruh petir terdengar disusul dengan hujan yang mulai turun merintik.

“Semua jongkok!! Dan diam!” teriak Ovi.

Para mahasiswi baru itu berjongkok di lapangan. Para kating berjalan di antara mereka, beberapa mengeplak kepala para mahasiswi baru yang masih ngedumel. Hujan pun turun cukup deras. Beberapa kating tampak membawa sebuah panci besar dan diletakkan di depan lapangan sehingga semua mahasiswi baru itu bisa melihat. “Malam ini akan menjadi malam yang panjang … jadi … kami sebagai kating kalian yang baik hati … akan memberikan kalian makan sebelum kalian memulai aktivitas berikutnya … silahkan nikmati mie rebus ala kami ini!!” seru Boba memberi tanda pada rekannya untuk membuka tutup panci itu.

Tutup panci dibuka. Uap panas terlihat mengebul keluar dari panci seiring air hujan yang menyerbu masuk ke dalam panci dan bercampur dengan mie rebus tersebut. Ovi dan Evelyn tertawa, mereka tampak senang melihatnya. Mie rebus bercampur air hujan itu dibagikan di dalam mangkok-mangkok plastik sekali pakai. “Setelah makan, mangkok plastiknya jangan dibuang sembarangan, taro di depan kalian! Ingat, sebagai mahasiswi teknik lingkungan kalian tidak boleh membuang sembarangan limbah plastik bukan?” teriak Boba di tengah derasnya hujan yang turun. Para mahasiswi itu menerima mangkok-mangkok berisikan mie rebus yang kuahnya telah bercampur dengan air hujan, beberapa bahkan bercampur dengan daun-daun dari pohon yang jatuh.

“Ayo di makan! Sebelum mienya dingin!” teriak Boba.

Para mahasiswi itu terlihat ragu menatap mangkok-mangkok mie di tangan mereka bahkan sebagian dari mie mereka, kuahnya sudah luber dengan air hujan.

“Kenapa diam? Kalian ga menghargai kami yang sudah nyiapin mie ini hah?” teriak Ovi. Maka mau tak mau, para mahasiswi baru itu menyendok mie tersebut dengan jari-jari mereka dan menyuapkannya ke dalam mulut dengan terpaksa.

Evelyn berjalan mengambil satu mangkok mie, lalu membawanya pada Anggi. Ia berjongkok di depan Anggi. Anggi menatapnya. Evelyn tersenyum sinis lalu mengangkat mangkok tersebut ke dekat bibirnya dan membuang ludahnya ke dalam mangkok tersebut. “Makan nih,” cetusnya pada Anggi seraya menyodorkan mangkoknya. Dina yang berada di sebelah Anggi merasa jijik dan mual melihatnya.

Anggi menatap mata Evelyn, begitu juga sebaliknya.

Hujan masih terus turun.

“Makan! Atau ntar malam lo ga kita kasih makan,” ancam Evelyn.

“Gue lebih baik kelaparan,” balas Anggi tegas.

Evelyn manggut-manggut, “Ok kalau itu mau lo,” lalu ia membalikkan mangkoknya di tanah becek. “Kita lihat seberapa tangguhnya lo malam ini,” bisik Evelyn di telinga Anggi. Kemudian ia meninggalkan Anggi. “Nggi … kita makan mie gue berdua,” bisik Dina menawarkan membagi mienya. Anggi menggeleng, berkata sambil menatap Evelyn dan Ovi, “Engga Din … lo aja yang makan, lo butuh tenaga buat apa pun yang sedang mereka rencanakan malam ini.”

...***...

Agni tersenyum membaca pesan sms yang masuk dari putri sulungnya.

Ia membalas mengetik, “Ok Sayangku … nanti malam Mama telepon ya.” Setelah mengirim balasan pesannya, ia menemui seorang kliennya yang telah menunggu di lobi kantor. “Maaf menunggu Pak …” senyum Agni pada kliennya. “It’s ok, Bu,” balas sang klien. “Jadi … seperti yang Bapak minta kemarin, ini gambaran dari plan asuransi jiwa dengan premi tiga juta perbulannya,” ucap Agni seraya menyodorkan lembaran-lembaran kertas print out di atas meja. Bapak itu mengambil kertas-kertas tersebut. Agni melirik pada jam di dinding ketika kliennya sedang fokus membaca plan asuransi yang ditawarkannya.

Pukul 17.00.

Akhirnya setelah menunggu, bapak itu menyetujui plan asuransinya, mereka pun berjabatan. Setelah kliennya pergi, Agni segera mengambil tasnya bergegas menuju parkir mobil. “Halo Anin? Tunggu ya, Mama segera jemput ke situ … iya … tadi ada klien … Adit ada di situ juga ‘kan? Iya iya … ini Mama cepat-cepat kesana … tunggu ya, jangan kemana-mana,” cetus Agni menutup teleponnya dan menjalankan mobilnya.

Di perjalanan ia mencoba menelpon putri sulungnya dengan panggilan suara seperti yang dilakukan Anindya tadi pagi. “Telpon putriku Anggi,” ucap Agni, tapi telepon genggam itu tidak memberikan respon apa-apa. “Telepon putriku Anggi,” ulangnya lagi, tetap tidak ada perubahan apa-apa pada telepon genggamnya. “Telepon putriku Anggi! Hoy! Hey!” seru Agni mulai kesal tetapi tidak ada yang terjadi. “Telepon putriku Anggi, brengsek!” umpat kesalnya. Tidak ada sambungan juga, dengan kesal ia melempar telepon genggamnya ke jok sebelahnya. “Perasaan tadi pagi Anin kok kayak yang gampang sih,” gerutunya.

Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Kedua anak kembarnya itu naik ke dalam mobil dengan wajah cemberut. “Ma lama banget deh!” ketus Aditya. Disusul protes Anindya, “Ma, tau ga sih kalau menunggu itu pekerjaan yang teramat membosankan?!” Mama Agni mengatupkan tangannya di dada, “Iya, iya … Mama salah … maafkan … tadi ada klien datang sore, mau ditolak ga enak, maafkan yaaa … buat nebus kesalahan gimana kalau sekarang kita beli es krim sundae dan hot dog?” Aditya langsung berteriak, “Yes! Setuju!” tapi Anindya masih tampak cemberut.

“Anin … maafin Mama yaaa … Anin mau apa atuh supaya ga cemberut lagi?” bujuk mama. “Anin mau Mama ga telat lagi!” tukasnya. “Ok, ok … besok Mama janji ga telat lagi deh,” janji mama. “Yaaah … telat aja Ma … biar kita bisa beli es krim dan hot dog lagi,” sahut Aditya. Dengan cepat Anindya memukul wajah Aditya dengan bantal. Aditya tertawa. “Iya, iya … besok Mama ga telat dan kita tetap beli es krim dan hot dog!” ujar mama. Aditya bersorak lagi dan Anindya tersenyum. “Sekalian besok kita cari camilan buat Kak Anggi ya, lusa kita ke Bogor, jemput Kak Anggi,” sambung Mama.

Mobil membelah jalanan kota yang mulai diguyur hujan.

Beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah café. Setelah memarkirkan mobil, mereka turun dengan berlarian menghindari hujan, masuk ke dalam café tersebut. Mereka memilih meja di sebelah jendela dan mulai memesan. Anindya dan Aditya bercanda sedang Agni terlihat gelisah. Ia memandang sejenak pada hujan yang turun semakin deras lalu mengeluarkan telepon genggamnya. “Nin, gimana sih kalau mau nelpon hanya dengan perintah suara?” tanya Agni, “ tadi Mama ga bisa-bisa.” Anindya tertawa, “Gampang Ma … buka dulu kunci teleponnya trus Mama tinggal sebut deh nama orang yang mau ditelpon sesuai dengan nama yang Mama tulis di telpon Mama itu.” Agni menepuk jidatnya, “Pantesan ga bisa … Mama tadi maen langsung ngomong aja, lupa ga dibuka dulu kunci hapenya.” Anindya dan Aditya tertawa. Pesanan mereka akhirnya datang dan tanpa dikomando lagi Aditya langsung menyantap hot dog berukuran besar itu dengan lahap begitu pula Anindya. Agni tersenyum melihat mereka yang bersemangat menikmati makanannya, sedang di dalam hatinya ia merasakan gelisah.

Ia memijit nomer telepon putri sulungnya mencoba menghubunginya tetapi tidak ada nada sambung. “Kenapa Ma? Kok ga dimakan hot dog-nya?” tanya Anindya yang memperhatikan mamanya. Agni tersenyum, menjawab, “Nanti, Mama masih kenyang,” lalu mencoba menghubungi Anggi lagi. Tidak ada nada telpon yang menyambung, Agni menghela nafas. “Kak Anggi lagi sibuk kali Ma, jadi teleponnya dimatiin …” ujar Anindya. “Tapi dia janji mau terima telpon Mama malam ini,” resah Agni. Dalam hatinya Agni bertanya-tanya, apakah Anggi sudah meminum obat flunya? Gimana kabarnya di tengah hujan deras begini? Apakah Anggi sudah makan atau belum?

“Ma tenang … Kak Anggi akan baik-baik aja, dia tangguh kok, Anin hapal Kak Anggi,” ucap Anindya seraya menggenggam jemari mamanya. “Iya Ma … ingat ga waktu Kak Anggi ngebelain aku di sekolah? Semua anak bandel itu takut sama Kak Anggi,” tambah Aditya. Agni tertawa mengingat itu. Putri sulungnya itu memang dikenal pemberani sejak kecil dulu. “Kalian betul … baiklah … gimana hari kalian tadi di sekolah? Ada yang mau diceritakan sama Mama?” lontar Agni mengalihkan pikirannya seraya mengambil hot dog-nya dan mulai mengunyahnya.

“Sekolah ga seru … sama aja kayak kemarin Ma … gimana kalau aku cerita kenapa roti yang kita makan ini disebut hot dog?” tawar Aditya. Agni manggut-manggut, “Nah itu lebih menarik Dit.” Anindya mengerutkan kening, “Lu beneran? Emang tau?” Aditya mengangguk-ngangguk yakin. “Masa sih … aku ga yakin deh … orang penemu lampu aja kamu ga tau Dit,” ledek Anindya. “Kalau yang ini tau dong … soalnya yang ini baru baca pas tadi nungguin dijemput Mama hehehe,” cengir Adit.

“Ceritain atuh Dit cepet,” pinta Agni. “Jadi jaman dulu, sosis itu bentuknya besar-besar Ma … nah saat itu perkumpulan pengusaha sosis di Jerman membuat sosis yang ukurannya lebih kecil dan panjang dengan ujungnya ditekuk seperti anjing tekel, anjing ras dachshund itu loh,” urai Aditya. “Oh dari situ jadi dipanggil hot dog gitu ya?” sela Anindya. “Ga, bukan gitu … sabar dong, certitanya belum beres nih … terus, sosis itu dibawa ke Amerika dan mulai dijual dengan roti yang menjepitnya, tetapi penyebutannya susah yaitu ‘red hot dachshund sausages’ sehingga roti itu ga terlalu dikenal. Sampai suatu hari seorang kartunis Amerika, menggambar seekor anjing tekel yang berlumur saus sedang dijepit roti panas … nah dari sinilah orang-orang mulai menyebut sosis dijepit roti panas itu dengan ‘hot dog’ sampai hari ini … jadi begitulah asal usul nama hot dog hadirin sekalian,” tutur Aditya.

Agni bertepuk tangan kecil, “Wah Mama baru tau loh Dit … cerita yang informatif, anak Mama hebat banget.” Agni mencubit gemas pipi Aditya yang dicibiri Anindya. “Sekarang mau tau ga Ma, dari mana asal usul nama gorilla?” tanya Aditya lagi, Agni langsung mengangguk bersemangat. “Baiklah kalau gitu kita tanya langsung pada ibu gorillanya saja … jadi dari mana nama gorilla itu Bu?’ tanya Aditya pada Anindya. Anindya seketika melotot. “Reseh lu, emang gue induk gorilla!!” serunya sebal lalu menimpuk Aditya dengan remahan roti sedang Agni tertawa lepas melihat kelakuan kedua anak kembarnya itu.

...***...

Hujan deras telah mereda, tetapi masih menyisakan rintik-rintik yang jatuh.

Malam telah menjelang tetapi di lapangan para mahasiswi baru itu masih terlihat berdiri gemetar kedinginan dengan jaket yang basah kuyup. Meski jaket mereka anti air tetap saja dinginnya air hujan dan dinginnya udara tempat perkemahan mereka di lereng gunung itu masih bisa terasa menusuk terlebih hujan telah mengguyur mereka sejak sore tadi.

“Sekarang waktunya permainan!” teriak Ovi tiba-tiba. Para mahasiswi baru itu saling pandang dan mengeluh. “Pfffhhh … yang gue inginkan itu balik ke tenda dan istirahat, gue udah kedinginan dan capek, bukannya permainan,” lirih Dina menghela nafas. Anggi merogoh kantong jaket dalamnya, mengintip telepon genggamnya sesaat dan dengan cepat menekan tombol rekam suara kemudian mengantonginya lagi.

“Diam! Diam! Dengar! Tenang! Setelah malam ini, tidak akan ada permainan lagi. Jadi malam ini adalah malam terakhir kita bermain … maka dari itu, kami akan membuat permainannya lebih seru dari orientasi tahun lalu, supaya nanti kalian bisa mengenang ini sebagai permainan team building di jurusan kita yang paling seru!  … daaan kabar baiknya … bagi kalian yang bisa survive dari permainan ini tepat saat matahari terbit besok akan mendapatkan penghargaan khusus dari kita!” teriak Ovi lagi, “terus gimana permainannya? Silahkan Kak Evelyn yang akan menjelaskan.”

Evelyn melangkah maju ke hadapan para mahasiswi baru itu dengan membawa sebuah senapan paintball di tangannya. Anggi dan rekan-rekan mahasiswi baru lainnya mengerutkan kening melihat itu. “Kalian semua pasti bertanya-tanya buat apa gue bawa senapan ini? Tentu saja buat main paintball dong … tapiiii … di sini hanya kita yang membawa senapan … kalian? Tidak! Hahaha,” ledek Evelyn puas.

Sontak seluruh mahasiswi baru itu memprotes.

“Diam! Diaaaam!!” teriak Ovi.

Semua pun terdiam. Evelyn berkata, “Kalian lupa ya sejak awal kita sudah sampaikan kalau kami adalah pemangsa dan kalian yang dimangsa, kami adalah pemburu dan kalian yang diburu … dan ingat! Kami adalah aturan … inilah aturan kami, patuhi, ikuti atau kami hukum!”

“Ini tidak sesuai dengan aturan jurusan dan orientasi!” kini Anggi berteriak, diikuti anggukan semua mahasiswi baru. “Supaya adil … beri kami juga senapan paintball … maka kami bisa survive sampai besok pagi!” teriak Anggi lagi menantang. “Ya betul! Setuju!” tambah Dina mendukung Anggi. Evelyn, Ovi dan Boba menatap tajam Anggi. “Anak ini cari mati,” bisik Ovi pada dua temannya. “Biar gue yang urus dia,” bisik Evelyn.

“Yang bilang permainan ini sesuai sama aturan jurusan siapa hey?! Permainan ini memang ga seusai dan ini adalah aturan kami!” hardik Evelyn. “Dan kalau gitu gue ga ikut!” tegas Anggi. Dina dan beberapa mahasiswi baru mengangguk menyetujui Anggi, sedang sisanya terdiam. “Si Sok Pintar bikin ulah lagi, ckckck … heh kalau lo dan teman-teman lo itu ga patuh maka semua mahasiswi di sini akan kita hukum!” ancam Ovi.

“Begini saja, buat yang patuh, dengar … permainannya adalah, kami akan mencari kalian di hutan, bila kalian tertembak maka kalian kalah, tetapi kalau kalian bisa bertahan sampai besok pagi tanpa tertembak, maka kalian menang dan akan mendapatkan penghargaan … ingat area hutannya telah kami batasi dengan bendera-bendera, kalian tidak boleh keluar dari batas bendera itu, kalau kalian melewati batas itu, kalian kami diskualifikasi dan akan dihukum berendam di sungai semalaman … mudah bukan?” cetus Evelyn.

“Ok Kak, kami ikut!” teriak sebagian besar mahasiswi baru itu.

Evelyn tersenyum, “Bagus.”

“Kalau begitu, rapatkan jaket kalian dan segera lari ke hutan cepat!!” teriak Boba, diikuti tindakan menarik dan mendorong dari para kating berjaket biru kuning lainnya untuk mengantarkan para mahasiswi baru itu berlarian menuju hutan.

Kini Evelyn menatap Anggi, Dina dan beberapa mahasiswi yang tadi tidak mau bermain. Semua kating mendatangi lalu mengelilingi mereka. “Well, well … apa yang harus kita lakukan sama para pembangkang ini?” sinis Ovi menatap mereka semua. Dina dan mahasiswi lainnya menunduk gemetar ketakutan, hanya Anggi yang menatap mereka satu persatu. Evelyn melangkah mendekati Anggi, berkata di depan wajahnya, “Anggi, Anggi … kenapa sih lo harus membuat semuanya jadi ribet? Tinggal patuh maka semua beres.” Anggi menatap Evelyn, berkata, “Selama sesuai dengan aturan dan kewajaran, maka gue akan patuh.”

“Si Sok Pintar … sekarang gue tanya, mana yang ga wajar? Kita bikin permainan ini untuk team building, supaya angkatan kalian kompak,” kilah Evelyn.

“Wajar, kalau kita pun dikasih senapan paintball,” jawab Anggi.

“Heh, kita juga dulu seperti ini … tapi ga ada yang sok pintar macam lo.”

“Gue bukan sok pintar Kak … gue cuma mengingatkan, jangan menganggap hal yang ga wajar jadi sebuah kewajaran hanya karena kalian punya kuasa,” ujar Anggi.

Evelyn mendengus, “Sekarang lo mau ikut maen atau ga?”

Anggi menggeleng.

Evelyn mengarahkan ujung senapan paintball-nya pada Dina. “Lo tau ‘kan kalau dalam jarak dekat peluru paintball bisa mematikan?” ucapnya menekan. “Lo ga akan berani,” tantang Anggi. Dar! Semua menjerit mendengar senapan paintball itu meletus. Dina gemetar ketakutan karena peluru paintball itu hanya berjarak beberapa senti dari kakinya. Anggi menelan ludahnya, ia tak menyangka Evelyn berani menembakkan senapan paintball-nya itu.

Melihat hal itu, mahasiswi yang tersisa segera menghambur berlari ketakutan meninggalkan Dina dan Anggi. “Hahaha … kabur deh lo semua!!” ledek Ovi melihat mahasiswi-mahasiswi baru itu lari tunggang-langgang masuk hutan. Ovi membawa senapan paintball-nya dan diikuti kating lainnya mereka menyusul para mahasiswi itu dengan berteriak-teriak senang.

Kini Evelyn mengarahkan ujung senapan paintball-nya pada kepala Dina.

“Percayalah, untuk tembakan kali ini gue ga akan meleset … jadi lo mau ikut maen atau engga, Sok Pintar?” cetus Evelyn. Anggi melirik pada Dina yang gemetar dan pucat. Ia tak bisa membiarkan seseorang menjadi celaka akibat dirinya, maka Anggi pun mengalah dan mengangguk. “Pergi lo,” perintah Boba pada Dina sembari mendorong tubuhnya. Dina menatap Anggi, Anggi mengangguk, Dina pun segera berlari menuju hutan.

Tinggal Anggi, Evelyn dan Boba berdiri di lapangan yang basah bekas diguyur hujan. Tiba-tiba Evelyn memukulkan popor senapan paintball-nya itu pada perut Anggi dengan keras. Anggi yang tidak siap mengaduh kesakitan memegangi perutnya. Boba terkejut melihat itu. “Itu hukuman karena lo melawan perintah gue, Sok Pintar,” tukas Evelyn. Anggi menahan rasa sakit di perutnya itu. “Sekarang … lo boleh pergi!” lanjut Evelyn mendorong Anggi. Anggi berjalan setengah bungkuk memegangi perutnya.

“Hey Nggi! Sebaiknya lo lari! Hahaha …” teriak Evelyn lalu meletuskan senapannya lagi ke udara. Anggi pun berlari. Boba menyiapkan senapan paintball-nya dan Evelyn berkata di sampingnya, “Bersiap Ba, sekarang waktunya berburu!” Mereka mengokang senapan mereka lalu berjalan ke dalam hutan dengan bersiul-siul.

Episodes
1 ​Kata Pengantar
2 Bab 1 : Keluarga Adalah Yang Terpenting
3 Bab 2 : Waktunya Berburu
4 Bab 3 : Gotcha!
5 Bab 4 : Pil-pil Perusak
6 Bab 5 : Hujan Deras Dihatiku
7 Bab 6 : Berantakan
8 Bab 7 : Tidak Ada Bukti
9 Bab 8 : Akan Kutunjukkan Betapa Remuk Redamnya Hatiku
10 Bab 9 : Luka
11 Bab 10 : Mentari Pagi yang Baru
12 Bab 11 : Jejak yang Hilang
13 Bab 12 : Dunia yang Tersembunyi
14 Bab 13 : Kembali ke Dunia Nyata
15 Bab 14 : Rumah, Kedamaian, dan Harapan
16 Bab 15 : Bisikan dari Hutan
17 Bab 16 : Echoes of Stone
18 Bab 17 : Bayangan Mengintai
19 Bab 18 : Rahasia di Balik Kegelapan
20 Bab 19 : Kenangan dari Jantung Hutan
21 Bab 20 : Jejak Cahaya di Kehidupan Sehari-hari
22 Bab 21 : Tahun-Tahun yang Berlalu
23 Bab 22 : Jejak yang Tak Lekang
24 Bab 23 : Kisah dari Hutan Ribu
25 Bab 24 : Jejak Awan di Langit Sore
26 Bab 25 : Menuju Hutan Ribu
27 Bab 26 : Senandung di Ketinggian
28 Bab 27 : Ketika Awan Berbisik Kata Bijak
29 Bab 28 : Simfoni Angin dan Awan
30 Bab 29 : Jejak Angin Menuju Hutan Kenangan
31 Bab 30 : Menembus Kabut Kenangan
32 Bab 31 : Semangat yang Tak Pernah Padam
33 Bab 32 : Ìlmu yang Menuntun Langkah
34 Bab 33 : Jejak Ilmu di Hutan Ribu
35 Bab 34 : Inspirasi dari Belahan Dunia Lain
36 Bab 35 : Langkah Mantap Menuju Esok
37 Bab 36 : Transendensi Naratif dalam Leksikon Akademis
38 Bab 37 : Implikasi Epistemologis dan Arah Penelitian Lanjutan
39 Bab 38 : Kearifan Lokal Mengiringi Langkah
40 Bab 39 : Undangan dari Alam
41 Bab 40 : Manyusuri Jalan Nan Takana
42 Bab 41 : Kabar dari Jantung Rimbo
43 Bab 42 : Manjalajah Rimbo Saribu
44 Bab 43 : Misteri Danau Hitam
45 Bab 44 : Melodi Pemulihan
46 Bab 45 : Bunga Pemulih dan Perpisahan
47 Bab 46 : Rencana di Bawah Bintang
48 Bab 47 : Menghadapi Kegelapan di Puncak
49 Bab 48 : Harmoni yang Pulih
50 Bab 49 : Sapaan dari Rimba Sunda
51 Bab 50 : Ikatan dengan Dunia Gaib
52 Bab 51 : Lidah yang Menjelajah Pulau
53 Bab 52 : Ketika Mantra Banyuwangi Bergema
54 Bab 53 : Menyusuri Jejak Kegelapan
55 Bab 54 : Menyusuri Kegelapan Gua
56 Bab 55 : Mata Air yang Merana
Episodes

Updated 56 Episodes

1
​Kata Pengantar
2
Bab 1 : Keluarga Adalah Yang Terpenting
3
Bab 2 : Waktunya Berburu
4
Bab 3 : Gotcha!
5
Bab 4 : Pil-pil Perusak
6
Bab 5 : Hujan Deras Dihatiku
7
Bab 6 : Berantakan
8
Bab 7 : Tidak Ada Bukti
9
Bab 8 : Akan Kutunjukkan Betapa Remuk Redamnya Hatiku
10
Bab 9 : Luka
11
Bab 10 : Mentari Pagi yang Baru
12
Bab 11 : Jejak yang Hilang
13
Bab 12 : Dunia yang Tersembunyi
14
Bab 13 : Kembali ke Dunia Nyata
15
Bab 14 : Rumah, Kedamaian, dan Harapan
16
Bab 15 : Bisikan dari Hutan
17
Bab 16 : Echoes of Stone
18
Bab 17 : Bayangan Mengintai
19
Bab 18 : Rahasia di Balik Kegelapan
20
Bab 19 : Kenangan dari Jantung Hutan
21
Bab 20 : Jejak Cahaya di Kehidupan Sehari-hari
22
Bab 21 : Tahun-Tahun yang Berlalu
23
Bab 22 : Jejak yang Tak Lekang
24
Bab 23 : Kisah dari Hutan Ribu
25
Bab 24 : Jejak Awan di Langit Sore
26
Bab 25 : Menuju Hutan Ribu
27
Bab 26 : Senandung di Ketinggian
28
Bab 27 : Ketika Awan Berbisik Kata Bijak
29
Bab 28 : Simfoni Angin dan Awan
30
Bab 29 : Jejak Angin Menuju Hutan Kenangan
31
Bab 30 : Menembus Kabut Kenangan
32
Bab 31 : Semangat yang Tak Pernah Padam
33
Bab 32 : Ìlmu yang Menuntun Langkah
34
Bab 33 : Jejak Ilmu di Hutan Ribu
35
Bab 34 : Inspirasi dari Belahan Dunia Lain
36
Bab 35 : Langkah Mantap Menuju Esok
37
Bab 36 : Transendensi Naratif dalam Leksikon Akademis
38
Bab 37 : Implikasi Epistemologis dan Arah Penelitian Lanjutan
39
Bab 38 : Kearifan Lokal Mengiringi Langkah
40
Bab 39 : Undangan dari Alam
41
Bab 40 : Manyusuri Jalan Nan Takana
42
Bab 41 : Kabar dari Jantung Rimbo
43
Bab 42 : Manjalajah Rimbo Saribu
44
Bab 43 : Misteri Danau Hitam
45
Bab 44 : Melodi Pemulihan
46
Bab 45 : Bunga Pemulih dan Perpisahan
47
Bab 46 : Rencana di Bawah Bintang
48
Bab 47 : Menghadapi Kegelapan di Puncak
49
Bab 48 : Harmoni yang Pulih
50
Bab 49 : Sapaan dari Rimba Sunda
51
Bab 50 : Ikatan dengan Dunia Gaib
52
Bab 51 : Lidah yang Menjelajah Pulau
53
Bab 52 : Ketika Mantra Banyuwangi Bergema
54
Bab 53 : Menyusuri Jejak Kegelapan
55
Bab 54 : Menyusuri Kegelapan Gua
56
Bab 55 : Mata Air yang Merana

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!