Sembilan bulan sudah berlalu sejak Arabella terkunci di ruang bawah tanah pengap itu. Udara lembab menusuk paru-parunya, bau karat besi dan kotoran melekat di dinding batu yang dingin. Perutnya kian membesar, tubuhnya kian kurus, tulang pipinya menonjol tajam, dan matanya cekung bagai jurang yang menelan cahaya.
Setiap hari ia hanya diberi makanan basi yang bahkan tak layak untuk seekor anjing. Terkadang, saat haus mencekik dan tak ada setetes air pun tersisa, Arabella terpaksa meneguk cairan paling menjijikkan demi bertahan hidup yaitu air kencingnya sendiri.
Di ambang kegilaan, ia sering berbicara sendiri, berusaha menipu pikirannya agar tidak runtuh. Namun setiap kali tangannya menyentuh perut yang bergerak pelan, tekadnya kembali kokoh. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya, satu-satunya alasan mengapa ia tidak boleh menyerah.Rasa sakit yang tak tertahankan merambat dari perut Arabella, menyayat sampai ke tulang. Keringat dingin membanjiri wajah tirusnya, tubuh kurusnya bergetar hebat. Nafasnya memburu, napas demi napas bagai tertahan di tenggorokan.
Tapi tiba-tiba perut nya mengalami kontraksi, Arabella menjadi panik dan juga takut
“Tidak… jangan sekarang…,” isaknya lemah, namun kontraksi di rahimnya semakin kuat, semakin sering.
Ia tahu waktunya telah tiba. Bayinya akan lahir.
Arabella mengetuk pintu besi dengan sisa tenaga, berteriak memanggil ibu tiri dan pamannya. “Tolong… aku akan melahirkan! Bawa aku ke rumah sakit… aku mohon!”
Namun dari balik pintu, terdengar suara dingin penuh kebencian.
“Biarkan dia melahirkan sendiri. Dia pantas merasakan neraka itu.”
Tawa sinis menyusul setelahnya, menghantam hati Arabella lebih sakit daripada kontraksi yang mencabik tubuhnya.
"Ayah tolong,aku mohon bawalah aku ke rumah sakit,anak ku akan lahir",ucap nya terbata-bata
tapi tak seorang pun yang peduli pada nya,Vania malah menertawakan nya,seolah-olah mengejek dirinya
Air mata mengalir deras, tapi ia tahu tak ada pertolongan,ia harus melahirkan seorang diri.
Dengan tubuh gemetar, Arabella merangkak ke sudut ruang bawah tanah. Lantai semen yang dingin menjadi ranjang persalinannya. Ia menggigit kain lusuh di tangannya, menahan jeritan saat rasa sakit semakin tak tertahankan.
“Ya Tuhan… tolong aku… tolong anakku…”
Detik demi detik berubah jadi siksaan panjang, hingga akhirnya, tangisan bayi pertama terdengar, lirih namun nyata. Arabella segera menyambut tubuh mungil yang terlahir dari rahimnya, air matanya bercucuran, mencium dahi kecil itu dengan penuh kasih.
Namun kontraksi belum berhenti. Rasa sakit kembali menyerang, membuatnya hampir pingsan. Bayi kedua lahir, diikuti bayi ketiga yang bahkan lebih kecil, tubuhnya ringkih, hampir tanpa suara tangis.
Dengan tubuh lemah dan tangan berlumuran darah, Arabella menatap ketiga bayi mungilnya. Mereka terlalu kecil, terlalu rapuh, akibat sembilan bulan tanpa nutrisi yang layak.
Air matanya menetes tanpa henti. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Tali pusar mereka masih menempel, dan ia tak punya gunting atau pisau. Dengan sisa kekuatan, Arabella menggigit tali pusat anak-anaknya satu per satu, darah memenuhi mulutnya. Ia terbatuk, namun terus melakukannya, karena nyawa ketiga bayi itu lebih penting daripada dirinya.
Setelah semua terputus, ia mendekap ketiganya erat di dada. Tangisan bayi-bayi mungil itu memenuhi ruang bawah tanah yang dingin, seolah memberi harapan di tengah neraka.
Arabella menatap langit-langit yang gelap, suaranya bergetar lirih.
“Kalian adalah alasanku bertahan… Mama janji, Mama akan melindungi kalian… meski nyawa ini taruhannya…”
Di antara penderitaan dan kesepian, untuk pertama kalinya, Arabella merasa tak sendirian lagi.
“Bertahanlah, Nak… Mama tidak akan membiarkanmu lahir di dunia ini tanpa harapan,” bisiknya lirih, sambil menahan air mata yang jatuh membasahi lantai dingin.
Arabella membalut tubuh mungil ketiga anak nya dengan sehelai kain tipis dari baju-baju lusuh nya,ketiga bayi itu terlihat sangat rapuh dan salah satunya yang paling kecil tidak menangis lagi,matanya terpejam,nafas nya tersenggal seolah-olah sudah mendekati ambang kematian
Arabella panik dan menjerit histeris
"tidak sayang,bertahan lah sedikit lagi mama akan membawa kalian dari sini"
Nafas Arabella masih tersengal, tubuhnya lemah, darah mengalir dari kakinya membasahi lantai semen. Tiga bayi mungil itu ia dekap erat-erat di dadanya, seakan takut mereka akan direbut kapan saja.
Kesempatan datang saat penjaga ruang bawah tanah tergesa keluar, terdengar suara rantai besi beradu lalu langkah kaki menjauh. Bau anyir bercampur udara pengap menusuk hidungnya, tapi Arabella tak peduli. Dengan langkah gontai, tubuh gemetar, ia menyeret kakinya keluar dari pintu yang terbuka sedikit.
Tangannya penuh darah, kain lusuh yang menempel di tubuhnya koyak. Tapi tatapannya penuh tekad. Ia tahu ini satu-satunya kesempatan.
Langkahnya berderak pelan menaiki tangga. Setiap gerakan seperti seribu jarum menusuk rahimnya yang baru saja melahirkan, tapi ia terus maju. Hingga akhirnya… sinar lampu rumah yang redup menyambutnya.
Belum sempat ia sampai ke pintu depan, suara lantang menghentak.
“Arabella!!”
Ayah nya berdiri dengan wajah marah, diikuti ibu tiri yang menjerit histeris. “Beraninya kau kabur, dasar anak tak tahu diri!”
Jantung Arabella berdentum keras. Ia memeluk bayinya makin erat, lalu berlari sekuat tenaga menuju pintu. Tubuhnya lemah, langkahnya terhuyung, darah menetes di lantai meninggalkan jejak. Teriakan marah dan langkah kaki mengejarnya terdengar makin dekat.
“Jangan biarkan dia kabur!”teriak ibu tirinya pada penjaga,tapi keberuntungan memihak padanya,sepertinya Tuhan sudah menjawab semua do'a-do'a nya selama ini
Arabella menabrak pintu depan dengan seluruh tenaganya. Engselnya berderit keras, dan ia berhasil keluar, terhuyung di udara malam yang dingin. Nafasnya kian pendek, pandangannya berkunang-kunang.
Di tengah jalan gelap, lampu mobil mendekat. Sebuah taksi berhenti mendadak. Sopirnya, seorang pria berumur lima puluhan, terkejut melihat sosok Arabella yang berlumuran darah sambil mendekap tiga bayi mungil.
“Ya Tuhan! Nona, kau baik-baik saja?” teriak sopir itu panik, segera turun membantunya.
Arabella hampir terjatuh, tubuhnya limbung. Dengan sisa tenaga, ia berbisik lirih, suaranya serak nyaris tak terdengar.
“Rumah sakit… tolong… selamatkan anak-anakku…”
Sopir itu tak banyak bertanya lagi. Ia segera mengangkat Arabella dan ketiga bayi mungilnya masuk ke dalam mobil. Mesin meraung, ban melaju kencang membelah malam.
Dari kaca spion, terlihat bayangan dua orang berlari keluar rumah, berteriak memanggil. Tapi taksi itu sudah melaju jauh, meninggalkan kegelapan dan neraka yang selama ini mengurung Arabella.
Di kursi belakang, Arabella mendekap ketiga bayinya erat-erat. Matanya setengah terpejam, tubuhnya kaku karena kelelahan. Namun sebelum gelap menyergap kesadarannya, ia sempat tersenyum samar, berbisik lirih:
“Kalian… akhirnya bebas…”
Arabella memeluk ketiga anak nya,matanya sesekali melihat kebelakang kalau-kalau ada yang mengejar nya,tapi untung nya dia tidak melihat apapun kecuali jalan yang sepi dan malam yang mencekam
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments