Bab 4: Persalinan

Dika mondar-mandir di depan pintu persalinan. Menunggu dengan sabar penanganan persalinan Lia.

“Suami ibu Lea?” tanya perawat dengan membawa lembaran kertas dalam sebuah map.

“Ya.”

“Ibu mengalami pendarahan hebat karena pelepasan plasenta dari dinding rahim sebelum waktunya. Ibu harus segera dioperasi agar ibu dan bayinya selamat. Tolong, anda tanda tangan di sini!” kata perawat itu tanpa basa basi.

Dika segera membubuhkan tanda tangannya di kertas itu. Bayangan Lea dengan darah yang mengucur deras di sela-sela pahanya, masih tergambar jelas dalam ingatannya.

“Ya Allah, selamatkan lah istriku dan bayinya,” ucap Dika lirih sambil menyerahkan kertas itu pada perawat.

Dika mencoba mengintip suasana di dalam ruangan saat perawat itu akan kembali masuk. Sekilas ia melihat tubuh Lea masih berbaring lemah tanpa suara di tengah ruangan dengan ditemani oleh beberapa ahli kesehatan yang sedang menunggu perintah untuk segera bertindak.

“Maaf, Bapak. Silahkan menunggu di sana!” perintah perawat sebelum menutup pintu ruangan tersebut.

Untuk sesaat, Dika masih berdiri termangu tepat di depan pintu. Ia tak tahu harus berbuat apa. Dirinya gelisah dengan keadaan Lea dan juga bayi yang ada dalam kandungannya. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan mereka. Meski bukan darah dagingnya, ia akan bersedih juga jika mereka tak selamat.

Ia masih berdiri terpaku, sampai sebuah suara membangunkan kesadarannya.

“Ini kunci mobil anda.” Lelaki bermata biru yang telah mengantarkannya, menyerahkan kunci mobilnya.

“Eh iya. Terima kasih atas bantuannya,” kata Dika dengan wajah yang masih diliputi kegelisahan.

“Sama-sama.” Antonio segera pergi. Ia tak mau terlibat terlalu dalam dengan keadaan Lea yang sekarang. Bisa-bisa ia akan dijadikan tersangka oleh suami Lea, atas kejadian yang menimpa istrinya. Ia sudah menolong membawanya ke rumah sakit. Tentu itu sudah cukup untuk menembus kesalahannya. Beruntung ia tak membawa lari mobil tersebut. Andaikan Lea selamat, maka misinya akan ia lanjutkan setelah ini. Namun jika tidak, Ia merasa lega tak lagi melihat orang yang menghinanya.

Kini tinggallah Dika seorang diri, duduk di kursi tunggu. Dengan wajah tertunduk, ia mengalun doa lirih di hati. Berharap semua akan baik-baik saja. Namun sesaat kemudian ia baru tersadar. Baju dan traning nya tidak baik-baik saja. Semua telah berubah warna. Warna merahnya bertambah luas dan bau anyir.

“Ah…bagaimana aku akan berdoa, jika bajuku tak suci. Meskipun aku tahu kalau Allah maha mendengar setiap doa, tapi jika keadaanku seperti  ini aku menjadi malu,” gumamnya dalam hati.

Ia segera menghubungi mbok Sari dan Satpam rumahnya, untuk membawakan keperluannya dan keperluan istrinya. Untuk saat ini biarlah perutnya kosong, karena ia juga sudah kehilangan selera makan. Lebih baik ia berdoa sebisanya. Anggap saja ini keadaan darurat. Toh, Allah maha maha mendengar setip hambanya. Sambil menunggu mereka, Dika pun melanjutkan doanya.

Lama sekali, mereka datang. Membuat Dika makin senewen. Gelisah dengan darah yang menempel di bajunya dan gelisah dengan keadaan Lea dan anak yang ada dalam kandungannya. Beberapa kali ia bangkit, mondar-mandir lalu duduk kembali. Begitu seterusnya sampai mereka datang.

“Alhamdulillah kalian datang.”

“Maaf Tuan. Jalanan macet. Banyak perayaan jalan sehat hari ini,” kata Pak Udin, satpam rumahnya dengan wajah ketakutan. Ia pun menyerahkan sebuah tas kecil yang berisikan barang-barang yang sudah dipesannya.

“Terima kasih.” Dika pun mengambil baju yang dia minta. Ia segera mandi dan berganti pakaian di toilet yang ada di sekitar ruangan persalinan.

Saat Dika kembali, keadaan masih sama. Belum ada lagi kabar tentang Lea. Dika duduk di samping mereka yang juga sama-sama gelisah. Apalagi dengan Mbok Sari, orang tua yang mengasuh Lea sejak kecil.

“Den Dika, Bagaimana keadaan Nona Lea?” tanya mbok Sari.

“Kita tunggu saja, Mbok. Semoga keduanya baik-baik saja.”

Mbok sari pun diam. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, memohon pada yang kuasa untuk keselamatan mereka berdua. Mereka semua duduk dalam kesunyian, diam tanpa suara. Hanya sesekali mereka menengok ke arah pintu ruang persalinan. Sampai akhirnya suara tangis seorang bayi, menyadarkan mereka semua.

“Anakku Mbok,” ucap Dika gembira.

“Semoga Den,” kata Mbok Sari harap-harap cemas.

Ia semakin berharap saat sebuah kepala muncul dari balik pintu menatapnya dengan wajah penuh kebahagian.

Dika segera menghampiri pintu, berharap pintu itu segera terbuka. Penantiannya tak sia-sia, sesaat kemudian kepala suster perawat muncul dari balik pintu.

“Suami ibu Lea,” ucapnya dengan wajah terkejut. Karena orang yang ia cari sudah berdiri di balik pintu.

“Ya, saya.”

“Putri bapak telah lahir dengan selamat.”

“Alhamdulillah,” ucap Dika. Dia segera tersungkur, melakukan sujud untuk menunjukkan rasa syukurnya yang mendalam atas nikmat yang diberikan saat ini dengan putri yang ia nantikan kelahirannya.

“Apakah bapak ingin mengadzaninya?” tanya perawat itu kemudian.

“Ya.”

“Mari ikut saya!”

Dika mengikuti langkah perawat ke dalam ruangan persalinan. Di sana tak lagi terlihat Lea, namun hanya seorang perawat yang membawa bayi yang masih merah dengan sebuah kain yang membalut tubuhnya. Ia tampak menggeliat dalam pelukannya perawat. Sesekali terdengar tangisan lirih dari bibirnya.

“Silahkan diadzani, Bapak!”

Tak terkira bahagia hati Dika, saat melihat bayi mungil nan cantik di hadapannya. Putriku, sebutnya dalam hati.

Ayudia Wardhana, mungkin ini nama yang cocok untuk beby yang cantik ini.

Ia tahu bahwa putri ini bukan putrinya, sehingga dia tak berani memberikan namanya di belakang namanya. Namun dia akan menyayanginya seperti putrinya sendiri.  

ia segera mengalunkan Adzan di telinga kirinya dan juga iqomah di telinga kirinya. Ia pun menyerahkan Ayu kepada perawatnya lagi.

“Di mana istri saya?” Dika merasa aneh. Mengapa sejak ia masuk di ruang ini, ia tak melihat keberadaan Lea.

“Ibu masih dalam keadaan kritis. Kami masih berusaha menanganinya.”

Tubuh Dika terasa lemah, tulang-tulangnya serasa hilang, tak lagi  bisa menyangga tubuhnya. Beruntung Ia masih sadar.

“Bolehkah aku menemuinya,”

“Tidak. Sekarang silahkan bapak menunggu di luar. Biarkan kami menanganinya dengan baik,” kata perawat dengan tegas.

Dengan terpaksa, ia mengikuti apa yang dikatakan perawat. Ia keluar meski dengan hati gelisah.

Dua hari berjalan, Lea masih belum keluar dari ruang ICU. Dika sangat khawatir.

Tapi yang lebih ia khawatirkan adalah baby cantik, mungil yang kini berbaring di box kamar perawatan. Tangisnya yang kadang terdengar membuatnya terenyuh. Apakah dia sedang lapar?

“Lea, cepatlah bangun,” bisiknya dalam hati saat mencoba menenangkan baby cantik dalam gendongannya.

Dengan telaten, Dika memasukkan ujung dot yang berisi susu formula.

Dika bersyukur akhirnya Lea sudah bisa pindah ke ruang perawatan meski dalam keadaan koma. Ruang sama yang kini ditempati putrinya.

“Semoga keberadaan sang putri, bisa membuatnya cepat sadar,” kata Dokter yang menangani persalinan Lea.

“Mr. mungkin dengan mengajaknya komunikasi, ibu akan cepat sadar,” kata seorang dokter sebelum meninggalkan mereka bertiga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!