Sudah Tiga Hari Berlalu
Sudah tiga hari berlalu sejak aku menghajar Pak Suryo sampai mati lelaki tua yang berubah menjadi sesuatu yang mirip zombi.
Sejak itu, aku nyaris tak keluar rumah. Semua pintu dan jendela terkunci rapat, tirai tertutup, dan malam-malam kuhabiskan di rumah yang gelap gulita, terbungkus selimut seolah bisa melindungi dari segala hal di luar sana.
Makan? Aku hanya mengambil apa pun yang tersisa di kulkas, menjejalkannya ke perut, lalu kembali tidur. Begitu terus, berulang-ulang.
Televisi tak pernah menyala. Aku bahkan menahan diri untuk tidak membuat suara sekecil apa pun takut kalau-kalau tanah di kebun tiba-tiba bergejolak dan Pak Suryo yang sudah terkubur itu bangkit lagi.
Di dalam rumah yang membuat waktu terasa mati tak ada tanda siang atau malam aku mulai menyadari sesuatu yang mengejutkan.
Bukan karena “tetangga sudah kubunuh” itu sendiri…
Tapi karena rasa bersalahku ternyata… hanya sedikit.
Saat kejadian itu, aku memang sepenuhnya tenggelam dalam naluri bertahan hidup.
Jika aku ragu sedetik saja, mungkin justru aku yang tergeletak tak bernyawa di taman.
Lagi pula, saat itu, Pak Suryo sudah bukan manusia dia benar-benar seperti zombi.
Namun, apa itu berarti aku bisa begitu saja memaafkan diriku?
Bisa membunuh seseorang, lalu hanya merasa bersalah selevel dengan… mencuri sepeda bekas di pinggir jalan?
Aku bahkan tak pernah mencuri seumur hidup.
Jadi… apa ini berarti aku orang yang berhati dingin?
Mungkin aku memang lebih cepat tanggap daripada karakter bodoh di film-film panik… tapi entah kenapa, alur pikirku belakangan ini terasa seperti… penjahat.
Ya, penjahat yang biasanya mati mendadak di klimaks cerita.
Sepertinya aku kembali terjebak dalam lingkaran kebencian terhadap diri sendiri persis seperti yang kualami selama tiga hari terakhir.
Tapi… tunggu.
Bukankah ada sesuatu yang jauh lebih penting?
“Rokokku habis…! Sial, aku sudah tiga hari nggak merokok!”
Begitu kesadaran itu menghantam, semua hal lain langsung menguap.
Rasa bersalah terhadap lelaki tua yang kubunuh? Hilang.
Bayangan wajahnya yang berlumuran darah? Lenyap.
Yang tersisa hanyalah pikiran tunggal: aku butuh rokok.
Lucunya, kalau Pak Suryo itu ternyata orang baik, mungkin aku masih akan gelisah.
Tapi kenyataannya? Dia selalu menjadi tetangga yang menyebalkan.
Setiap hari mengoceh soal aku yang “nganggur, nganggur, dan nganggur” seakan hidupku hanya itu.
Apapun yang kukatakan selalu ia tafsirkan secara negatif.
Bahkan pernah, tanpa basa-basi, dia bilang aku pasti kekurangan uang.
Ketika kujawab kalau aku punya tabungan dan semuanya baik-baik saja, dia malah marah.
Benar-benar tipe orang yang kalau kau beri roti, dia akan mengeluh rotinya kurang hangat.
Aku mulai kesal sendiri.
Kenapa aku harus menyiksa diri dengan rasa bersalah terhadap pria setengah baya yang bahkan semasa hidupnya sudah begitu menyebalkan?
Pertama-tama, kemungkinan besar lelaki tua itu sudah kehilangan kesadaran diri saat menyerangku.
Mungkin.
Tentu saja.
Itu lebih mirip binatang buas yang menerkam mangsanya.
Aku hanya ragu karena wujudnya masih terlihat seperti manusia.
Kalau dipikir-pikir, yang kulakukan adalah mengakhiri hidup seorang pria yang sudah kehilangan jati diri, terjebak dalam kondisi liar, sebelum ia sempat melukai orang lain yang tak berdaya.
Bukankah itu… bukannya aksi seorang penjahat, melainkan langkah seorang pahlawan yang membawa semangat keadilan?
…Astaga, aku nggak tahan!
Seumur hidupku aku nggak pernah bertahan nggak merokok selama ini, pikiranku benar-benar mulai kacau!
Aku membuang waktuku yang seharusnya dipakai untuk mengisap nikotin demi merenungi hal yang bahkan tak bisa disebut pertobatan untuk orang tua itu.
Sialan!
Nggak ada gunanya terlalu dipikirkan!
Aneh? Ya, memang.
Tapi kalau memang nggak ada cara lain, ya sudahlah!
Mari kita sederhanakan semuanya:
Apa yang ingin aku lakukan? → Merokok!
Apa yang tidak ingin aku lakukan? → Mati!
Jadi apa yang harus aku lakukan? → Bertahan hidup!
Sampai kapan? → Entahlah! Sampai aku bosan!
Yessss! Selesai!
Itu keputusan yang brilian, menurutku.
Kalau aku mau mati, aku bisa melakukannya kapan saja melompat dari atap rumah, atau bahkan mengolesi tubuhku dengan minyak goreng lalu menerjunkan diri ke tengah gerombolan zombi.
Sulit membayangkan Pak Suryo adalah satu-satunya zombi di dunia.
Kalau memang cuma dia, pasti sejak awal sudah ditangkap polisi, dibasmi TNI, atau ditembak mati, dan selesai. Tamat.
Aku memang nggak dalam kondisi mental yang stabil untuk memikirkan semua ini sekarang.
Tapi kalau suatu hari aku benar-benar putus asa, opsi itu selalu ada di laci pikiran.
Sekarang setelah kebijakan sementaraku diputuskan, rasanya jauh lebih lega.
Lucu juga, ya sesuatu seperti zombi beneran muncul di hadapanku, dan aku malah menemukan ketenangan.
Mungkin hidup memang lebih mudah kalau kau sedikit gila.
Filosofiku sederhana:
Hidup sampai bosan. Itu saja.
Malam itu, rumah terasa seperti kuburan pribadi.
Sunyi. Gelap. Hanya bunyi detak jam yang terdengar, dan bahkan itu pun terdengar seperti penghinaan menghitung detik demi detik hidupku yang entah mengarah ke mana.
Aku duduk di lantai, bersandar pada tembok, rokok terakhir sudah lama habis, dan satu-satunya yang menemaniku hanyalah pikiran aneh yang datang silih berganti.
Kadang aku merasa seperti tokoh utama di film bertema kiamat tapi versi murahan yang syutingnya gagal didanai di tengah jalan.
Di luar, entah ada berapa lagi Pak Suryo-Suryo lain yang berkeliaran.
Aku belum mendengar jeritan atau suara tembakan, tapi bukan berarti dunia aman. Bisa saja semuanya sudah selesai, dan aku cuma orang bodoh yang belum membaca berita terakhir.
Atau… mungkin ini baru permulaan.
Sialnya, aku tidak tahu mana yang lebih buruk: dunia yang hancur total, atau dunia yang tetap berjalan normal tapi aku yang mulai gila.
Lampu dapur berkedip sebentar. Listrik? Bahan bakar terakhir peradaban ini? Aku tidak tahu. Dan aku juga tidak mau tahu.
Yang jelas, kalau listrik padam, aku akan sendirian di kegelapan, bersama pikiran yang makin liar, dan dada yang makin sesak memikirkan rokok.
Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tapi telingaku terus mencari-cari suara gesekan di luar, langkah kaki di jalan, atau tarikan napas yang bukan milikku.
Tidak ada.
Sejenak, aku berpikir… mungkin aku bisa tetap bertahan di sini.
Kunci pintu, tutup jendela, makan seadanya, dan tunggu semua ini berakhir.
Tapi kemudian, pikiran itu datang: rokok.
Tiga hari tanpa rokok sudah cukup membuatku seperti tahanan yang menandai hari di dinding dengan kuku.
Besok… atau mungkin lusa… aku harus keluar. Entah itu untuk merokok atau sekadar memastikan aku masih hidup di dunia yang sama.
Dan kalau aku keluar… siapa tahu apa yang akan kutemui?
Mungkin aku akan menemukan jawaban tentang berapa banyak zombi di luar sana, atau apakah semua ini cuma halusinasi dari nikotin yang meronta.
Atau mungkin, aku malah nggak akan kembali.
Tapi itu urusan nanti.
Untuk malam ini, aku hanya perlu bertahan.
Hidup sampai bosan.
Besok… kita lihat saja siapa yang bosan duluan. Aku, atau dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments