AYU 4

Kalo boleh gue bilang, pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling gue benci dalam sejarah gue sekolah. Walau ga menutup kemungkinan matematika adalah salah satu pelajaran wajib di kelas gue sekalipun.

Gue menghela napas resah, memijat pelipis saat seorang guru baru saja selesai menjelaskan. Sementara Kara? Oh bahkan gadis itu sibuk bermain dengan ponselnya dilaci, tak peduli semua orang termasuk gue.

"Kalian bisa latihan soal dulu ya"

Seisi kelas serentak mengiyakan. Disela kepusingan gue akibat mata pelajaran ini, gue bisa melihat dengan jelas Daffa dan Biyan baru saja melewati depan kelas, terburu buru. Bahkan disusul suara kerumunan yang berubah lebih keras dari sebelumnya.

"Apa?" Gue menoleh saat Kara menatap gue dengan tatapan tajam, sebelum kembali menatap ponselnya.

"Gibran gelut"

"Astaga anak mana lagi ini" suara gerutu dari guru yang baru saja beranjak setelah berkutat dengan ponselnya sedikit terdengar.

Kali ini, semua murid dikelas keluar tak terkecuali kelas gue. Mengarah pada lapangan basket yang entah sejak kapan mulai seramai ini.

"Bencana" pekik Kara.

Gadis itu sudah lebih dulu menarik lengan gue. Menyela kerumunan dan mendapati Daffa dan Haris yang berusaha melerai.

Tak bisa dipungkiri, Gibran adalah satu satunya yang handal dalam perkelahian. Terlebih dia mantan anak taekwondo di SMP nya dulu. Tapi memang bisa ya teknik yang diajarkan di terapkan seperti ini? Memukuli anak orang sampai babak belur bukan hal yang etis menurut gue.

"Gib!" Kali ini suara Haris menguasai, saat Gibran hampir melayangkan kepalan tangannya pada perut lawan.

"Breng*ek!"

Brugh...

Gue meringis, bahkan rasa ngilu itu bisa gue rasain saat sebuah pukulan justru dia layangkan pada pipi lawannya.

"Gib, stop!" Daffa menarik paksa lengan Gibran. Pria yang sampai kapanpun tak akan bisa kontrol emosinya untuk sebuah perkelahian.

"Lo pergi!" Haris kali ini mendekat, menyuruh pria itu pergi. Bersamaan dengan manik tajam Gibran yang kali ini tak sengaja menangkap gue, yang berdiri di dekat pilar bersama Kara.

"Kenapa lagi sih?"

Semua murid akhirnya bubar setelah beberapa guru mulai berdatangan. Tepat saat suara guru BK terdengar, picingan mata Gibran pun tak berubah sedikitpun.

"Reno anak sosial, gue rasa dia udah terlalu nyenggol Gibran deh, Na"

Gue tau kalau itu Reno. Salah satu ketua geng motor yang masih aktif didaerah ini. Ya walaupun sudah jarang sekali melakukan balap liar atau semacamnya. Tapi semenjak pria itu diangkat jadi ketua, sepertinya daerah ini jadi lebih damai dari sebelumnya.

Gue pun ada bersyukurnya saat geng motor itu di pimpin Reno. Jadi ga takut kalo pulang larut sore.

Tapi ga bisa gue pungkiri juga kalau kuasa Gibran lebih dari siapapun, terutama Reno. Pria yang ga akan pernah bisa gue ajak diskusi karena ego dan sikap dinginnya mengalahi kutup selatan.

Sudah hampir dua jam setelah kejadian tadi siang, tepat saat makan siang gue dan Kara melewati lorong untuk menuju kantin. Melewati arah kerumunan keempat manusia bar bar itu juga.

"Gib, ga mau di obatin aja?!" Suara Kara kali ini menyela percakapan mereka berempat, lebih tepatnya mendekat ke arah Daffa yang ada disamping Gibran.

Pria itu bebal, bahkan setelah pukulan yang dia dapat yang mengakibatkan sudut bibirnya robek.

"Lagian UKS deket kok" Kara melirik pada ruangan yang tak jauh dari kita.

"Biar gue obatin" Gue mengambil betadine yang sengaja gue bawa dari kelas dan beberapa lembar kapas make up yang gue ambil di tas.

Membuat kelima manusia itu menatap ke arah gue aneh atau mungkin lebih tepatnya tidak percaya? Gue memang selalu membawa hal hal tak terduga seperti obat obatan. Tapi bukankah barang ini juga penting untuk dibawa? Buktinya sekarang berguna.

"Kantong doraemon beraksi" suara Daffa kali ini terdengar.

Kara yang paham pun ikut tergelak. Mungkin hanya mereka berdua yang tau bagaimana absurd-nya isi dalam tas gue. Tapi apa peduli gue? Gue selalu membawa hal hal yang lebih di butuhkan dari pada yang gue mau.

Haris kali ini beralih, menyisakan ruang supaya gue bisa berdiri disebelah Gibran.

"Sorry"

Kali ini cuma Gibran yang menatap gue, sementara mereka sibuk dengan percakapan mereka yang terbangun semakin seru. Gue bisa lihat bagaimana Gibran meringis saat gue sedikit menekan luka itu. Sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Bahkan dia terlihat berbeda dari beberapa jam yang lalu. Jauh lebih kalem dan pendiam. Tapi bukankah Gibran memang seperti itu? Diam diam menghanyutkan!

"Ntar sampe rumah langsung dibersihin dan pake betadine lagi, supaya ga infeksi" ucap gue sambil menutup tutup botol betadine di tangan gue.

"Makasih"

Pandangan gue sekarang teralih pada Biyan yang ternyata sembari tadi menatap ke arah gue dan Gibran. Tapi emang boleh gue se-pd ini? Bahkan gue ga tau dari tadi Biyan natap gue atau engga.

***

"Ternyata Laras selingkuh sama Reno, pantes Gibran semurka itu ya?"

Pandangan gue masih fokus pada lorong sekolah yang ditaburi beberapa murid, karena ini juga sudah waktunya pulang. Gue dan Kara berjalan menuju gerbang sambil membicarakan kejadian tadi siang.

Laras adalah pacarnya Gibran sejak satu tahun lalu, bahkan katanya mereka sudah kenal sebelum masuk ke SMA ini. Seinget gue, Reno dan Gibran memang saling mengenal satu sama lain karena kata Kara, kedua pria itu memang pernah ada dalam satu tongkrongan bersama.

Tapi bukankah justru teman adalah salah satu yang akan berkhianat?

"Kata Daffa mereka emang udah rengang dari beberapa bulan lalu"

"Karena?"

Kara menaik turunkan bahunya dua kali. Sebelum akhirnya menyambut kedatangan Daffa dengan motor kesayangannya itu.

"Gue balik dulu ya!" Kara menepuk pundak gue. Tepat setelah Daffa juga berpamitan.

Sementara gue? Gue berdiri didepan gerbang sambil nunggu angkot biasanya. Bersama beberapa siswa yang juga lagi nunggu jemputan. Namun tak lama kemudian seorang bermotor ninja merah dengan helm fullface berhenti di depan gue. Ngebuat semua orang yang ada disana menatap ke arah kita, terlebih Pak Satpam.

"Pulang?"

Gue ber-oh ria saat sesosok Gibran menampakkan wajahnya dibalik helm itu. Semua pasang mata tertuju pada Gibran yang baru saja membuka helmnya. Bahkan ngebuat gue jadi kikuk karena bingung harus berbuat apa.

"Gue ga mau utang budi"

"Gue ga nuntut buat itu kok, Gib"

Gibran menghela napas. Kali ini gue bisa tau kenapa hampir sebagian cewek disekolahan ini suka sama Gibran. Selain karena dia jago berantem dan agak garang, yang mereka semua anggap itu adalah perbuatan yang keren. Gibran juga ternyata setampan itu jika dilihat lebih dekat. Apalagi saat rambutnya dia sisir kebelakang, ditambah manik tajamnya saat natap gue.

"Naik, biar gue anter"

"Gue naik angkot aja"

"Gue ga ada duit buat traktir"

Apa hubungannya? Bahkan gue ga pernah tu merasa harus diganti karena sudah ingin berinisiatif baik sama orang. Lagian kenapa sih semua orang menganggap kebaikan manusia itu harus dibalas?

"Ga usah, Gib. Udah sana, ntar fans lo pada ngira kita pacaran lagi"

"Biarin sesuai apa yang ada dipikirkan mereka lah, emang lo peduli?"

Ya emang engga sih! Lagian kenapa juga gue ngomong kaya gitu? Perlakuan yang sedang dan akan Gibran lakukan aja atas dasar balas budi gue tadi siang. Kenapa jadi ke-gr-an gini sih?

"Ayo naik"

"Iya iya" dengan susah payah gue naik motornya Gibran. Menghiraukan semua orang yang berdecak kagum atau ada juga sebagian yang kesal. Lagian bener kata Gibran, emang gue peduli? Selagi apa yang ada dipikiran mereka semua ga bener, kenapa gue harus khawatir?

Gue menghela napas sebelum mengiyakan agar pria itu melajukan motornya.

"Lain kali ga usah repot!"

"Ha?!"

Gue bisa lihat manik pria itu dibalik spion, seperti malas mengulangi ucapannya barusan. Bagaimana bisa dengar? Bahkan suara knalpot motornya saja lebih nyaring dari pada suara trakson mobil tronton dijalan raya.

Tapi kayanya itu berlebihan, gue aja yang emang ga denger.

"Thanks" gue berdiri tepat di depan pagar, tepat juga tempat Gibran memarkirkan motornya. Bukannya membalas tatapan pria itu, gue justru salah fokus dengan Biyan yang baru saja memarkirkan motornya di teras rumah.

"Lain kali ga usah repot ngobatin segala"

Gue menoleh, menatap Gibran dengan sedikit memicing. Bukannya segera pergi, pria itu justru membuka helmnya.

"Takut Laras cemburu ya?"

Gibran menghela napas panjang, gue kira ini adalah pertanyaan yang salah yang tanpa segaja gue lontarkan.

"Gih balik" usir gue, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Lagi pula dia ngga cukup banyak alasan untuk masuk dulu ke dalam rumah kan?

"Cewek tuh emang gitu ya?"

"Maksud lo gimana?" Gue sedikit merapihkan rambut saat Gibran justru menatap gue intens.

"Suka selingkuh"

To the point sekali manusia satu ini! Bahkan dari gaya bicaranya saja penuh penekanan, membuat gue sedikit terintimidasi.

"Enak aja!"

"Dua bukti ga cukup?"

Gue mengerenyit. Dia sedang membicarakan Laras kan? Tapi kenapa dua orang yang dia sebutkan dalam pembicaraan ini?

"Ya mungkin elo yang lagi ga beruntung" tegas gue, walau gue masih sedikit bertanya tentang siapa satu orang yang dia maksud.

"Gue emang dari dulu ga selalu beruntung dalam hidup, makannya gue ga kaget" Gibran kembali memasang helmnya sebelum menyalakan motor ninjanya itu.

"Gue bakal sampe rumah dengan selamat"

"Gue juga ga bakal bilang hati hati kok!" Tegas gue saat suara knalpot itu sudah mulai membisingkan jalanan. Dengan malas gue menatap Gibran yang sudah lebih dulu melaju. Mungkin sikap dinginnya ini yang membuat dia sesuai dengan omongannya tadi, tidak selalu beruntung dalam hidup!

Kali ini gue yang menghela napas, membuka gerbang sebelum benar benar akan mengumpati Gibran lebih dalam. Bahkan saat ini, gue pun sudah ga peduli lagi dengan Biyan. Pria itu sudah masuk entah sejak kapan.

Ga ada orang dirumah dan amannya gue ngga harus ngejelasin secara detail kenapa bisa gue dianterin pake motor modelan kayak begitu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!