Bab 4-Langkah Yang Berat

Fajar belum sepenuhnya datang ketika embun masih menempel di dedaunan, dan kabut tipis menyelimuti halaman rumah keluarga itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar suara jangkrik yang masih bertahan di sisa malam. Di saat seperti itu, Aliya sudah berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, menatap pantulan dirinya dengan mata yang sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur, pikirannya penuh dengan luka, kekecewaan, dan ketakutan akan masa depan. Namun di balik semua itu, tekadnya telah bulat—ia tidak lagi bisa bertahan di rumah yang baginya kini hanya menyimpan kepedihan.

Sebuah koper sudah ia letakkan di tepi ranjang, berisi pakaian seperlunya, beberapa buku, dan tabungan hasil kerja paruh waktu yang selama ini ia kumpulkan. Tabungan itu sebenarnya disiapkan untuk kebutuhan pernikahannya dengan Haris—pernikahan yang kini tinggal kenangan pahit. Aliya menghela napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya.

Tangan mungilnya meraih gagang pintu, berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan bunyi. Namun tetap saja suara pintu yang terbuka membuat seseorang di ruang tamu terbangun.

“Al…” suara serak itu terdengar.

Aliya menoleh. Di sana, Bimo—kakaknya—duduk setengah sadar di sofa dengan rambut acak-acakan. Ia rupanya tertidur di ruang tamu semalaman, menunggu sesuatu yang ia sendiri sadar mungkin akan terjadi. Matanya langsung terbuka penuh ketika melihat Aliya menggaret sebuah koper di tangan.

“Kamu benar-benar mau pergi?” suara Bimo berat, hampir bergetar.

Aliya tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan kepedihan yang dipaksakan. Ia berjalan pelan mendekati Bimo. “Aku pergi, Kak. Tolong sampaikan pada Ayah dan Ibu…”

Bimo berdiri, menatap adiknya dengan perasaan campur aduk. “Kamu tidak ingin berpamitan langsung pada mereka?”

Aliya menggeleng dengan mantap. “Untuk apa? Mereka lebih takut kehilangan Lisa daripada aku. Jadi… apa gunanya aku berpamitan dengan mereka? Aku hanya akan membuat diriku semakin sakit.”

Perkataan itu seperti menampar Bimo. Sebagai anak sulung, ia tahu kedua orang tuanya memang sering memanjakan Lisa, si bungsu. Aliya yang berada di tengah sering kali dituntut untuk mengalah, sementara dirinya pun kadang sibuk dengan urusannya sendiri. Seketika, rasa bersalah menelusup ke hatinya.

Ia melangkah lebih dekat, menatap Aliya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ayo, biar aku antar. Setidaknya aku harus tahu kamu pergi ke mana.”

Aliya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Antar aku ke stasiun. Aku sudah membeli tiket kereta. Aku akan ke Jakarta, Kak. Aku ingin mulai hidup di sana, mencari pekerjaan, mencoba bertahan dengan caraku sendiri.”

Bimo menatap Aliya lama sekali. “Kamu ada uang?” tanyanya lirih, penuh kekhawatiran.

Aliya mengangguk. “Ada, Kak. Tabungan yang seharusnya aku pakai untuk melunasi vendor pernikahan. Aku akan gunakan itu untuk hidup sementara di Jakarta. Nanti kalau aku sudah sampai, aku akan kabari Kakak.”

Bimo ingin sekali menghentikan langkah itu. Ia ingin memeluk adiknya erat, mengatakan agar jangan pergi, agar tetap tinggal bersama keluarga. Namun, ia tahu luka Aliya terlalu dalam. Jika ia menahannya, itu hanya akan menambah derita. Jadi, ia hanya bisa menghela napas berat, lalu menepuk pundak Aliya.

“Hubungi aku kalau kamu butuh apa pun, Al. Jangan ragu. Kalau kamu belum dapat kerja, kalau kamu kesulitan uang, atau apa pun… bilang ke aku. Jangan menanggung semuanya sendirian.”

Aliya menunduk, menahan air mata. “Terima kasih, Kak. Sungguh, aku tidak akan lupa kebaikan Kakak.”

Udara pagi itu dingin menusuk tulang ketika mereka berdua keluar dari rumah. Aliya menoleh sebentar ke arah rumah yang selama ini ia huni. Rumah itu terlihat damai dari luar, padahal di dalamnya menyimpan luka mendalam yang ia rasakan. Ia menatap dalam-dalam, seolah ingin merekam semuanya untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya membuang pandangan dan melangkah ke mobil kakaknya.

Perjalanan menuju stasiun terasa begitu panjang, meski sebenarnya jaraknya tidak jauh. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Hanya sesekali Bimo melirik Aliya yang duduk di sampingnya dengan tatapan kosong, seakan sedang membangun benteng kuat agar tidak lagi menangis.

Sesampainya di stasiun, suasana mulai ramai. Suara peluit, pengumuman dari pengeras suara, dan langkah orang-orang yang tergesa membuat suasana semakin terasa nyata. Aliya menggaret kopernya, sementara Bimo berjalan di sebelahnya.

Di peron, Aliya berhenti. Ia menoleh pada Bimo, tersenyum getir. “Sampai di sini saja, Kak. Aku bisa sendiri.”

Bimo menggenggam pundak adiknya erat. “Aku bangga sama kamu, Al. Kamu kuat sekali. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu. Ingat, kamu selalu punya rumah kalau suatu hari kamu ingin kembali.”

Aliya menahan tangisnya. “Terima kasih, Kak. Doakan aku bisa bertahan.”

Bimo mengangguk, lalu akhirnya melepaskan pelukan singkat itu. Ia berdiri di peron, menyaksikan Aliya menaiki kereta dengan langkah tegar. Saat pintu kereta menutup dan gerbong mulai bergerak, air mata Bimo jatuh begitu saja.

Di sisi lain, rumah keluarga itu diliputi keheningan. Ibu Dini terbangun dan baru menyadari suasana rumah yang aneh. Ia tidak menemukan Aliya di kamar. Ketika Bimo pulang dengan wajah muram, barulah kenyataan menghantam.

“Apa… Aliya sudah pergi?” suara Ibu Dini parau, tangannya gemetar memegang kursi.

Bimo hanya mengangguk pelan.

Sekejap saja, tubuh Ibu Dini limbung. “Ya Tuhan…” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis sejadi-jadinya.

Ayah Rudi yang mendengar tangisan itu segera menghampiri. “Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.

“Aliya… Aliya pergi. Dia benar-benar pergi.” suara Ibu Dini pecah di antara tangisnya.

Ayah Rudi terdiam. Dada tuanya sesak, seolah dihantam kenyataan pahit. Ia duduk lemas di kursi, menatap kosong. “Kita terlalu keras padanya…” katanya lirih.

Tangisan Ibu Dini semakin menjadi. Penyesalan datang terlambat. Ia teringat setiap kata yang pernah ia ucapkan pada Aliya, tentang takdir, tentang legowo, tentang restu untuk Lisa. Kini, semua itu menghantam balik seperti pisau yang menusuk jantungnya sendiri.

“Seharusnya aku menahannya… seharusnya aku bicara baik-baik. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan pada anakku…”

Sementara itu, Bimo hanya bisa berdiri di dekat mereka, menahan amarah dan rasa bersalahnya sendiri. Ia tahu Aliya butuh dukungan, tapi selama ini ia pun tidak banyak bicara. Kini, adiknya benar-benar sudah pergi, membawa luka yang tak seorang pun bisa mengobati.

Dan di suatu tempat, jauh dari desa kecil itu, kereta yang membawa Aliya melaju kencang menuju ibu kota. Gadis itu duduk di kursinya, menatap jendela dengan air mata yang mengalir pelan. Ia tahu, hidup baru akan segera dimulai. Pahit, getir, dan penuh tantangan. Tapi baginya, lebih baik menghadapi ketidakpastian di kota besar daripada terus bertahan dalam rumah yang hanya memberinya luka.

Di sanalah, awal dari perjalanan panjang Aliya dimulai.

Terpopuler

Comments

Mawar

Mawar

semangat aliya suatu saat kebahagiaan akan dtg padamu,dan untuk lisa ingat ya karma itu ada hari ini km mengkhianati kakakmu dgn berselingkuh dgn clon suaminya bisa sj nnti km jg akn diselingkuhi disitulah km akn merasa gimn rasanya dikhianati oleh org yg km cintai👆

2025-09-24

1

Mawar

Mawar

sesaknya berada diposisi aliya kak😖dalam bnget kisah cerita ini,kak othor memporak2 poranda hatiku😭😭😭

2025-09-24

1

tiara

tiara

sediih aku jadinya,thor semangat Alya semoga kamu menemukan kebahagiaan

2025-09-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!