Restu yang masih terkunci

Sore itu, lonceng kecil di halaman gereja berdentang lembut. Dirga baru saja menyelesaikan tugasnya: menyapu halaman, membersihkan kursi panjang, dan mengelap mimbar. Pekerjaan itu sudah ia jalani sejak satu tahun terakhir. Bagi banyak orang mungkin sederhana, tapi bagi Dirga, ini adalah wujud pelayanannya kepada Tuhannya.

Peluh menetes di keningnya, tapi senyum kecil menghiasi wajahnya ketika ponselnya bergetar. Nama Klarisa muncul di layar.

“Sayang, sudah selesai kerja di gereja?” tanya Klarisa begitu panggilan terangkat.

“Iya, baru aja kelar. Kamu gimana? Sudah sampai rumah?”

“Sudah. Lagi beres-beres dapur,” jawab Klarisa, suaranya terdengar riang.

Sejenak Dirga merasakan ketenangan. Klarisa selalu menjadi semangatnya setelah hari yang panjang. Namun ketenangan itu tak bertahan lama, sebab di rumah menunggunya sesuatu yang jauh lebih sulit dari sekadar lelah bekerja: restu ibunya.

---

Malam itu, di meja makan sederhana, Dirga mencoba membuka percakapan. Ibunya tengah menuangkan sayur ke piringnya.

“Bu,” ucap Dirga pelan.

“Ya, Nak,” jawab ibunya singkat.

“Aku serius sama Klarisa. Aku ingin bawa dia lebih dekat sama Ibu. Biar Ibu bisa kenal dia.”

Seketika sendok di tangan sang ibu berhenti bergerak. Wajahnya mengeras. “Dirga, sudah berapa kali Ibu bilang? Ibu tidak setuju dengan dia.”

Dirga menelan ludah. “Tapi kenapa, Bu? Apa yang salah dari Klarisa? Dia seiman dengan kita, pekerja keras, hormat sama orangtua. Apa kurangnya, Bu?”

Ibunya menatapnya tajam, tapi tidak segera menjawab. “Pokoknya Ibu tidak suka.”

“Tidak suka? Tapi alasannya apa, Bu? Saya butuh penjelasan. Jangan hanya bilang tidak suka.”

Ibunya menghela napas panjang. “Entahlah, Ga. Hati Ibu tidak sreg. Ibu merasa dia bukan orang yang tepat untukmu.”

“Bu, saya ini sudah dewasa. Saya bisa merasakan sendiri siapa yang baik untuk saya. Klarisa itu tulus, Bu. Saya melihatnya setiap hari berjuang. Dia tidak hanya bekerja sebagai guru, tapi juga bantu ibunya di rumah. Apa salahnya, Bu?”

Ibunya terdiam. Ada kerutan di keningnya, seolah ia mencari-cari alasan yang bisa membenarkan perasaannya. Tapi tidak ada kata yang keluar.

Dirga menatap ibunya penuh harap. “Saya mohon, Bu. Setidaknya beri kesempatan. Jangan menutup hati sebelum mengenalnya.”

Namun ibunya hanya menjawab dingin, “Dirga, kamu anak Ibu satu-satunya. Ibu tidak mau salah langkah dalam merestui jodohmu.”

---

Malam itu, Dirga termenung lama di kamarnya. Hatinya terasa berat. Di satu sisi ia mencintai Klarisa dengan seluruh hidupnya, di sisi lain ia begitu menghormati ibunya. Rasa sayang kepada dua wanita yang berbeda tempatnya itu membuatnya terjebak dalam dilema yang nyaris tak ada jalan keluar.

Ia membuka Alkitab di meja kecilnya. Matanya terhenti pada ayat tentang menghormati orangtua. Air matanya jatuh. “Tuhan,” bisiknya lirih, “bagaimana caranya aku bisa menghormati Ibu tanpa harus kehilangan Klarisa?”

---

Di tempat lain, Klarisa pun tengah duduk di kamar sambil memandang layar ponselnya. Ia baru saja menerima pesan dari Dirga yang singkat namun dalam:

“Sayang, Ibu masih belum bisa terima. Doakan aku ya. Jangan menyerah.”

Klarisa memejamkan mata. Hatinya perih, tapi ia tahu, perjuangan ini belum boleh berhenti. Ia menuliskan balasan:

“Aku akan tetap di sini. Aku percaya, suatu saat hati Ibu akan luluh. Kita hanya perlu sabar dan berdoa.”

---

Hari-hari berikutnya terasa semakin menegangkan. Setiap kali Dirga pulang dari gereja, ia selalu mencoba lagi berbicara dengan ibunya. Namun jawaban yang sama selalu ia dapatkan: penolakan tanpa alasan pasti.

Suatu sore, ketika Dirga mencoba untuk kesekian kalinya, ibunya berkata dengan nada lebih tinggi, “Dirga, kenapa kamu keras kepala sekali? Kalau Ibu bilang tidak, ya tidak! Jangan paksa Ibu menyukai sesuatu yang Ibu tidak suka.”

Dirga menahan napas, suaranya bergetar. “Tapi Bu, ini hidup saya. Apakah Ibu ingin saya menikah hanya karena pilihan Ibu, bukan karena cinta saya sendiri?”

Ibunya menatapnya, ada genangan air di matanya, tapi ia tetap bergeming. “Kamu tidak mengerti, Ga. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Dirga berdiri, menunduk hormat. “Kalau begitu, Bu… tolong beri saya waktu. Jangan minta saya melepaskan Klarisa begitu saja. Saya mencintainya.”

---

Di tengah ketidakpastian itu, hanya doa dan cinta yang menjadi pegangan mereka. Klarisa terus menguatkan dengan kata-kata sederhana, sedangkan Dirga berusaha menyeimbangkan antara cinta kepada ibunya dan cintanya kepada wanita yang ingin ia perjuangkan.

Restu masih terkunci. Alasan belum terungkap. Namun bagi mereka, cinta adalah keberanian untuk tetap bertahan meski pintu seolah tertutup rapat.

Terpopuler

Comments

TokoFebri

TokoFebri

kalau dalam Islam ridho ibu adalah ridho Allah. tapi kalau sudah cinta, biasanya tetap di terjang dengan berdasarkan keyakinan.

2025-10-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!