Kirana tengah asyik meremas bola karet guna melatih kekuatan genggaman tangannya. Sesekali, ia melirik Barra, yang duduk di sofa, sibuk memainkan ipad-nya.
Sejak datang, Barra belum mengucapkan satu patah katapun pada Kirana. Ia hanya berbicara pada bu Wulan menanyakan bagaimana perkembangan Kirana, jadwal terapi, makan, minum obat. Atau, berbicara pada perawat menanyakan kapan bisa berkonsultasi dengan dokter.
Huuuh... Kirana menghembuskan nafas kasar.
Barra yang posisi duduknya menghadap ranjang, mengangkat kepalanya melihat Kirana. Alisnya terangkat .
Kirana yang tidak menduganya, langsung salah tingkah. "Bu, tolong ambilkan minum," ujar Kirana sekenanya.
Jantungnya berdenyut lebih cepat ketika ditatap Barra.
Malamnya...
"Mas, saya pamit. Semua kebutuhan Mba Kirana ada di dalam lemari. Telepon saja kalau Mas Barra bingung."
Bu Wulan membereskan barang-barangnya. memasukkan ke dalam tas besar. Ia mengikat rambutnya tingi-tinggi. Lalu, mengganti sandal jepitnya dengan sepatu.
Kirana yang baru saja akan memejamkan mata, terlonjak. Ia langsung duduk.
Barra berdiri mendekati bu Wulan. "Iya, Bu! Bu Wulan istirahat dulu. Nan--- "
"Ibu mau ke mana?" tanya Kirana sebelum Barra menyelesaikan kalimatnya.
Tiba-tiba Kirana takut. Ia tidak mau bu Wulan pergi. Selama ini, bu Wulan yang menemaninya. Apa yang akan dilakukannya kalau tidak ada bu Wulan? Ia tidak ingat apa-apa. Ia tidak punya siapa-siapa. Kirana hanya mengenal bu Wulan.
Mata Kirana berkaca-kaca.
"Ibu... Jangan ke mana-mana!" ucap Kirana. Suaranya bergetar menahan tangis.
Sorot mata bu Wulan yang biasanya tegas spontan berubah. Sebentar, hanya sebentar, Kirana melihat kelembutan di sana.
Tapi, kemudian, tatapan bu Wulan kembali tajam. "Jangan cengeng Mba! Di sini banyak perawat. Mba Kirana juga sudah jauh lebih baik!" Ia kembali dalam mode galak.
Air mata Kirana jatuh di pipinya.
"Bu Wulan butuh istirahat, Kira. Dia sudah lebih dari satu bulan menjagamu. Sekarang, aku ada di sini. Aku yang akan menjagamu," Barra bersuara, berbicara pada Kirana.
Bu Wulan terhenyak mendengar panggilan Barra untuk istrinya. Ia sudah lama sekali tidak mendengar Barra memanggil Kirana dengan sebutan Kira.
Kirana mengangkat wajahnya, memastikan ucapan Barra itu ditujukan padanya.
Pandangan Barra lurus padanya. Betul! Barra memang sedang berbicara padanya. Dan, Barra memanggil dengan sebutan Kira, panggilan kesayangan mamanya.
"Nanti, saya ke sini lagi!" ucap bu Wulan tergesa. Ia membalikkan badan, berjalan keluar, menutup pintu dibelakangnya.
Barra tidak memutuskan pandangannya pada Kirana. Tatapannya kembali sulit diartikan.
Kirana merebahkan badannya, lalu memejamkan mata. Ia mencoba menenangkan dirinya.
Mulai saat ini, ada suami yang menjaganya. Sosok pria yang tidak diingatnya. Perasaan aneh menghinggapi Kirana.
Barra menarik nafas panjang, kembali duduk memainkan ipad-nya. Sorot matanya dingin, tidak tersentuh.
********
Tengah malam...
Kirana merasa kantung kemihnya penuh. Ia ingin pipis. Kirana duduk menyapukan pandangannya ke seluruh kamar.
Terlihat Barra tertidur di atas sofa. Kaki Barra menggantung karena ukuran panjang sofa tidak bisa menampung tinggi badannya. Barra sudah mengganti bajunya dengan kaos oblong dan celana jogger.
Kirana butuh bantuan untuk ke kamar mandi. Semenjak bisa bangun dan duduk, Kirana tidak mau menggunakan pispot. Aneh sekali rasanya pipis di atas tempat tidur. Terkadang, pipisnya juga jadi tidak mau keluar.
Biasanya Kirana akan memanggil bu Wulan untuk meminta bantuan. Tapi, sekarang hanya ada Barra. Kirana malu untuk membangunkan Barra.
"Hmm... Gimana ya? Duh, udah gak tahan lagi," gumam Kirana.
Kirana melihat kursi roda di samping ranjangnya. Matanya membesar. Ia meraih lalu membukanya.
"Nah, bisa!" seru Kirana pelan.
Kirana bermaksud menggeser tubuhnya berpindah ke kursi roda. Namun, ia lupa mengunci rodanya. Ketika, ia mengangkat tubuhnya bertumpu pada pegangan kursi, rodanya bergerak.
Bruk!! prang!
Kirana jatuh menelungkup di lantai.
Barra tersentak bangun mendengar suara jatuh. "Kira!" panggilnya. Ia melihat Kirana tidak ada di atas kasur.
"Kira!" panggilnya lagi. Barra menyalakan lampu kamar.
"Ya Allah! Kira apa yang terjadi?" Barra berlari ke arah Kirana. Ia langsung memegang lengannya.
Kirana menengadahkan dagunya. Tersenyum lebar pada suaminya.
"Kenapa bisa jatuh?" Barra melingkarkan tangannya di pinggang Kirana, mengangkat dan membantunya duduk di atas kasur.
Kirana tidak bersuara.
"Kira... ?" tanyanya lagi. Matanya lurus ke arah Kirana.
Dug dug dug...
Aduh kenapa mandangnya harus gitu sih? bisik hati Kirana.
"Hmmm... Aku ingin pipis," jawab Kirana malu-malu. Pipinya bersemu merah.
Kirana sempat melihat senyum di bibir Barra, sebelum mengangkat tubuh Kirana ke dalam dekapannya. Kirana langsung memeluk leher Barra karena takut terjatuh. Barra menggendongnya ala bride style.
"Kenapa tidak bangunkan aku?!"
Dug dug dug dug...
Dalam dekapan Barra, Kirana tidak bisa bersuara.
Barra menurunkannya di kloset, lalu berjongkok di depan Kirana. Kirana bisa merasakan terpaan nafas Barra di wajahnya .
"Bisa sendiri dari sini?" tanya Barra dengan suara rendah.
Haduh, haduh, tenang... Tenang hati! sahut Kirana dalam hati.
Kirana mengiyakan dengan anggukan kepala. Pipinya panas.
Barra bangkit. Namun, entah disengaja atau tidak, Kirana merasakan jari Barra menyentuh pipinya. Ia melangkah keluar dan menutup pintu.
Kirana lalu mulai melakukan ritual BAK.
"Mas...!" panggil Kirana pelan setelah selesai.
Tidak ada jawaban.
"Mas... Mas Barra... " panggilnya lagi, sedikit mengeraskan suaranya.
Tidak ada tanda-tanda Barra akan masuk.
"Duh, ke mana sih dia?" gerutu Kirana sedikit kesal.
"Mas... Mas... Mas Barra, aku sudah selesai," kali ini Kirana sedikit berteriak.
Ceklek.
Pintu terbuka.
Kirana lega.
"Sudah?" Barra memastikan.
"Sudah, Mas," jawab Kirana pelan.
Barra menggendongnya lagi, membawa dan merebahkannya di atas tempat tidur.
"Aduh!" Kirana menahan sakit.
Siku Kirana terasa sakit karena tadi sempat menahan berat badannya saat terjatuh.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Barra memeriksa lengan Kirana. Ia melihat memar biru pada siku. Kulitnya sedikit terkoyak karena bergesekkan dengan lantai.
"Sakit?" Barra menyentuhnya lagi.
"Ish, iya Mas. Jangan dipegang!" Kirana meringis menarik tangannya.
"Tunggu sebentar!" Barra keluar dari ruangan.
Tak berapa lama, ia kembali sambil membawa salep. Rupanya ia meminta obat memar pada suster.
"Mana sini! Mana yang sakit?"
Kirana mengulurkan lengannya. Barra mengoleskan salep dengan lembut.
"Lain kali, jangan ragu bangunkan aku kalau kamu butuh apa-apa."
Kirana diam. Dia asyik melihat Barra yang sedang mengoleskan salep.
"Kira...?" Sekali lagi pandangan mereka bertemu.
"I...iya Mas," Kirana gugup.
"Sudah. Ada lagi yang sakit?" Barra memutuskan pandangan. Berdiri.
Kirana menggeleng.
"Tidurlah lagi."
Barra mematikan lampu kemudian kembali tidur di atas sofa.
Kirana menarik selimut hingga dagu. Ia bertanya-tanya kenapa hatinya selalu berdegup kencang saat dekat dengan Barra.
Hati kamu kenapa sih?
**********
Kenapa Barra kelihatan dingin dengan Kirana ya? Barra Tidak terlihat seperti suami yang hampir kehilangan istrinya. Apakah Kirana menyadarinya? Yuk, ikuti terus kisah mereka!
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak, like, 5 bintang, komen, gift dan vote. Karena support sekecil apapun dari kalian, sangat berarti untukku 😄😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Xlyzy
bara seharus nya istri nya tuh di ajang berkomunikasi ini malah ngobrol sama orang lain bukannya lebih bagus ngomong yang lagi sakit langsung tanya ke adaan nya gimana ini malah..... dah lah karep mu lah bar
2025-10-03
1
@dadan_kusuma89
Hatimu dag dig dug karena di temani orang tampan, apa gimana itu, Kirana? Soalnya kamu tidak mengingat sama sekali masa lalumu
2025-10-03
1
Lonafx
nahh gitu dong, perhatian hehe.. Kirana gass aja gak sihh, dia baik loh, mana ganteng, yg pasti udah paten jd suami😄
2025-10-03
1