Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hening menyelimuti rumah besar keluarga Biantara. Semua pelayan sudah terlelap, hanya cahaya lampu koridor yang samar menerangi lantai dua. Hanum terbangun karena suara tangisan nyaring. Ia segera bangkit, meraih selendang untuk menutupi tubuhnya, lalu bergegas turun dari ranjang berjalan ke arah box baby. Kevin menangis keras, wajah mungilnya memerah, tangannya mengepal seolah menolak keheningan malam.
“Sayang … tenang, ya. Ibu di sini,” bisik Hanum, meski lidahnya sempat kelu menyebut kata ibu. Dengan cekatan ia mengganti popok yang sudah penuh, lalu menggendong Kevin di pelukannya. Bayi itu masih menangis, matanya mencari sesuatu. Hanum tahu betul apa yang ia butuhkan. Dadanya sudah terasa bengkak sejak sore, tanda bahwa ASI-nya harus keluar.
Pelan-pelan, dengan ragu, Hanum menyusui Kevin. Tangisan itu langsung mereda, berganti dengan suara isapan kecil yang ritmis. Hanum menunduk menatap wajah mungil itu, air matanya mengalir begitu saja.
“Seharusnya ini untuk anakku…” bisiknya lirih. “Tapi Tuhan menitipkannya untukmu, Nak. Semoga aku kuat.”
Sementara itu, di ruang kerjanya yang masih terang, Abraham duduk dengan wajah letih. Dokumen di hadapannya sudah tak terbaca lagi karena pikirannya melayang entah kemana. Ia menutup mata sejenak, lalu memutuskan keluar untuk meneguk segelas air. Saat melangkah di koridor, samar ia mendengar suara tangisan bayi dari kamar Kevin. Refleks ia mempercepat langkah, khawatir pengasuh tidak sigap. Namun, ketika ia berhenti di depan pintu dan sedikit membukanya, pandangannya terhenti.
Matanya membeku.
Di dalam sana, Hanum tengah duduk di kursi goyang, tubuhnya membungkuk lembut sambil menyusui Kevin. Wajah wanita itu pucat tapi teduh, matanya sayu penuh kasih. Dan Kevin tidur tenang dalam pelukannya, seakan menemukan kehangatan yang telah hilang sejak ibunya tiada.
Dalam bayangan samar, Abraham melihat sosok mendiang istrinya. Senyum lembut itu, cara menggendong, cara menunduk penuh kasih, semuanya seperti terulang kembali. Dada Abraham berdebar keras. Ada perasaan asing yang menyesakkan, antara kerinduan dan keterkejutan. Kakinya melangkah sendiri masuk ke kamar tanpa ia sadari.
Hanum yang tengah larut dalam tangis kecilnya sontak tersentak ketika melihat bayangan tubuh tegap berdiri di ambang pintu.
“Tu-Tuan…” suaranya tercekat, buru-buru ia menutupi dadanya dengan selendang. Wajahnya memerah, tubuhnya kaku karena malu. Abraham terdiam beberapa detik, matanya berusaha berpaling namun tak bisa. Ada sesuatu yang menusuk batinnya, pemandangan yang begitu manusiawi sekaligus menyakitkan.
Sadar sudah terlalu jauh, ia segera memalingkan wajah, lalu bergumam dengan suara berat, “Maaf … saya tidak bermaksud.”
Hanum hanya menunduk, napasnya tercekat. Abraham menatap Kevin sebentar, yang tertidur damai di dada Hanum, lalu menutup mata sejenak. “Kau … sudah melakukan hal yang bahkan aku tak sanggup lakukan, terima kasih.”
Setelah itu, tanpa menunggu jawaban, ia berbalik pergi. Langkahnya terdengar tergesa, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar. Hanum hanya bisa menatap pintu yang kembali tertutup, jantungnya masih berdegup kencang. Dia menunduk, menatap Kevin, lalu berbisik pelan, “Nak … kenapa hatiku juga ikut bergetar? Padahal aku sudah berjanji … hanya untukmu, bukan untuk ayahmu.”
Malam itu, keduanya sama-sama sulit tidur. Abraham bersandar di ranjangnya, memejamkan mata dengan tangan menutup wajah. Bayangan Hanum menyusui Kevin tak mau hilang. Dan Hanum, di kamar sebelah, hanya bisa memeluk Kevin erat, berusaha menenangkan dirinya yang dipenuhi rasa bersalah bercampur debar tak terjelaskan.
Matahari pagi menerobos masuk melalui tirai tipis di lantai dua rumah Biantara. Hanum sudah terjaga lebih dulu, sibuk menyiapkan susu hangat untuk dirinya sendiri, agar nutrisinya terpenuhi. Bayi itu tenang di pelukannya, jemari mungilnya menggenggam kain selendang Hanum seolah tak mau lepas.
Hanum menunduk, menciumi kening Kevin. “Kamu penguatku, Nak … andai saja ibumu masih ada, aku pasti tidak akan di sini.” Suaranya pelan, hanya untuk bayi itu.
Suara langkah berat terdengar dari arah koridor. Hanum mendongak, mendapati Abraham berjalan dengan wajah yang lebih dingin dari biasanya. Ia baru selesai olahraga pagi, kaos hitamnya basah oleh keringat, tapi tatapannya tetap tegas, menutup rapat setiap celah perasaan.
“Selamat pagi, Tuan,” sapa Hanum sopan.
Abraham berhenti sejenak. Matanya melirik Kevin yang tenang di pelukan Hanum, berbeda sekali dengan biasanya yang selalu rewel. Rahangnya mengeras, ada sekilas perasaan hangat yang muncul, namun cepat ia tekan.
“Jangan biasakan dia terlalu sering digendong,” ucapnya datar. “Dia harus belajar tidur sendiri, supaya tidak manja.”
Hanum terdiam, hatinya tersinggung, tapi ia menunduk. “Baik, Tuan.”
Abraham menatap lebih lama dari yang seharusnya, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Namun dalam hatinya, kata-kata yang ia ucapkan terdengar begitu asing, seolah bukan dari hatinya sendiri. Ia tahu betul, Kevin butuh kehangatan, dan ia tahu, hanya di pelukan Hanum anak itu bisa tenang. Tapi setiap kali ia melihat Hanum memeluk Kevin, ada debar yang membuatnya takut. Takut ia mengkhianati bayangan mendiang istrinya.
Hari-hari berikutnya menjadi ujian tersendiri bagi Hanum. Abraham semakin menjaga jarak. Ia jarang berbicara, bahkan jika harus, nadanya selalu kaku.
“Jadwal imunisasi Kevin jam sepuluh. Kau ikut,” katanya suatu pagi.
Hanum hanya menjawab singkat, “Iya, Tuan.”
Tak ada percakapan lebih. Saat di mobil menuju rumah sakit, Hanum duduk di kursi belakang memangku Kevin, sementara Abraham di depan bersama sopir. Sesekali Hanum melirik ke arah punggung tegap itu, berharap ada sedikit kehangatan, tapi yang ia lihat hanyalah sosok lelaki yang membangun dinding tinggi.
Malam harinya, Hanum duduk di kursi goyang sambil menidurkan Kevin. Tangannya mengusap kepala bayi itu lembut, suaranya bergetar ketika melantunkan doa-doa lirih.
Namun dari luar pintu, Abraham berdiri lagi. Kebiasaannya kini, memandang dari jauh, seakan ia tak bisa menahan diri untuk memperhatikan, tapi juga tak mampu mendekat.
'Kenapa aku begini?' pikirnya.
'Setiap kali melihat dia bersama Kevin … aku merasa rumah ini hidup kembali. Tapi kalau aku membiarkan perasaan itu tumbuh … apa artinya pengorbanan istriku?'
Dia mengepalkan tangan, menahan gejolak yang tak ia mengerti. Akhirnya, ia memilih mundur, kembali ke kamarnya, memutuskan untuk semakin dingin agar hatinya tak semakin terikat.
Keesokan harinya, Hanum mulai merasakan perubahan. Abraham nyaris tak pernah menatap matanya. Bahkan saat makan bersama keluarga, ia hanya berbicara dengan ibunya, Siska, atau dengan pengurus rumah, tanpa sekalipun melibatkan Hanum.
Miranti menyadari itu. Ia menatap Hanum dengan iba. “Nak, kamu kuat, ya?” bisiknya ketika mereka sempat berdua di dapur.
Hanum tersenyum pahit. “Aku hanya ingin Kevin tumbuh sehat. Soal yang lain … aku tidak berani berharap.”
Namun, yang tak disadari Abraham, justru sikap dinginnya membuat Hanum semakin kuat menahan diri. Ia tidak meminta cinta, tidak menuntut perhatian. Ia hanya memberi seluruh kasih sayangnya untuk Kevin, dan itu perlahan-lahan menciptakan celah kecil di dinding dingin yang coba Abraham bangun.
Malam itu, ketika Kevin sakit perut dan menangis tanpa henti, Hanum berjaga semalaman. Ia berjalan bolak-balik di kamar, menggendong bayi itu, menepuk-nepuk punggungnya dengan sabar. Abraham yang mendengar dari kamarnya akhirnya tak tahan. Ia masuk tanpa mengetuk, wajahnya panik.
“Kenapa dia terus menangis?” suaranya keras, nyaris marah.
Hanum terkejut, tapi tetap lembut menjawab, “Perutnya kembung, Tuan. Saya sudah coba pijat ringan … sebentar lagi mungkin akan reda.”
Namun tangisan Kevin tak kunjung berhenti. Abraham semakin resah, langkahnya gelisah. “Apa perlu kita ke rumah sakit sekarang?”
Hanum menggeleng. “Tidak perlu, saya tahu caranya ... percayalah.”
Dengan sabar, ia menidurkan Kevin di pangkuannya, mengusap perut kecil itu dengan telapak hangat, sambil melantunkan doa. Tak lama kemudian, tangisan itu reda, berganti dengan helaan napas tenang, Kevin tertidur.
Abraham terpaku, matanya menatap wajah Hanum yang lembut, peluh di dahinya, namun tetap penuh kasih. Untuk pertama kali, dinding dalam dirinya retak. Ada debar yang kembali muncul, kali ini lebih kuat.
"Saya kembali ke kamar, kalau butuh apa-apa panggil saja," katanya pelan bergegas pergi meninggalkan kamar itu. Hanum, hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
ken darsihk
Barra sekuat apa pun prinsip mu janganlah kamu lupa , ada author yng bisa membolak balik kan hati mu 🤭🤭
2025-09-20
1
juwita
klo di cerita pasti istri meninggal si suaminya nutup dri dr cwek. tp di dunia nyata msh merah tanah kuburan istrinya udh nikah lg🤣🤣
2025-09-19
1
Kar Genjreng
ngapa orang sudah berpulang tinggal mendoakan semoga di sana di terima amal baik nya dan di ampuni segala dosa dosanya gitu kalo di renungi tiap saat juga ga akan kembali ,,,,jarang jarang laki laki di tinggal bini masih ga bisa Move on,,,,coba kalau aslinya behhh bini dah meninggal ko di tangisi terus Yo ga gitu
2025-09-20
0