Lonceng kecil berbunyi dari ponsel Mulia. Nomor Pak Wibowo, direktur pemasaran, tertera di layarnya. Mulia menelan ludah. Ada apa lagi? Pikirnya. Ia baru saja selesai dari rapat dengannya pagi tadi.
"Ya, Bapak," jawab Mulia saat telepon terhubung.
"Mulia, bisa kamu ke ruangan saya sekarang?" suara Pak Wibowo terdengar berat dan tegas. "Ada beberapa hal yang perlu kita bahas tentang proposalmu."
Mulia mengangguk, meskipun tahu Pak Wibowo tidak bisa melihatnya. "Baik, Bapak. Saya akan ke sana."
Telepon terputus. Mulia merasakan firasat tidak enak. Ia menoleh ke arah Satria, yang kebetulan sedang lewat di depan mejanya. Satria tersenyum dan mengacungkan jempol, seolah memberikan dukungan. Mulia membalas senyumnya, lalu membereskan mejanya dan berjalan ke arah ruangan Pak Wibowo.
Ketukan Mulia pada pintu kayu berwarna cokelat tua terdengar nyaring. "Masuk!" suara Pak Wibowo dari dalam. Mulia membuka pintu perlahan.
Ruangan Pak Wibowo luas dan elegan. Lukisan-lukisan abstrak mahal menghiasi dinding, dan rak buku berisi koleksi buku-buku tebal berdiri kokoh di sudut ruangan. Aroma kopi Arabika tercium kuat, seakan-akan merangkul seluruh ruangan.
Pak Wibowo duduk di kursi kerjanya. Pria paruh baya itu mengenakan kemeja batik yang rapi. Senyumnya yang biasa terlihat ramah, kini terasa sedikit aneh bagi Mulia.
"Duduklah, Mulia," kata Pak Wibowo, menunjuk sofa di seberang mejanya. Mulia duduk. Ia meletakkan binder di pangkuannya. Pak Wibowo memindahkan kursi putarnya agar lebih dekat dengan Mulia. "Jadi, proposalmu, 'Seruni Coffee Journey'… ini ide yang sangat bagus. Aku sudah berdiskusi dengan Satria dan dia sangat antusias."
Mulia tersenyum lega. "Syukurlah, Bapak."
"Ya. Tapi, aku punya satu masalah," kata Pak Wibowo, sambil menyilangkan kakinya. "Masalahnya bukan dengan proposalnya. Tapi... dengan kamu."
Jantung Mulia berdegup kencang. Ia menatap Pak Wibowo dengan bingung. "Maksud Bapak?"
Pak Wibowo mencondongkan tubuhnya ke arah Mulia. "Aku sudah lama mengamatimu, Mulia. Sejak pertama kali kamu bekerja di sini. Kamu wanita yang cerdas dan berbakat. Dan... kamu juga sangat cantik."
****
Mulia terkejut. Ia tidak menyangka Pak Wibowo akan mengatakan hal seperti ini. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi tangannya mulai berkeringat. "Terima kasih atas pujiannya, Bapak."
"Tidak perlu sungkan," kata Pak Wibowo, ia mengambil tangan Mulia dan menggenggamnya. Mulia langsung menarik tangannya, tapi Pak Wibowo menahannya. "Mulia, aku tidak akan berbohong padamu. Aku menyukaimu."
Mulia terdiam, terperangkap. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terasa seperti terpaku di lantai.
"Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu," lanjut Pak Wibowo, "tapi aku serius. Aku bisa memberimu apa pun yang kamu inginkan. Jabatan yang lebih tinggi, gaji yang lebih besar... atau apa pun. Aku bisa menjadikanmu ratu di perusahaan ini."
Mulia menggelengkan kepala. "Maaf, Bapak... saya tidak bisa."
"Kenapa tidak?" tanya Pak Wibowo. "Aku tahu kamu wanita yang ambisius. Ini kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Banyak wanita di luar sana yang menginginkan posisi seperti ini."
Mulia memberanikan diri menatap mata Pak Wibowo. "Bapak, saya datang ke sini untuk bekerja. Saya ingin sukses karena kemampuan saya, bukan karena... hal lain."
Pak Wibowo tersenyum. "Semua orang butuh jalan pintas, Mulia. Terutama di dunia bisnis. Dan aku bisa menjadi jalan pintasmu."
"Saya menghargai tawaran Bapak," kata Mulia, suaranya kini lebih tegas, "tapi, saya tidak tertarik. Saya harap Bapak bisa memahami ini."
Pak Wibowo menghela napas, melepaskan tangan Mulia, dan kembali ke mejanya. Wajahnya yang semula ramah kini berubah dingin. "Baiklah, Mulia. Pikirkan baik-baik. Aku akan memberimu waktu. Tapi, ingat, setiap kesempatan punya batas waktu. Jika kamu menolak, jangan salahkan aku jika proposalmu tidak berjalan mulus."
Kata-kata itu bagaikan tamparan keras bagi Mulia. Ia merasa seperti baru saja ditusuk dari belakang. Mulia berdiri dari sofa, ia merasa ruangan itu kini terasa sangat pengap. "Bapak, izinkan saya keluar."
Tanpa menunggu jawaban Pak Wibowo, Mulia berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruangan. Ia menutup pintu di belakangnya dan bersandar, menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya gemetar. Ia tidak menyangka, di balik keramahan Pak Wibowo, tersembunyi niat yang begitu kotor.
Mulia merasa hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia melaporkan ini? Atau ia harus diam saja demi kariernya? Mulia melihat ke arah meja Satria, tapi Satria tidak ada. Mulia merasa sendiri. Di tengah kebimbangan ini, ia menyadari, jalan kariernya di Menggara Group tidak akan pernah sama lagi.
****
Mentari pagi belum sepenuhnya menyinari Jakarta, tapi kekisruhan sudah terasa di lobi Menggara Group. Mulia Anggraeni baru saja melangkahkan kakinya dari balik pintu kaca ketika ia merasakan ada yang tidak beres. Mata-mata, puluhan pasang mata, melirik ke arahnya. Bisik-bisik seperti lebah yang berkerumun, terdengar samar-samar. Mereka menatapnya dengan tatapan penuh penilaian, ada yang sinis, ada yang kasihan, dan ada juga yang menatap dengan penuh rasa ingin tahu.
Mulia menunduk, mencoba menghindari tatapan-tatapan itu. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera sampai di lift dan kabur dari keramaian ini. Tapi, sebuah suara melengking menghentikan langkahnya.
"Mulia Anggraeni!"
Mulia tertegun. Suara itu begitu nyaring, membuat semua bisik-bisik terhenti dan mata-mata kembali tertuju padanya. Mulia berbalik, mencari sumber suara. Di sana, di tengah lobi yang ramai, berdiri seorang wanita dengan pakaian yang sangat mahal, tas tangan Hermes yang tergantung di lengan, dan kacamata hitam berbingkai besar. Ia adalah Bu Hanim, istri dari Pak Wibowo, direktur pemasaran.
"Kamu, wanita rendahan!" teriak Bu Hanim. "Berani-beraninya kamu menggoda suamiku!"
Mulia terkejut. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa berdiri mematung, sementara semua karyawan di lobi kini menjadi penonton drama pagi ini.
"Saya tidak mengerti, Ibu," kata Mulia, suaranya bergetar.
"Jangan pura-pura tidak tahu!" bentak Bu Hanim. Ia melangkah maju dengan cepat, mendekati Mulia. Tiba-tiba, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mulia. Suara tamparan itu begitu keras, membuat Mulia merasakan pusing dan pipinya memanas.
****
Mulia memegang pipinya. Ia tidak bisa percaya apa yang baru saja terjadi. "Saya tidak pernah menggoda suami Ibu," ucapnya, mencoba membela diri.
"Pembohong!" teriak Bu Hanim lagi. "Suamiku sendiri yang bilang kalau kamu merayunya! Kamu menginginkan jabatan dengan merayu suamiku! Itu yang kamu lakukan, bukan?!"
Air mata Mulia mulai menetes. "Itu tidak benar, Bu. Semalam Pak Wibowo yang... "
"Jangan sebut-sebut nama suamiku, wanita murahan!" potong Bu Hanim. "Kamu pikir dengan menamparmu di depan banyak orang, nama saya akan jadi buruk? Hah? Justru dengan ini semua orang akan tahu seberapa buruknya kamu, wanita penggoda!"
Bu Hanim mendekat ke wajah Mulia, pandangannya penuh kemarahan dan kebencian. "Dengar, wanita rendahan, jangan pernah lagi kamu dekati suamiku. Aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkanmu. Aku bisa pastikan kamu tidak akan bisa bekerja di mana pun lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments