Tuan Valente Dan Tawanan Hatinya
Langkah-langkah kecil anak-anak masih terngiang di kepala Aurora saat ia menutup pintu mobil hatchback hitamnya.
Hari itu ia buru-buru pulang, bahkan belum sempat menyelesaikan laporan nilai yang masih tersimpan di laptop.
Sebelum meninggalkan sekolah, ia sempat berhenti sejenak di toilet untuk menatap bayangan sendiri di cermin, lalu mengeluarkan bedak padat dari tasnya.
Tangan mungil itu berulang kali menekan kuas ke pipi kirinya, sedikit terlalu tebal, seolah ingin menutupi sesuatu yang tak boleh orang lain lihat.
Telepon dari adik perempuannya tadi membuat jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. “Kak, cepat pulang… ada yang aneh di depan rumah!” suara adiknya terdengar panik, membuat Aurora langsung melesat dari sekolah tanpa banyak tanya.
Ban mobilnya berderit ketika ia memasuki gang rumah. Dan seketika… napasnya tercekat.
Deru mesin alat berat meraung. Dua ekskavator kuning berdiri gagah seperti raksasa, siap meratakan bangunan sederhana dua lantai yang selama ini mereka sebut rumah.
Beberapa bodyguard bersetelan hitam mengitari area, wajah mereka datar tanpa emosi.
Aurora membelalakkan mata. “Astaga…”
Ia membanting pintu mobil dan berlari. Ava tampak berdiri di teras, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Begitu melihat kakaknya datang, gadis itu langsung menjerit, “Kak, mereka mau hancurin rumah kita!”
Aurora menahan bahu Ava, mencoba menyalurkan kekuatan. Namun matanya tertuju pada satu sosok yang berdiri tenang di tengah kekacauan itu.
Tinggi, tegap, jas hitam jatuh sempurna di tubuhnya, rahang tegas, tatapan abu-abu dingin yang menusuk bagai belati.
Kairos Valente.
Aurora menelan ludah, lalu melangkah cepat mendekat. “Hei!” serunya lantang, “Apa yang kalian lakukan di sini?!”
Para bodyguard hanya menoleh sekilas, tapi tidak ada yang menjawab. Sampai akhirnya Kairos menggeser tatapannya, seolah baru menyadari keberadaan gadis itu.
“Signorina Ricci.” Suaranya rendah, tenang, tapi setiap huruf seperti beban besi. “Kau pulang tepat waktu. Hampir saja rumah ini rata dengan tanah tanpa sempat kau lihat.”
Aurora ternganga. “Apa maksudmu? Ini rumah kami! Kalian tidak punya hak—”
Kairos mengangkat tangan, menghentikan kalimatnya. “Hak sudah jelas tertulis di atas kertas. Papamu gagal melunasi hutang sebesar tiga miliar, Signorina. Tidak ada kompromi.”
Aurora maju dua langkah, matanya berkilat. “Jangan sebut angka seolah itu alasan sah untuk merampas hidup orang lain! Papa memang ditipu, dia korban—”
“Korban atau pelaku, pasar tidak peduli!.” Kairos menunduk sedikit, tatapannya membekukan.
“Yang pasar tahu hanyalah… utang harus dibayar.” Ucap Kairos menekan setiap kata.
Aurora merasakan darahnya mendidih.
Ia melangkah lebih dekat, hanya berjarak beberapa inci dari jas mahal pria itu. “Kalau anda punya hati, anda akan beri waktu. Kalau anda benar-benar manusia—”
“Kesalahanmu Ricci, adalah mengira aku datang ke sini membawa hati. Aku datang membawa hukum bisnis.”
Tatapan abu-abu itu menyipit, seulas senyum tipis terbentuk. Bukan senyum ramah, tapi lebih mirip ejekan.
Aurora menggeleng, napasnya terengah karena marah. “Ini rumah keluarga kami. Tempat Papa, Mama, dan adikku tinggal. Apa anda ingin tidur malam ini dengan tenang setelah menghancurkannya?”
Kairos diam sejenak terlihat menimbang. Namun saat Aurora hendak kembali bicara, salah satu bodyguard melangkah maju, wajahnya keras.
“Signor Kairos, biarkan kami singkirkan gadis ini—”
Namun sebelum pria itu sempat mendekat, Kairos mengangkat tangan, gerakan singkat tapi penuh wibawa. Anak buahnya langsung berhenti dan menunduk patuh.
Aurora menatap kejadian itu dengan dada berdebar. Ada ketegangan aneh antara ketakutan dan keberanian.
Aurora berdiri tegak di depan ekskavator, napasnya terengah, keringat dingin menetes di pelipis.
Ia pikir ancaman dan keberaniannya cukup untuk membuat Kairos mundur. Namun pria itu hanya menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis.
Smirk yang berbahaya.
“Ternyata ada cara lain untuk memastikan kau berhenti membuat keributan, Signorina Ricci.”
Aurora sempat kebingungan. “Apa—”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kairos melangkah maju dengan gerakan cepat.
Dalam sekejap, lengannya yang kuat meraih tubuh Aurora, mengangkatnya dari tanah seolah gadis itu tidak lebih berat dari sehelai kain.
“Apa yang kau—lepaskan aku!” jerit Aurora, tangannya menghantam dada Kairos, meronta sekuat tenaga.
Namun pria itu tidak bergeming. Dengan mudah ia menggendong Aurora di bahunya seperti karung beras, melangkah menuju mobil hitam panjang yang menunggu di pinggir jalan.
“Ava!” teriak Aurora putus asa ke arah adiknya yang menatap dari teras, matanya membesar karena panik. Namun dua bodyguard langsung menahan Ava agar tidak maju.
Aurora menjerit, tangannya menghantam punggung Kairos, kakinya menendang udara. Tapi semua perlawanan itu hanya membuat pria itu menegang sedikit, sebelum akhirnya menurunkannya dengan paksa ke kursi belakang mobil.
Pintu dibanting. Mobil segera melaju.
Aurora mencondongkan tubuh, berusaha meraih gagang pintu, namun lengan Kairos lebih cepat.
Tangannya mencengkeram pergelangan Aurora, kuat dan dingin. “Jangan bodoh,” suaranya rendah, mengandung perintah.
Aurora mendesis marah, lalu tanpa pikir Panjang ia menunduk dan menggigit tangan Kairos sekuat mungkin.
Kairos terkejut sepersekian detik.
Rahangnya mengeras, tatapannya berubah tajam. “Kau berani…”
Tangannya yang lain segera menahan dagu Aurora, memaksa wajah gadis itu menoleh ke samping.
Cengkeramannya yang kokoh membuat Aurora sulit bergerak. Nafasnya memburu, wajahnya memerah karena ditahan.
“Sudah cukup,” bisik Kairos, suaranya lebih dingin dari es. “Kau tidak akan ke mana-mana. Semakin kau melawan, semakin keras aku mengekangmu.”
Aurora terengah, matanya berair, namun tatapannya tetap menusuk penuh amarah. “Kau… monster…”
Kairos hanya menatapnya dalam diam beberapa detik, lalu perlahan melepaskan dagu Aurora, meski tangan satunya masih mencengkeram pergelangan gadis itu.
Senyum tipis kembali muncul di wajahnya, tapi kali ini lebih menyeramkan daripada sebelumnya.
“Monster?” Ia mencondongkan tubuh, suaranya nyaris berbisik di telinga Aurora. “Mungkin. Tapi monster ini baru saja menyelamatkan rumahmu dari kehancuran. Kau harusnya berterima kasih.”
Aurora menggertakkan giginya, tubuhnya gemetar. Ia sadar untuk sementara tidak bisa berkutik. Mobil terus melaju, membawa gadis itu menjauh dari rumah Ricci, menuju dunia yang sepenuhnya dikuasai Kairos Valente.
tbc🐼
Visual Tokoh dibawah👇👇👇
Kairos Valente
Aurora Ricci
Ava Ricci(Adik Aurora)
Matteo Alesandro (Sahabat Kairos)
Lucca Parker (Sahabat Kairos)
Samuel Valente (Adik Kairos)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments