Bab 2

“Pigme banget sih,” celetuk seorang teman di barisan depan.

“Cari sensasi aja tuh,” sindir yang lain sambil terkikik.

Anara menggigit bibirnya, lalu menggeleng cepat.

“Maaf, Pak! Saya nggak fokus tadi,” katanya cengengesan, buru-buru duduk lagi.

Pak Guru hanya menghela napas. “Lain kali jangan ngelamun saat jam pelajaran. Fino, silakan duduk.”

Fino berjalan tenang menuju bangku kosong di belakang Anara, tanpa menanggapi riuh kelas.

#Jam makan siang tiba.

Anara duduk bersama Bagas di sudut kantin. Tangannya memegang sendok, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Matanya menelusuri seisi kantin, mencari-cari seseorang… hingga akhirnya tertuju pada sosok yang duduk sendiri di meja paling pojok.

Fino. Cowok itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang. Makan perlahan, tidak bicara dengan siapa pun, dan sama sekali tidak peduli pada sekelilingnya.

“Kenapa dia duduk sendiri, ya?” gumam Anara pelan.

“Hah? Siapa?” Bagas mengikuti arah pandangnya. “Oh—Fino?”

Anara mengangguk kecil. “Kamu tahu kenapa?”

Bagas menaikkan alis. “Serius kamu nggak tahu, Anara? Dia tuh terkenal banget, loh.”

“Terkenal? Aku beneran nggak tahu siapa dia…”

Bagas mendekatkan wajahnya sedikit, setengah berbisik.

“Fino Malik Aidar. Dia atlet panah nasional dan pewaris tunggal Aidar Industri—perusahaan paling besar di kota kita.”

Anara ternganga. “Seriusan?!”

Bagas mengangguk sambil mengunyah.

“Pantes... mukanya kayak mahal banget,” gumam Anara pelan, membuat Bagas nyaris tersedak tawa.

“Tapi kenapa dia sekolah di sini? Maksudku, ini sekolah biasa banget, bukan sekolah elit.”

“Nah, itu yang jadi pertanyaan semua orang,” kata Bagas.

“Dalam dua tahun terakhir, dia selalu pindah sekolah. Katanya, tiap kali dia datang… pasti akan terjadi sesuatu.”

Anara menyipitkan mata. “Maksud kamu...?”

Bagas menurunkan suaranya. “Katanya dia pembawa sial. Di sekolah sebelumnya ada kecelakaan besar. Yang sebelum itu... dia menyebabkan kebakaran gudang bahkan ada siswa yang meninggal. Pokoknya, banyak kejadian aneh sejak dia datang.”

Anara terus memperhatikan Fino dari kejauhan. Entah kenapa, hatinya tidak bisa percaya dengan cerita Bagas soal Pembawa sial dan hal-hal buruk yang selalu mengiringi kedatangan Fino. Entah mengapa bagi Anara Ada sesuatu dari tatapan dinginnya yang justru... membuatnya penasaran.

Tanpa sadar, Anara sudah berdiri dan meninggalkan tempat duduknya di samping Bagas. Ia berpindah meja. Tepat di depan Fino.

“Hai! Aku Anara,” ucapnya ceria sambil mengulurkan tangan.

Fino hanya menatapnya. Tatapan tajamnya tidak berubah. Ia tidak menjawab, tidak juga menyentuh tangan Anara.

Dari kejauhan, Bagas langsung panik.

“Ya ampun, Anara! Ngapain sih kamu! Astaga, maaf ya bro... dia emang suka gini...” Bagas buru-buru menyusul, mencoba menarik Anara kembali. Tapi gadis itu justru menepis tangan Bagas.

“Aku mau makan di sini. Kalau kamu tetap di sana juga nggak apa-apa. Oke?” katanya santai.

Fino tetap diam. Makan dengan tenang, seolah Anara adalah bayangan. Tapi Anara tidak menyerah. Ia mulai bertanya ini-itu. Mulai dari nanya lauk favorit sampai komentar tentang suhu ruangan.

Satu pun tak digubris.

Tak kehabisan akal, Anara malah mulai menjahilinya—menyodorkan sendok, menggoyang-goyangkan botol sambal di depannya, sampai mencoba meniru gaya Fino duduk.

Tetap. Tidak ada respons.

Namun, itu tidak menghentikan Anara. Dalam tujuh hari berturut-turut, Anara selalu mencari cara agar bisa berada di dekat Fino. Baik di kelas, di kantin, bahkan saat jam istirahat.

Hingga akhirnya, hari ketujuh…

Fino berhenti berjalan, membalikkan badan dengan ekspresi kesal.

“Bisa berhenti ngikutin gue nggak?.”

Suara itu terdengar jelas. Datar. Tapi juga ketus.

Anara justru terpaku... lalu tersenyum lebar.

Matanya membulat antusias. “Bagas!!” Anara berteriak sambil melambai ke arah sahabatnya di seberang lapangan..

“Bagassss! Dia ngomong sama aku! Kamu denger gak?! Fino akhirnya ngomong sama aku!!”

Bagas buru-buru berlari menutup mulut Anara sambil menunduk malu.

“Sssst! Astaga, bisa diam nggak sih! Malu-maluin banget, sumpah!”

Bagas buru-buru menutup mulut Anara sambil menoleh ke sekitar, berharap tidak ada yang memperhatikan.

Fino sudah berjalan pergi, seperti biasanya—tenang, tanpa menoleh ke belakang.

“Lepasin, tuh kan... dia jadi pergi,” gerutu Anara, melepaskan tangan Bagas dari wajahnya.

“Biarin aja! Lagian kamu ini kenapa sih jadi... jadi gila banget?” Bagas menggeleng tak percaya.

“Udah jelas-jelas dia cuek parah gitu sama kamu.”

Anara menoleh pelan, menatap Bagas dengan senyum kecil.

“Cuek itu bukan berarti nggak suka. Bisa aja... itu caranya dia jaga jarak, biar aku nggak denger hatinya yang berdetak tak karuan.” katanya ringan.

Bagas mendengus. “Kamu terlalu banyak nonton drama.”

Tapi sebelum Bagas melanjutkan omelannya, Anara berkata dengan suara pelan,

“Lagipula... aku juga suka dia.”

“Hah?!” Bagas menatapnya seolah Anara baru saja mengatakan hal paling aneh di dunia.

“Kamu suka dia? Sejak kapan?!”

Anara mengangkat bahu sambil tetap tersenyum. “Sejak pertama ketemu. Waktu dia bantuin aku turun dari tembok.”

Bagas mengerjapkan mata. “Tapi dia... dia bahkan nggak ngomong apa-apa ke kamu saat itu.”

Anara tertawa pelan. “Justru karena itu. Dia diem... tapi tetap nolong. Aneh sih. Tapi... ada yang beda, tapi justru aku suka.”

"Pokoknya itu tuh kaya jatuh cinta pandangan pertama"

Bagas terdiam.

Pria tinggi dengan rambut rapih kedepan itu memandang sahabatnya itu—Anara yang biasanya banyak omong, kadang ngeselin, tapi selalu tulus. Dan sekarang, dia bicara soal perasaannya dengan cara yang begitu sederhana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!